Episode 3 ~ Tentang Angin dan Angan

725 154 187
                                    

"Tidak ada yang lebih berantakan dari daun-daun yang berguguran, pendar awan yang bertebaran, saat hati tak lagi bisa merasa utuh, tentang mimpi-mimpi yang masih tetunda dalam angan."

***

A POEM : The Eye Clause
Episode 3 ~ Tentang Angin dan Angan



Kicau burung, sinar surya, juga pendar awan putih yang bergulung, melarik-larik tersapu angin menjadi tanda awal pagi telah dimulai. Tanah basah yang masih memancar wangi bau hujan semalaman, juga bening embun yang menetes di sela-sela atap, pun turut menjadi tanda pagi yang sejuk dan menenangkan.

"Pagi adalah waktu dimana orang-orang selalu ingin memulai hari. Memulai sesuatu yang baru, menjemput kebahagaiaan yang baru dari kesedihan yang datang kemarin-kemarin."

Seorang wanita, berbalut Hanbok hijau pudar dikombinasikan dengan warna outih tulang, dengan rambut yang dibiarkan terurai bebas nampak sedang terduduk di depan sebuah ranjang. Kedua mata cerianya tak pernah sekali pun terlihat redup, meski seseorang di hadapannya enggan melihatnya dan membuka mata.

"Pagi, telah banyak membuat orang-orang merasa lebih baik, menjadi jiwa yang baru dan aku sangat berharap itu juga berlaku padamu. Orabeoni."

Lee Se Ra tersenyum tipis membuat kedua sudut matanya menjungkit naik, membentuk bulan sabit.

"Kau harus segera bangun. Mata sabitmu saat tersenyum, lebih indah dari punyaku." Katanya lalu terkekeh sendiri.

Wanita 16 tahun itu kemudian meraih tangan yang terkulai lemas tak bertenaga di hadapannya. Dia menggenggamnya erat seraya mengingat-ingat kenangan apa saja yang pernah dia dan kakaknya itu miliki.

"Takdir apa yang sedang Dewa pilihkan untukmu? Jantung dan nadimu berdetak, tapi kau sama sekali tak bisa merasakannya." Lanjutnya seraya sesekali mengusap-usap wajah yang terpahat sempurna itu.

"Orabeoni. Bogoshipeo (Kakak. Aku merindukanmu)." Lirihnya.

Tak lama setelah itu, Lee Se Ra kembali menyimpan tangan itu ke samping tubuh Orabeoni nya. Napasnya terhela panjang. Dan ketika baru saja hendak beranjak, matanya tiba-tiba menumbuk ke arah pojok kamar. Disana terdapat sebuah lemari kayu yang tak pernah sekalipun dia buka. Lemari yang dia ketahui tempat Orabeoni nya menyimpan rahasia.

"Kepalaku tak bisa kau toyor untuk sekarang. Dan ini adalah kesempatanku mencari tahu isi lemarimu!" Katanya berbicara sendiri pada sosok yang terpejam itu.

Lee Se Ra berjalan mendekat dan membuka lemari itu dengan kehampaan batin yang tiba-tiba menghampiri. Apalagi saat ingatannya berkelana pada lima tahun silam, ketika kakaknya selalu menoyor kepalanya jika diam-diam ketahuan membuka lemari.

"Maka dari itu aku tak pernah mengepang rambutku karena kau selalu merusaknya saat menoyorku. Sampai saat ini." Lee Se Ra merasakan air mata mulai merembes di pipinya.

"Aku juga merindukan kepalaku ditoyor lagi olehmu." Ucapnya lalu tertawa dalam tangis.

Setelah mengusap linangan air mata di pipi, Lee Sera kemudian memandangi apa saja yang tersimpan di lemari di hadapannya.

"Buku? Kukira rahasia apa!" Dengusnya seraya mengambil salah satunya dan membuka setiap lembarnya untuk mencari tahu apa isi buku tersebut, dan,

"Puisi? Sejak kapan Orabeoni menyukai sastra?" Tanyanya penuh kernyitan.

"Aah jadi ini yang Orabeoni rahasiakan?" Tambahnya dengan nada ledekan.

Selepas itu, fokusnya tetiba tertumbuk pada salah satu puisi yang tertulis disana.

A POEM : The Eye ClauseWhere stories live. Discover now