Chap 19 - Pregnant

9.8K 452 6
                                    


Rion mendorong kursi rodaku hingga di depan ruangan ICU tempat Kak Arrnet dirawat. Disitu sudah ada papa dan Cello. Papa... sudah berapa lama aku tidak melihat papa? Dan kenapa papa tidak pernah sekalipun menjengukku. Aku menggeleng dengan sedih.

Jangan terlalu berharap sesuatu yang nggak mungkin, Lyra. Kamu tahu benar bahwa papa itu begitu membencimu! Bahkan saat ini untuk melihatmu saja papa tidak sudi! Teriak hati kecilku. Kami masih harus menunggu hingga Kak Arrnet dipindahkan ke ruang perawatan, tetapi dokter hanya memperbolehkan satu orang untuk menjenguk Kak Arrnet karena kondisinya yang masih sangat lemah.

Dalam jendela kaca, aku dapat melihat tubuh Kak Arrnet yang masih terbaring lemah. Berbagai alat terpasang di tubuhnya untuk membuatnya tetap bertahan hidup. Matanya mengerjap-ngerjap mungkin mencoba beradaptasi dengan cahaya yang baru saja dia lihat. Aku pernah merasakannya, Kak. Aku juga pernah berada dalam kegelapan dan diambang hidup dan mati. Rasanya sungguh mengerikan! Aku melihat jari Kak Arrnet bergerak pelan, ada kelegaan luar biasa dalam hatiku.

Bertahanlah, Kak. Aku berjanji akan selalu menemanimu mulai saat ini. aku berjanji akan memperjuangkan perasaanku mulai detik ini. aku tidak akan takut lagi menghadapi kenyataan. Asalkan bersamamu, kita pasti bisa mengalahkan tragedi.

Setelah Kak Arrnet sudah dipindahkan ke ruang perawatan, papa masuk terlebih dahulu. Waktu seakan berjalan sangat lambat saat itu. Jantungku mulai berdetak dengan tidak teratur, apalagi saat papa sudah keluar dari ruangan Kak Arrnet. Papa tidak mengatakan apa-apa lagi pada aku, Rion bahkan Cello. Ia langsung meninggalkan kami tanpa pamit.

Aku menghela napas berat melihat sikap papa yang masih sangat dingin. Aku merasakan Rion mendorong kursi rodaku untuk mendekat ke ambang pintu. Setelah itu ia membantuku untuk memakai pakaian steril dari rumah sakit dan juga masker serta penutup kepala.

Aku mendekati Kak Arrnet yang masih setengah terpejam dan setengah membuka mata. Sepertinya kesadarannya masih belum penuh. Aku segera menggenggam tangannya yang bebas dari jarum infus dan menciumi punggung tangannya dengan penuh kerinduan. Pandangan Kak Arrnet tidak tertuju padaku, tapi pandangan sendu itu menerawang sambil terus melihat cahaya lampu. Matanya mengedip lemah. Wajahnya begitu pucat dan sangat tirus. Jauh berbeda dengan Kak Arrnet yang terakhir kali tersimpan dalam memori otakku. Kak Arrnet yang begitu gagah, tampan, dan penuh percaya diri.

"Kak... ini aku, Lyra. Aku disini. Kakak nggak usah takut. Aku disini menemani kakak. Aku janji setelah semua ini selesai, kita akan selalu bersama," ujarku dengan suara nyaris berbisik.

Aku merasakan tangan Kak Arrnet bergerak dalam genggamanku. Ia seperti berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku. Aku membiarkan tangannya terlepas begitu saja.

"Per-gi...ja-uh...da-ri-ku...!" katanya dengan pelan dan terbata-bata.

Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Kak Arrnet mengusirku? Apakah ia mengusirku? Aku menggeleng dengan kuat. Aku salah dengar. Ya, aku hanya salah dengar!

"Kak, ini aku Lyra. Lihat aku kak!" aku memohon dengan terisak padanya. Aku mengambil tangannya lagi dan meletakkan di pipiku. Tangannya begitu dingin dan pucat.

Ia menolehkan kepalanya ke arahku, kemudian ia memandangku dengan pandangan penuh dengan... errr... kemarahan?

"Per-gi... to-long..per-gi! Sa-kit..kepala-ku sa-kit!" Teriaknya.

Ia menarik tangannya dari genggamanku dengan kuat dan memegang kepalanya yang sakit. Aku sedikit panik dengan reaksinya. Dengan cepat aku memencet tombol di samping ranjang untuk memanggil dokter. Ia terus berteriak kesakitan. Aku hanya bisa menangis sampai dokter datang dan Rion membawaku keluar dari dalam ruangan.

LyraOù les histoires vivent. Découvrez maintenant