Part 2

150 85 74
                                    

"Aku? Ibu? Ayah? A-aku bukan a-anak kandung Ibu?" ucapnya yang terbata-bata sembari menghindar dari mayat Yuni karena rasa ragu itu cukup berkuasa di dalam dirinya.

Tangan dan kakinya mendorong tubuh mungil itu untuk terus menjauh dari mayat sang Ibu hingga pada akhirnya hanya tembok yang dapat memaksakan tubuh Cel untuk berhenti bergerak.

Mulutnya sudah tidak dapat berkata-kata lagi, hati kecil miliknya terasa begitu sakit, pikiran nya sudah kalut tak karuan. Apakah ia harus percaya dengan isi surat itu atau tidak? Jika pesan di dalam surat itu benar adanya lalu mengapa Yuni selalu bersikap ramah? Bukankah Ibu tiri adalah salah satu perempuan terlicik, terkeji dan tak pantas disebut sebagai Ibu?

Nggak, Cel kamu harus bisa. Jangan pernah berfikir bahwa dia adalah Ibu tiri, kalaupun memang benar dia adalah ibu tiri, tapi selama ini dia sudah membesarkan kamu dan itu adalah pekerjaan dari seorang Ibu yang harus kamu hargai. Iya benar, dia adalah Ibu kandungku, aku akan tetap menganggapnya sebagai Ibu kandungku, batin-nya yang terus bermonolog.

Untuk saat ini dirinya hanya fokus mencari pertolongan dari warga, karena bagaimanapun ia tak sanggup bila harus mengurus jenazah seorang diri.

Jenazah Yuni perlahan ditimpa oleh segumpal tanah dan berhasil menutupi tubuh itu sepenuhnya, Cel sangat berterimakasih kepada mereka yang sudah banyak membantu untuk mengurus pemakaman sang Ibu.

Setelah semuanya merasa sudah selesai membantu dan menenangkan dirinya, semuanya pergi meninggalkan Cel seorang diri untuk mengungkapkan isi hati nya.

"Ibu, aku berjanji. Aku akan menemukan pelaku yang sesungguhnya, pelaku yang berhasil merenggut nyawa Ibu, aku akan selalu ingat kejadian ini dan akan kupastikan pelakunya akan mendapatkan hukuman yang setimpal." Janjinya pada diri sendiri.

Gadis itu sudah saatnya untuk meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Ibunya demi menenangkan hati dan pikirannya. Hidup tanpa adanya kedua orang tua memang sangat sulit, terlebih lagi tanpa adanya seorang Ibu yang selama ini menemani dirinya di semua kondisi.

Keesokan harinya remaja itu terbangun 20 menit lebih dari jadwal seharusnya, hal ini membuat dirinya merasa semuanya harus dilakukan dengan cepat karena waktu terus berputar.

"Bagaimana mungkin seorang Celest Nairi Twila bangun dengan begitu siang? Iya mungkin karena efek lelah kemarin, baik itu fisik maupun mental," gumamnya pada diri sendiri.

Melakukan segala hal dikejar waktu memanglah tidak menyenangkan, belum lagi jarak rumah menuju sekolahnya terbilang cukup jauh dan membutuhkan waktu 15-20 menit dengan berjalan kaki.

"Baru kemarin rasanya aku meminta Ibu untuk memasakan nasi goreng, tapi takdir berkata lain. Semoga saja Ibu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan disana." Senyum kecil dibibirnya terlihat begitu jelas, kedua matanya sedikit berkaca-kaca menandakan bahwa dirinya memang belum benar-benar siap menerima semua kenyataan ini.

Terus berlari memang menghemat waktu untuk sampai lebih cepat di Sekolah, namun kecerobahan nya itu membuat dirinya tanpa sengaja menyenggol gadis lain, hal itu membuat beberapa buku yang dibawanya jatuh berserakan. Panggil saja dengan sebutan Sarah.

"Maaf maaf aku nggak sengaja," kata Cel sembari membantu membereskan buku Sarah yang terjatuh.

Sarah, gadis dengan paras yang sederhana, dapat dibilang terlihat seperti anak culun, dengan rambut sebahu serta kacamata yang bundar membuat remaja itu terlihat semakin tidak memiliki kemampuan dalam fashion sedikitpun.

Akuntansi memang memerlukan buku yang sangat banyak, yang paling penting adalah buku debur, dengan ukuran yang besar dan halaman buku tulis itu diharuskan oleh Pak Arya sebanyak 200 lembar, sangat berat bagi seorang Sarah yang memiliki tinggi kurang lebih 140cm, terbilang pendek untuk siswi tingkatan SMA.

My Weird HobbyWhere stories live. Discover now