Bagian 19

15.9K 1.1K 276
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

"Kami tidak bisa menerima ini, kyai. Kami hanya mau Santriwati yang main tangan ke anak kami bisa segera dikeluarkan dari pesantren ini. Harusnya kyai bisa mengambil tindakan yang lebih bijak dengan segala keadaan yang sudah terjadi di pesantren ini. Karana kami menitipkan anak kami di sini dengan kepercayaan penuh bahwa pesantren ini dapat menjaga anak kami. Bukan malah sebaliknya."

Besoknya, orang tua Risa kembali datang. Tetap mengatakan bahwa Mahika harus dikeluarkan dari pesantren. Beberapa kali Abi melontarkan kalimat damai yang menuju kepada permaafan.

Alih-alih luluh, semuanya justru semakin kacau. Mereka masih tetap ingin Mahika keluar. Abi tidak bisa menolak mentah-mentah karena posisinya orang tua Risa mengancam akan menyebarluas nama pesantren ini dengan tuntutan yang sama.

"Begini, Buk. Ini hanya masalah anak-anak. Kita masih bisa menyelesaikan semuanya secara kekeluargaan. Kami paham bahwa anak ibu terluka, tapi di sudut pandang lain. Risa juga salah. Jadi, mohon untuk tidak menyalahkan satu pihak," kata Umi.

Orang tua Risa tetap tidak menerima nasehat apapun. Mereka tetap pada keinginan awal.

"Wajah anak saya sampai lebam. Masih perlu dibicarakan secara kekeluargaan? Ini pesantren atau sekolah bebas? Intinya saya tetap mau anak itu dikeluarkan. Anak saya jadi tidak tenang sekolah di sini kalau dia masih di sini."

"Ya sudah anak ibu yang pindah saja. Saya biaya segala urusan perpindahannya. Selesai perkara?"

Mereka semua kontan menoleh ke arah pintu masuk. Suara itu datang dari seorang pria ber-jas hitam. Penampilannya nampak rapi.

"Saya dengar dari ustadzah asrama, ibu dan keluarga ingin membawa perkara ini ke jalur hukum jika Mahika tidak dikeluarkan, bukan? Saya beli pesantren ini supaya anak ibu yang saya keluarkan dari pesantren ini."

"Anda siapa ikut-ikutan. Ini urusan anak saya dan juga anak itu."

"Saya orang tuanya Mahika."

Kyai dan istrinya seketika terkejut. Ini kali pertama mereka melihat orang tuanya Mahika.

"Anak bapak yang salah kenapa justru melawan. Ini memang kesalahan anak bapak!"

"Anak saya bertindak sesuai kondisi. Ada sebabnya. Dan saya tidak ingin anda menyalahkan anak saya. Pilihannya hanya dua, berhenti membicarakan soal kasus ini dan pergi dari sini, atau tetap di sini dan saya yang akan memanggil polisi untuk menyelesaikan perkara ini. Itu mau anda?"

Seketika orang tua Risa terdiam.

"Saya punya banyak kenalan polisi dan juga lawyer. Mentri? Banyak juga. Tahu hukum di negara ini? Kalau bisa menebak bagaimana kerja hukum di negara kita ini, maka saya sarankan keluar dan berhenti membicarakan kasus ini. Karena jika anda memberi bukti visum itu, saya pastikan bukan anak ibu atau anak saya yang akan diproses secara hukum, tapi ibu yang akan diproses. Mengerti dengan kalimat yang saya berikan?"

Orang tua Risa mendengus. Dia berdecak. Segera pergi dari sana dengan raut wajah kesal. Ini memang bukan hanya salah Mahika, ini berawal dari Risa. Pembelaan tersebut tentu berhak Mahika dapatkan.

"Hallo, Pak Kyai."

"Silahkan duduk, Pak Danil." Abi hanya ingat nama belakang papanya Mahika.

"Tahu nama saya dari mana?" tanya pria itu.

Umi dan Abi tersenyum dan menjawab bahwa mereka tahu nama pria ini dari data siswa.

***

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now