2. After Marriege

9.3K 1.5K 728
                                    

"Maaaas, Al beranteeem. Lagi."

Pria yang baru saja melepas satu sepatunya itu langsung berdiri, berlari ke arah suara yang datangnya dari pintu masuk. Dengan satu kaki terbalut kaus kaki hitam, sedang yang satunya masih terbalut sepatu kerja, dia datang menghampiri seorang wanita yang berjalan di belakang seorang anak berusia lima tahun.

Hasan menganga melihat keadaan salah satu putra kembarnya itu, yang tadi istrinya sebut Al. Putra yang satunya lagi nampak baru saja masuk ke dalam sambil menyangking sepasang sepatu rodanya yang berwana putih.

Pria jangkung itu berlutut, sejajar dengan Al yang menundukkan kepala sejak masuk ke dalam rumah.

"Kenapa berdarah?" tanyanya sambil menatap lutut anak lelaki yang sepertinya tidak menangis sama sekali meski Hasan lihat ada luka di lututnya.

"El didolong sama Andy, tapi gak jatoh, soalnya dipegangin sama Al. Abis itu Al dolong-dolongan sama Andy. Al jatoh, jadi luka. Telus Al beldili lagi, telus belantem. Al menang, Andy nangis, telus pulang."

Hasan dan Syila yang baru mendengar kronologis ceritanya otomatis membelalakan mata. Yang cerita panjang lebar barusan adalah El. Sedangkan Al masih tertunduk diam, namun tak menangis atau takut. Seakan apa yang dilakukannya sudah benar.

"Bunda gak awasin?" tanya Hasan pada sang istri.

"Mereka tadi cuma main berdua. Al lagi temenin El main sepatu roda. Jadi aku sempetin nyapu halaman. Gak liat Andy dateng," jelasnya. Hasan memang bukan bermaksud menyalahkan, ia hanya bertanya saja.

Pria yang baru saja pulang kerja itu tersenyum, menepuk puncak kepala putranya yang bernama Al dengan sayang.

"Al, Andy sengaja dorong El?" tanyanya lembut, yang diangguki oleh sang putra. Hasan tahu, kalau putranya bukan anak yang nakal. Beda lagi dengan anak bernama Andy yang memang terkenal dengan kenakalannya di perkomplekan ini.

Al hanya ingin melindungi El, dengan caranya yang memang kurang bisa dibenarkan.

"Sekarang obatin lukanya dulu, yah. Ayah juga mau mandi. Nanti kita ngobrol lagi," ujarnya, mengusap kepala sang putra lalu berdiri.

"Bunda, tolong obatin Al, yah."

Syila tersenyum dan mengangguk. Lalu suaminya itu mendekati putra yang satunya, berjongkok di hadapannya agar tinggi mereka tidak begitu jauh.

Sementara Syila sudah menuntun Al pergi untuk mengobati lukanya.

"El, kalau lihat abang mau berantem lagi, jangan dibolehin, dong," pintanya pada si bungsu.

"Tapi abang hebat, Ayah. Abang pasti menang." El antusias, seperti biasanya, anak itu memang ceria. Dan si ceria ini sudah biasa melihat abangnya berkelahi. Karena abangnya selalu menang, El jadi suka menjadi chearleader dadakan di tengah pergulatan. Ayo abang Al pasti menang. Begitu kira-kira bunyi surakannya.

"Iya. Abang memang hebat. Tapi untuk menjadi hebat gak perlu harus berantem. Hebat itu kalo kita bisa sabar. Makanya, kalo El lihat abang berantem, ingetin abang untuk tetep sabar. Orang sabar disayang Allah," ucap Hasan dengan kosa kata sederhana supaya lebih mudah dipahami oleh putranya yang baru berusia lima tahun ini.

Sebenarnya, nasihat ini ia ucapkan saat tiba-tiba saja bayangan masa lalu terlintas dibenaknya. Dimana saat itu ia berkelahi, lalu saudara kembarnya, Husein, mengomelinya habis-habisan. Ah, Hasan rindu masa-masa itu.

Different (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang