ULANG TAHUN

122 24 0
                                    

Aku duduk di bingkai jendela kamarku yang besar. Halaman belakang rumah terpampang jelas di depan mataku. Tak ada siapa pun di sana, bahkan Mang Epul tak terlihat. Di telingaku ponselku masih berdering, menunggu orang yang kutelepon menjawabnya.

“Halo, Ay.” Suara Ayah terdengar di seberang sana.

Aku menelan ludah, “Lagi apa, Yah?”

“Lagi rapi-rapi.” Jawabnya, “Kamu nggak kuliah?”

“Aku masuk jam sepuluh nanti. Ini masih jam delapan.” Jawabku, “Titip salam buat Ibu ya, Yah. Maaf tahun ini aku nggak bisa dateng bareng Ayah di hari meninggalnya ibu ini.”

Ayah tertawa pelan, “Ibumu ngerti, kok, kamu lagi kuliah. Kamu yang penting di sana jangan lupa doain ibumu.”

Aku mengangguk, “Setiap hari kudoain, Yah..”

“Kamu siap-siap kuliah mendingan sana. Pagi-pagi gini malah nelpon.”

Aku tersenyum, “Iya. Aku sekalian mau izin liburan ini aku nggak pulang, ya.”

“Kenapa emangnya?”

“Aku mau ambil semester pendek.” Jawabku, “Mau nabung, biar lulusnya cepet.”

“Kenapa kok tiba-tiba kamu pengen cepet lulus gini?”

Aku menghembuskan nafas, “Nggak enak kalo harus kelamaan ngerepotin Pak Wira dan Saka.”

Aku menelan ludah. Pikiranku untuk cepat lulus terus datang menggebu-gebu saat aku mengamini bahwa aku menyukai Saka. Aku tak ingin berada di sekitarannya lebih lama lagi dengan perasaan membuncah seperti ini. Rasanya tak nyaman. Apalagi Saka sudah punya Bella.

“Ayah setuju kalo gitu.” Kata Ayah yang sempat terdiam mendengar alasanku tadi.

“Ya udah, Yah. Aku mau rapi-rapi, jangan lupa salamku buat Ibu.”

“Iya. Oh kalo gitu Ayah juga titip salam buat Saka. Dia ulang tahun, kan, hari ini.”

Aku terdiam, bagaimana Ayah bisa tahu soal ulang tahun Saka? Aku baru sadar kalau aku sama sekali tak pernah bertanya kapan ulang tahun Saka pada siapapun.

“Saka ulang tahun?”

Aku bisa mendengar helaan nafas Ayah di seberang sana, “Iya. Kamu jangan lupa ngucapin. Ke-22 berarti.”

Aku menatap kolam renang yang tenang di bawah sana, “Ayah tau dari mana?”

“Masa Ayah nggak tau, sih, ulang tahun anak itu.” aku bisa mendengar senyum di kata-katanya ini, “Udah, ah, tutup dulu.”

Aku mengucap salam baru setelahnya menutup teleponku pada Ayah. Aku melamun di tempatku duduk beberapa saat. Menatap pohon Angsana besar di halaman belakang yang tertiup angin. Aku menatap ponselku ragu. Ada keinginan kuat untukku menemui Saka di hari bahagianya ini. Atau sekedar meneleponnya dan mengucapkan selamat padanya lewat telepon.

Aku membuka aplikasi kalendar di ponselku. Kulihat hari ini tanggal 5 Mei, sebuah pengingat tercantum di bawah tanggal itu sebagai hari peringatan kematian Ibu. Aku menambahkan satu lagi pengingat di bawahnya: “Saka’s b’day”. Aku menatap kedua pengingat itu bergantian. Bagaimana bisa hari baik untuk Saka bertepatan dengan hari buruk untukku?

***

EXPO yang sudah berjalan selama seminggu kini menapaki hari terakhir. EXPO dibuka sejak pukul 8 pagi, tapi aku baru datang ke kampus pukul 10. Aku sudah izin pada koor fakultasku kalau aku akan datang terlambat karena hari ini adalah hari peringatan kematian ibuku. Sebenarnya aku memang tak pergi ziarah, tapi entah mengapa di hari ini aku selalu malas melakukan aktivitas lain. Sejak dulu sudah seperti ini. Dulu ketika masih di rumah aku juga hanya menghabiskan hari ini dengan tidur-tiduran di kamar mengenang Ibu.

Malam&Kamu [Selesai]Where stories live. Discover now