BELLA

142 22 1
                                    

Aku berjalan cepat. Kelasku dimulai pukul 9.20, dan sekarang sudah pukul 9 pagi. Aku tak ingin terlambat untuk yang kedua kalinya di kelas Pak Darma. Dosen itu boleh terlihat tak peduli, tapi berdasarkan cerita yang kudapat dari Risa dan Risa dapat dari para senior kenalannya dan seniornya lagi dan seniornya lagi dan seterusnya turun temurun ‘legenda’ ini diceritakan bahwa Pak Darma tak segan memberi nilai E pada mahasiswa yang sering telat atau jarang datang. ‘Lo sering telat? Fix, auto E.’ Begitu para senior berkata pada Risa dan begitu pula Risa mengatakannya padaku.

Trotoar kampus dipenuhi mahasiswa yang lalu lalang, membuatku kesulitan berjalan. Dalam keadaan buru-buru seperti ini memang seringkali hal mudah menjadi runyam. Sama halnya dengan berjalan, kalau saja aku sedang tak terlambat, aku akan bilang kalau trotoar ini lumayan lengang.

Beberapa kali aku harus bertubrukan dengan orang lain dan menggumamkan maaf setelahnya. Sedari tadi ponselku bergetar di dalam saku cardiganku—tanda chat masuk. Aku bisa memastikan bahwa itu adalah Risa yang sedang uring-uringan menungguku di kelas.

Aku memperbaiki letak tasku dan melirik jam tangan biru yang melingkar di lenganku. Lima belas menit lagi kelas dimulai dan Pak Darma adalah dosen yang terkenal on time walau rumahnya jauh dari kampus. Kalau aku sampai telat untuk kedua kali, maka aku akan jadi mahasiswa yang tidak menghormati dosen karena rumahku—rumah Saka—hanya berjarak empat puluh menit dari kampusku dengan bis dan ditambah sedikit jalan kaki.

“Aw!” aku jatuh terjerembab. Sesuatu atau seseorang baru saja menjegal kakiku, tahu-tahu saja aku sudah berada di atas trotoar dengan tangan yang menopang tubuhku di depan. Aku melihat telapak tanganku yang tersarut paving block, meringis. Di depanku sepasang kaki jenjang yang dibalut skinny jins berwarna krem terlihat. Aku mendongak.

Sorry.” Itu Keyla, yang berdiri di hadapanku dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Eh? Temennya Saka yang waktu itu, ya?”

Aku bangkit, mengibaskan tanganku dari kotoran dan mengabaikan luka di telapak tanganku yang kini mengeluarkan darah. Aku menatap Keyla tak mengerti dan menangkap gelagat tak mengenakkan dengan disebut-sebutnya nama Saka tadi.

Keyla balik menatapku dengan dagu terangkat dan tangan terlipat di depan dada.

Sorry gue buru-buru, nggak liat lo,” kata Keyla yang kini tersenyum padaku, “Lo jadi jatoh gini, kan..”

Aku mengerutkan dahi melihat senyum meremehkannya merekah dibibir yang dipoles lipstik bold itu. Aku mencoba menebak apa sebenarnya yang Keyla coba lakukan, jelas sekali cewek ini sengaja menjegal kakiku. Tapi aku tak punya waktu untuk meladeni sikap kekanak-kanakkannya.

Sorry gue buru-buru..” kataku sambil menatapnya tak berminat.

“Gue juga buru-buru.. yuk, jalan bareng.”

Aku berusaha menahan diriku untuk tidak menyemburnya saat itu juga dan membiarkannya mengekoriku.

“Lo tau? Gue sama Saka udah kenal dari SD.”

Aku mendengus, langsung mengerti maksud ‘sapaan’ kasarnya tadi, “Oh, ya?” kupilih menjawab seadanya.

“Dari SD gue selalu satu sekolah sama dia. SMP, SMA, selalu satu sekolah. Kita nggak pernah pisah. Sampe sekarang kuliah pun sekampus dan sekelas.”

Aku diam-diam memasang senyum miringku, benakku berkata, maksud lo, lo nguntit Saka? Mendadak aku merindng berjalan di samping cewek ini.

Keyla tertawa kecil, “Kalo lo? Gimana lo bisa kenal dia?”

“Ya.. begitu aja..”

“Lo beruntung bisa kenal Saka. Saka itu orangnya cuek tapi peduli, susah ditebak tapi nggak misterius juga.. dia—“

Malam&Kamu [Selesai]Where stories live. Discover now