Our Apartment [19]

Start from the beginning
                                    

Justin terkekeh melihat reaksi Nicole. "Keren, bukan?"

"Menjijikkan menurutku," balas Nicole sambil menguap lebar. "Sudahlah aku ingin tidur."

"Aku masih mau membaca ini," balas Justin. "Selamat malam, Sayang."

oOoOoOoOo

Suasana apartemen Justin di penghujung sore itu terasa sedikit lebih tentram dari hari-hari lainnya. Biasanya, dia akan berteriak-teriak untuk menyuruh Nicole untuk enyah dari sofa agar gadis itu segera pergi mandi. Supaya mereka tiba lebih awal di restoran western terenak di dekat apartemen sehingga masih ada meja yang tersisa. Kemudian, gadis itu akan balas meneriakinya, memakinya dengan macam-macam kalimat karena berani menganggu waktu menonton gadis itu. Lima menit selanjutnya mereka akan saling berteriak, sebelum akhirnya Nicole mengalah. Bukan karena gadis itu ingin membiarkannya menang dari argumen itu, tapi karena gadis itu mulai kelaparan.

Malam ini, dia sibuk berkutat di dapur untuk memasak makan malam mereka, sedangkan Nicole sibuk dengan televisi layar datarnya di ruang duduk menyaksikan episode terakhir dari serial drama yang selama ini di tontonnya. Justin menggelengkan kepalanya melihat Nicole yang dengan asyik mengunyah keripik kentangnya sementara matanya tak lepas sedikitpun dari televisi. Meskipun sudah mengemil seperti itu, jangan harap Nicole akan mengurangi jatah makan malamnya. Gadis itu benar-benar ajaib.

Nicole nengatupkan mulutnya ketika melihat sang tokoh utama laki-laki merentangkan spanduk sepanjang sepuluh meter itu begitu dia sudah tiba di puncak bukit. Dia memegang sisi yang kanan, sedangkan sisi kiri dipegangi oleh sahabatnya. Gabriel, sang tokoh utama tersenyum ke arah handycam yang di pegang oleh sahabatnya yang lain dan melambaikan tangannya dengan semangat. Selain aksinya mendaki bukit yang luar biasa, Nicole juga terpesona pada kalimat yang tertera di spanduk itu. Will you marry me, Abigail?

"Astaga," desah Nicole.

"Kenapa?" tanya Justin melihat mata Nicole berkaca-kaca. Dia melihat ke layar televisi dan mendapati sang tokoh utama sedang berlutut di depan gadisnya. Melamar. "Ya ampun. Itu lamaran biasa," komentar Justin.

Nicole mendelik. "Hei, kau tidak lihat sebelumnya," protes Nicole. "Sebelum ini, Gabriel memutar video ketika dia sampai di puncak gunung dan merentang spanduk yang bertulisan 'Will you marry me, Abigail?'. Itu romantis sekali. Kalau seandainya Abigail adalah aku, aku akan langsung mengangguk tanpa berpikir lagi. Kau tahu betapa susahnya hiking itu?!"

Justin mengangkat bahunya dengan santai. "Well, itu bukan hobiku sama sekali." Justin mengulurkan tangannya. "Ayo makan malam."

Nicole menyantap daging panggang buatan Justin dengan nikmat. Diantara masakan Justin, dia paling suka steak buatan laki-laki itu. Bahkan dia lebih menyukainya dibanding restoran manapun. Steak buatan Justin punya cita rasa tersendiri dan tidak ada yang bisa menyainginya. Sayang sekali Justin jarang memasak, sehingga dia juga jarang mencicipin steak buatan Justin.

"Nic," panggil Justin.

"Apa?" tanya Nicole sambil menyeka bibirnya dengan tisu. Lalu dia pun menyesap wine, dan berdecak puas setelahnya. Angin musim gugur yang berhembus dari pintu balkon yang terbuka, steak, dan wine adalah kombinasi yang membuat malamnya menjadi sempurna. Astaga! Aku bisa mimpi indah malam ini, batin Nicole menjerit kesenangan.

"Hanya ingin memanggilmu saja," balas Justin sambil kembali menyuap potongan steaknya. Steak miliknya masih tersisa seperempat, sedangkan punya Nicole sudah lenyap. Berpindah tempat ke dalam perut gadis itu.

Nicole memutar bola matanya malas. "Berhubung aku baru saja memakan steak buatanmu yang sangat lezat ini, aku tidak akan berkomentar tajam."

Our ApartmentWhere stories live. Discover now