Chap 6 - Fool Me

9K 503 15
                                    

Arrnet POV

Entah setan apa yang merasukiku sekarang, yang jelas aku sudah menyatukan bibirku dan bibir Lyra. Duniaku berhenti dan aku tidak peduli dengan pandangan orang-orang disekitar kami. Yang jelas saat ini dalam duniaku hanya ada Lyra!

Aku merasakan manis bibirnya dan memperdalam ciumanku. Aku bisa merasakan Lyra membalas ciumanku walaupun ciumannya payah. Aku tidak tahu apakah ini merupakan ciuman pertama baginya, aku tidak peduli! Yang aku pedulikan saat ini hanyalah momen sangat indah dengan perempuan yang aku cintai dan aku tidak ingin momen ini berakhir.

Dengan perlahan aku melepaskan ciuman kami. Aku melihat kedua pipinya yang sudah merona merah. Aku tertawa dalam hati. Kamu lucu sekali, sayang.

"Kak..."

Hanya itu yang dia ucapkan setelah ciuman kami berakhir. Aku tersenyum dan membelai pipinya.

"Anggap itu ciuman perpisahan dari kakak." Sedikit sakit mengucapkan hal ini. Tapi pada kenyataannya sebentar lagi aku dan Lyra akan berpisah. Aku bisa melihat kesedihan yang tiba-tiba terpancar dari wajah eloknya.

"Kita pulang sekarang aja, Kak."

Dia melepaskan pelukanku dan menarik tanganku untuk keluar. Aku sedikit kaget dengan reaksinya yang tiba-tiba seperti itu. Ya, wajar jika dia sekarang marah padaku.

Setelah berada di dalam mobil, dia hanya diam dan memandang jalanan. Aku juga diam, bingung ingin membahas apa karena saat ini malu dan marah pada diriku sendiri.

Demi Tuhan, apa yang kamu lakukan tadi? Kamu sudah menciumnya dan dengan gampang mengatakan bahwa itu ciuman perpisahan! Dia adikmu, Arrnet! Seorang adik tidak akan mendapatkan ciuman di bibir jika itu hanya sebuah ciuman perpisahan!

Tolonglah, Lyra! Aku berani membayar berapapun untuk tahu apa yang kamu pikirkan sekarang! Teriakku frustasi dalam hati.

Dan ternyata keterdiamannya bertahan hingga kami tiba di rumah. Tanpa berkata apa-apa dia berlari menuju kamarnya. Aku hanya bisa memukul setir meratapi kebodohanku sendiri. Kalau sudah seperti ini kamu bisa apa, Arrnet?

***

Besoknya aku lebih memilih untuk berangkat ke kantor lebih pagi. Menghindar memang lebih baik. Sebelum ke kantor aku menuju sebuah tempat, tempat dimana aku sering menangis dan menumpahkan perasaanku. Makam mama.

Aku membersihkan pusara mama yang sudah mulai ditumbuhi rumput-rumput liar. Memang sudah agak lama aku tidak mengunjungi mama dan aku rasa aku harus mengunjungi mama sebelum kepergianku. Sambil menaburkan bunga di pusara mama aku merasakan air mataku mengalir.

"Ma, apakah memang aku tidak boleh bersamanya? Kenapa mama harus meninggalkan amanat seperti itu? Aku harus bagaimana, Ma?"

Aku memegang dadaku yang sesak. Aku tahu mama pasti sedih melihatku seperti ini. Aku menghapus air mataku. Aku tidak boleh terlihat menyedihkan. Aku laki-laki dan aku harus menjaga serta melaksanakan amanat mama bukannya justru malah menangis meratapi kenapa mama memberikan amanat yang begitu berat padaku bahkan di usiaku yang belum genap 10 tahun.

Ketika aku tiba di kantor, aku sudah disambut dengan Cello yang memberitahu beberapa agendaku ketika aku tiba di Melbourne nanti. Pikiranku belum sepenuhnya kembali pada tempatnya aku hanya mendengarkan sekilas saja.

"Jadi bagaimana, Pak?" Tanya Cello dengan nada formal jika sudah menyangkut masalah pekerjaan. Aku terlalu banyak melamun hingga tidak fokus dengan apa yang ia katakan.

"Apa? Tolong ulangi sekali lagi."

"Mr. Andrew Javerson meminta untuk bertemu dengan bapak tetapi di jadwal yang saya miliki saat itu bapak masih baru tiba di Melbourne. Mungkin bapak butuh istirahat, jadi apakah bapak bersedia bertemu dengan Mr. Javerson?"

LyraWhere stories live. Discover now