SAKIT

153 27 6
                                    

Saka menatap lurus-lurus padaku dengan tatapan teduhnya, “Keyla.”
.
Aku mematung. Seketika sesuatu meluncur entah dari mana menusuk dadaku. Nyeri sekali rasanya di sana hingga aku ingin menangis. Aku tak bisa berkata apapun dan hanya terdiam. Tanpa sadar aku menahan napasku. Mendengarnya benar-benar seperti tersambar petir di hari cerah. Aku tidak berani melihat ke arah Saka yang kini bersandar santai ke batang pohon.

Di belakang kami, matahari sudah sempurna tenggelam, menyisakan gurat-gurat oranye kemarehan di langit yang mulai menghitam.
Belum sempat aku menetralkan perasaanku, Saka sudah menjawil ujung hidungku dengan telunjuk, membuatku refleks mendongak melihatnya yang mengoper senyum geli, “Bercanda!”

Satu detik.

Aku mengerjap. Aliran rasa lega mendadak memenuhi dadaku, meski sesak yang memenuhinya tidak hilang, tapi aku bisa merasakan kelegaan membuncah di dalam sana.
Saka tertawa melihat ekspresiku, menggelengkan kepalanya melihatku melongo. Ia bangkit dari duduknya, membersihkan celananya dan mengulurkan tangannya padaku.

Aku mendongak, menatap uluran tangan Saka dan merengut. Aku meraihnya dan berdiri, membersihkan celanaku dan berjalan lebih dulu, berniat meninggalkan Saka. Tapi, Saka menahan tanganku. Aku menoleh dan menemukan tangan Saka yang lain merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan ponselnya yang bergetar dan menempelkan benda kotak itu ke telinganya.

“Halo, Ma? ...... kenapa? ....... Ma? Ma! tenang, ada apa? .....”

Aku mengerutkan dahi mendengar Saka. Kalau itu Tante Eli, yang sepertinya sedang panik, jangan-jangan sesuatu terjadi di kota Saka selagi ia ke mari untuk menemuiku.

“Papa kenapa? Pelan-pelan..........”

Aku menatap Saka, bertanya dengan tatapanku apa yang terjadi.

Saka memandangku nanar, pada Tante Eli di seberang sana ia berkata, “Oke. Aku pulang sekarang juga.”

***

Aku, Ayah dan Saka berlarian sepanjang lorong rumah sakit setelah perjalanan satu jam naik pesawat. Kami sengaja mengambil jalur paling cepat karena Saka mendapat kabar bahwa Pak Wira masuk rumah sakit karena mendadak jatuh di kantornya. Ayah memutuskan ikut karena Pak Wira adalah teman baiknya, jadi ia harus melihatnya.

Saka yang kutahu tidak menyukai ayahnya, kini kulihat begitu gusar. Meski ia bisa mengendalikan dirinya, tapi matanya tetap memancarkan emosinya itu. Sejak tadi Saka tidak bicara, ia terus saja diam, entah apa yang dipikirkannya. Aku mengerti, di saat seperti ini memang lebih baik membiarkannya sendiri seperti itu, jadi aku juga diam sepanjang perjalanan.

Kami mendapat kabar pukul enam sore, tapi baru sampai di rumah sakit pukul sebelas malam karena jadwal pesawat. Kami menemukan Tante Eli duduk berdampingan dengan Keyla di depan ruang rawat. Saka langsung menghampiri mamanya dan duduk di sampingnya.

Tante Eli dengan wajah sembabnya langsung memeluk Saka, “Langsung masuk sana. Ada dokter di dalam lagi bicara sama Lidya.”

Saka mengangguk dan langsung masuk ke dalam ruang ICU di depan kami.

Aku mendekat ke arah Tante Eli yang sejak tadi sudah menatapku. Tangannya terulur meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku langsung duduk di samping Tante Eli, melempar senyum. Tanpa ancang-ancang Tante Eli langsung menarikku dalam pelukannya, aku bisa mendengar isakannya yang pilu di telingaku. Ah, Tante Eli pasti merasa sedih dengan keadaan Pak Wira walaupun keduanya sudah bercerai.

“Maafin, Tante, sayang,” isak Tante Eli, mengeratkan pelukannya padaku.

Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya permintaan maaf itu?

Malam&Kamu [Selesai]Where stories live. Discover now