EPILOGUE #2: TAYA

293 36 10
                                    

Aku memasukkan buku-buku di kamarku ke dalam kardus. Menyusunnya rapi sampai penuh dan menutupnya dengan selotip. Sejak pagi aku memang sedang sibuk mengepak semua barang-barang yang akan kubawa ke Inggris esok hari.

“Bi, koper biru muda yang besar di mana, ya?” tanyaku pada Bi Sani.

“Ada di lantai 1. Di kamar Pak Wira. Mau diambilin?”

Aku mengangguk, “Tolong, ya, Bi.”

Bi Sani mengangguk dan langsung meluncur keluar dari kamarku.
Aku mengikuti langkah Bi Sani, tapi sementara Bi Sani terus berjalan menuruni tangga ke lantai satu, aku memasuki kamar di seberang kamarku. Di dalam aku menemukan seorang perempuan yang sedang sibuk memasukkan buku-bukunya juga ke dalam kardus. Rambutnya yang panjang diikat asal, sehingga anak-anak rambutnya berjatuhan di sekitar wajah dan lehernya. Ia memakai sweater abu-abu kebesaran milikku yang entah sejak kapan dicap milik olehnya.

Aku memandanginya dari ambang pintu sambil bersandar, tersenyum melihatnya bersenandung kecil.

“Baju kamu di mana, Ay?” aku akhirnya melangkah masuk.

Ia menoleh sekilas, “Yang mau dikirim lewat paket udah rapi di kardus. Yang mau dibawa sekarang itu.” Ia menunjuk tumpukan baju di atas kasurnya.

Aku duduk di hadapannya, membantunya memasukkan buku-bukunya ke dalam kardus dan tertawa, “Seriusan ini novel mau dibawa semua?”

Ia mendongak, “Nggak apa-apa, kan? Nanti kalo di sana kangen sama novel Indonesia kan gawat.”

Aku mengangguk, “Ya, nggak apa-apa, sih.. nanti berarti kita harus bikin perpus kecil di apartemen kita di sana.”

“Ada nggak ruangannya?” ia bertanya cemas.

Aku berpikir sebentar, “Bisa diatur.”

“Den Saka?” suara Bi Sani terdengar dari lorong.

“Di kamar Taya, Bi!” jawabku lantang.

Sosok Bi Sani lalu muncul di ambang pintu, “Oalah di kamar Non Taya, toh.. ini kopernya.”

“Oke. Makasih, Bi.” kataku.

“Ada lagi yang bisa dibantu?” tanya Bi Sani.

“Udah, Bi. Tinggal masukin baju aja.”

“Okelah, Pak Bos!” Bi Sani mengacungkan jempol, lalu ia beralih pada orang di depanku, “Non Taya, makan siang mau apa? Biar Bibi masakin.”

“Masak soto keburu, nggak, Bi?” jawab Taya di depanku.

“Bisa! Sip.. Bibi masakin.. yang spesial, kan Non Taya mau pergi jauh.. anggap aja salam selamat jalan dari Bibi.”

Taya tetawa renyah, “Makasih, Bi.”

Bi Sani segera melesat ke lantai satu, meninggalkanku dan Taya berdua di dalam kamarnya.

“Koper yang kita bawa ini aja, isi beberapa baju untuk ganti beberapa hari, sampai barang-barang sisa yang dikirim pake paket sampai di sana. Ini kopernya bagi dua, ya, sama bajuku.”

Taya mengangguk, “Siap, Pak Bos!” ia memberi hormat dengan gaya lucunya.

Aku menjawil hidungnya, “Sekalian masukin bajuku ya.”

“Oke. Kamu lanjut ngepak bukuku, ya?”

Aku mengangguk.

Taya segera memasukkan baju-bajunya dan memenuhi setengah koper biru muda yang dibawa Bi Sani. Ia lalu masuk ke kamar sebelah dan memasukkan baju-bajuku untuk ruang yang tersisa di dalam koper. Tak lama aku menyusulnya dan menemukannya kesulitan menutup koper besar itu. Ia sudah menduduki kopernya, berusaha menutupnya rapat hingga keringat mengucur. Aku tertawa melihatnya dan menyuruhnya menyingkir.

Setelah koper tertutup rapat. Akhirnya kami bisa beristirahat. Rapi sudah semua barang-barang kami dan hanya tinggal berangkat besok. Perusahaanku yang sudah kumerger dengan perusahaan Papa memutuskan untuk membuka cabang di Inggris setelah bertahun-tahun mencoba. Aku yang akan bertanggung jawab untuk pengembangannya di sana, makanya memutuskan untuk pindah ke sana. Karenanya, Taya juga otomatis harus ikut bersamaku.

Aku duduk di pinggiran kasur sementara Taya berdiri diam, tanpa sadar tangan kirinya memainkan cincin emas yang melingkar di jari manis tangan kanannya. Pandangannya berkeliling menatap semua kardus di dalam ruangan. Dahinya berkerut, kebiasaan lucu yang aku temukan padanya dan selalu berhasil menarik perhatianku. Mungkin ia sedang memikirkan apakah ada barang-barang yang tertinggal, memang sudah beberapa hari belakangan ini kami menyicil mengepak barang untuk kepindahan kami ke Inggris.

Aku mendekat, mendaratkan kecupan singkat tepat di tengah dahinya yang berkerut, “Jidat kamu ngerut.”

Taya mengusap keningnya malu-malu, semburat kemerahan yang menjalar ke telinganya muncul. Aku tak bisa menahan senyum melihatnya. Aku merangkul bahunya, menariknya mendekat.

“Nggak apa-apa, ya, tinggal makin jauh dari Ayah?” tanyaku.

Taya tersenyum, “Nggak apa-apa. ‘Kan bisa video call-an tiap hari.”

Aku mengusak kepalanya, lega mendengar pengertiannya. []
.
.
.

Then this is the real END.
Awalnya sempet ragu mau up epilog 2 ini, tp akhirnya di up juga.
Sampe ketemu di cerita selanjutnya! 🙌

Malam&Kamu [Selesai]Where stories live. Discover now