PACARAN

147 23 0
                                    

Pekan UAS terlewati secepat datangnya. Wajah-wajah berseri mendadak bertebaran di lorong-lorong fakultas dan trotoar kampus. Senang sekali rasanya menyambut liburan panjang setelahnya. Risa di sebelahku malah bilang kalau ia sudah menyerah sejak awal. Baginya UAS sudah selesai bahkan sebelum dimulai—karena ia menolak belajar.

Aku dan Risa kini sedang dalam perjalanan menuju ruangan HimJur setelah menyelesaikan UAS kami yang terakhir. Aku dan Risa memang mengambil kelas yang sama untuk semua mata kuliah semester ini. Alasannya jelas, agar lebih nyaman di kelas karena setidaknya ada satu orang yang dekat dengan kita.

Ruangan HimJur sudah ramai. Beberapa senior sudah datang dan sedang bercengkrama. Rio—si ketua pelaksana yang seangkatan denganku—sudah duduk di antara para senior seraya menekuni ponselnya, di sebelahnya ada Reihan yang sedang mengobrol dengan sekertaris acara ini. Sejak tadi Rio memang sudah berkoar di grup chatting HimJur angkatan kami agar semua anggota datang rapat akbar hari ini untuk acara Bakti Sosial yang akan diadakan awal liburan ini.

Aku dan Risa duduk di kelompok divisi masing-masing. Kebetulan aku masuk divisi dokumentasi sementara Risa ada di divisi HuMas, jadi kami duduk terpisah. Aku mencubit lengan Cantika yang sedivisi denganku, ia langsung menggamit lenganku dan menyeretku duduk di sampingnya.

Sudah jadi hal wajar—yang semestinya tidak diwajarkan—untuk tiap rapat keorganisasian molor dari waktu yang  sudah ditentukan. Aku dan Risa datang tepat waktu dan untuk yang datang terlambat atau bahkan tak datang sama sekali akan mendapatkan denda.

Ketika jam sudah menujukkan batas waktunya, Rio segera memulai rapat. Seperti rapat akbar pada umumnya, tiap koor divisi akan melapor perkembangan persiapan acara. Orang lain yang anggota hanya akan menyimak mereka dan jika ide dibutuhkan, maka boleh memberi saran.

Seharusnya rapat seperti ini tak memakan waktu lama. Paling dua sampai tiga jam. Tapi karena mulainya sudah sore, maka sama saja rapat ini akan selesai malam. Ruang HimJur di lantai satu ini langsung menghadap ke lapangan belakang fakultas yang luas, jadi saat hujan turun suaranya akan sangat terdengar.

Reihan di tengah sana meminta agar kami yang berbicara untuk lebih mengencangkan suaraya karena tertelan suara hujan. Sejak bulan November tahun lalu memang sudah mulai masuk musim penghujan. Tapi, baru mulai bulan Desember lalu intensitasnya meningkat dan hujan hampir selalu turun setiap sore menjelang malam.

Sebagai penutup rapat, setelah cuap-cuap ketua soal jaga kekompakan dan penekanan deadline kerja, Reihan selaku ketua HimJur periode ini—yang akan segera lengser semester depan—juga memberi sepatah-dua patah kata penyemangat untuk kami para panitia. Rapat ditutup dengan doa dan tos bersama pada pukul setengah delapan malam.

Risa langsung menghambur ke arahku saat rapat bubar. Di luar hujan masih turun dengan deras disertai angin kencang. Aku melihat pohon-pohon mengamuk diterpa angin. Untung saja kawasan kampusku bukan kawasan rawan banjir, jadi hujan seperti apapun tak masalah. Tapi mungkin kalau anginnya terus begini, beberapa pohon tua di lingkungan kampus akan roboh.

“Gue balik ke kosan bisa pake payung. Lo gimana?” kata Risa sambil memandangi hujan yang menampar gedung fakultas dari lorong.

“Gue nunggu aja kali, ya.”

“Lo mau ke kosan gue dulu nggak? Pake payung gue, berdua.”

“Hujan angin kayak gini gue rasa bakal percuma lo pake payung. Pasti kuyup juga. Apalagi ini hujannya deras.”

“Iya juga sih, yaudah ke kantin dulu aja yuk?”

Aku mengangguk setuju.

Di kantin hanya tinggal penjual batagor yang buka, itu sebenarnya memudahkan kami memilih makanan—karena memang tak ada pilihan lain. Aku duduk berhadap-hadapan dengan Risa di meja panjang dan makan sambil ngobrol.

Malam&Kamu [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang