Chap 12 - Secret

8.2K 426 4
                                    

POV Arrnet

Mungkin karena kelelahan, Lyra tertidur di dalam mobil hingga kami tiba di apartemen hampir dini hari. Aku menggendongnya masuk ke dalam apartemen karena tidak tega membangunkannya. Ternyata Rion masih terjaga dan membukakan pintu untuk kami. Aku membawa Lyra ke dalam kamar dan membaringkannya di ranjang.

Aku merasa tidak ingin keluar, memandang wajah Lyra lebih dari apapun bagiku saat ini. Aku betah berlama-lama hanya untuk memandangnya saja. Tanganku terulur dan mengusap pipinya yang lembut. Sebelum aku keluar dari kamar, aku mengecup keningnya sekilas.

Di luar, aku melihat Rion masih duduk mematung di depan televisi. Aku menghampirinya dan merasa heran karena pikiran Rion seperti tidak ada pada tempatnya. Televisi itu menyala, tetapi Rion hanya memandang dengan tatapan kosong.

"Maaf ya Rion kamu jadi nggak bisa tidur gara-gara menunggu kita pulang." Aku mengambil posisi duduk di sampingnya. Dia menoleh padaku dan sedikit terkejut dengan kehadiranku. Sedetik kemudian dia mulai bisa menguasai dirinya.

"Nggak apa-apa, Kak. Aku kan memang suka insomnia. Kebanyakan jagain adik kakak yang manja itu," candanya.

Aku tertawa dan meninju bahunya pelan. Dia ikut tertawa bersamaku.

"Kak... aku boleh bertanya sesuatu?" ada keraguan dalam intonasi suaranya. Aku mengangkat alisku penasaran.

"Tentu saja boleh."

"Apa aku boleh berjuang buat Lyra? Apa aku boleh berusaha bikin Lyra cinta sama aku?"

Taaarr!!!

Pertanyaan Rion bagi petir yang menyambar di atas kepalaku. Pertanyaan macam apa itu? Aku merasakan jantungku seperti diremas-remas. Sakit sekali. Tapi detik berikutnya aku tersadar. Bukankah itu yang selalu aku inginkan? Bukankah itu tujuanku mempertemukan Lyra degan Rion? Aku memang ingin Rion berjuang untuk kebahagiaan Lyra meskipun aku yang harus mengalah dan mengorbankan perasaanku. Tapi itu adalah akhir yang paling baik.

"Tentu aja boleh, Rion. Kenapa harus tanya dulu sama kakak? Kakak seneng lho punya adik ipar kayak kamu."

Rion, meskipun mengatakan itu sama saja membunuhku perlahan-lahan tapi aku sangat rela kalau kamu jadi laki-laki satu-satunya bagi Lyra. Aku melihat Rion gelisah dan ia meremas-remas jari tangannya.

"Kenapa, Rion?"

"Itu kak... tapi Lyra nggak suka sama aku. Aku akan berjuang dulu. Kalau memang dia masih belum bisa menerimaku, aku akan menyerah."

Aku meremas kedua bahunya seperti memberi kekuatan.

"Kejar dia, bahagiakan dia."

Hanya itu yang bisa aku katakana, kemudian aku melangkah meninggalkannya untuk menuju kamar. Tuhan, semoga ini merupakan pintu yang Kau bukakan untuk kebahagiaan adikku.

***

Dering ponsel membangunkanku pagi ini. Aku menggerutu dalam hati. Siapa yang pagi-pagi begini menggangguku? Aku mengambil ponsel yang terletak di meja sebelah ranjang dengan malas dan melihat nama yang terpampang di layar. Dengan cepat aku mengangkat panggilan itu.

"Halo, ada apa Pa?" sapaku pada papa. Kalau papa sudah menelepon itu tandanya ada hal penting yang harus dia bicarakan denganku.

"Kamu ke Sydney sekarang juga!" perintah papa terdengar nyaring.

"Tapi aku baru saja dari sana, Pa."

"Tidak ada tapi-tapi, Arrnet. Sekarang juga kamu berangkat! Oh iya, ajak juga gadis itu menemui papa!"

LyraWhere stories live. Discover now