Bagian 20

18.1K 1.2K 164
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

Semua santri berkemas untuk perpulangan libur panjang. Hari ini koper-koper dan juga puluhan mobil terparkir di pekarangan pesantren, siap menjemput anak-anak mereka.

"Eh, Ri. Om Botak ikut jemput kamu nggak? Atau Mama kamu doang yang datang buat jemput?" Tanya Zihan.

"Papa aku ikut kok. Kita mau liburan ke Jepang selama satu Minggu........ Karena kata Papa, aku butuh hiburan. Otakku sudah mulai rusak. Soalnya aku salah tebak. Ingat kan waktu kita ke hotel buat labrak selingkuhan papa. Ternyata itu desainer, teman kerjanya Mama. Dan parahnya, itu bencong. Bukan cewe beneran."

Fara, Zihan, serta Mahika tertawa mendengar ucapan Riri.

Di luar asrama sudah sangat berisik. Suara klakson mobil, suara anak-anak yang berpamitan ke sesama anak asrama. Padat dan juga ramai.

Mahika berdiri di teras asrama. Pada lantai dua, dia menatap hamparan halaman asrama. Melihat banyak anak-anak yang dijemput penuh cinta oleh orang tuanya. Sedang dia hanya mampu menonton.

Kepulangannya tidak sama sekali berarti seperti anak-anak lain. Di sana, Mahika mengusap ujung matanya yang basah. Dia tersenyum dan menarik napas panjang.

"Mahika."

Suara itu membuat Mahika berdiri tegak dan menoleh ke belakang.

"Papa datang jemput Mahika."

Dia mengalihkan pandangannya dari pria paruh baya itu. Berpikir akan ucapan Zaman beberapa hari yang lalu bahwa Papanya berhak mendapat kesempatan. Bahwa mereka berdua harus belajar menjadi orang tua dan anak.

Mahika sadar bahwa dia tidak punya siapa-siapa selain Zaman. Mahika butuh keluarga sebagaimana teman-temannya.

"Papa berharap Mahika mau pulang sama Papa."

"Mahika nggak bisa, Papa."

Pria itu tiba-tiba tersenyum mendengar dirinya dipanggil 'papa' tapi penolakan Mahika membuat senyumnya pudar.

"Mahika pulang ke mana kalau bukan sama Papa. Tolong ikut sama Papa."

Mahika menatap ke sebelah. Kemudian dia tersenyum dan menggeleng.

"Papa pulang aja. Kasi alamat Papa ke Mahika. Nanti Mahika usahakan datang. Tapi jangan sekarang."

"Kenapa? Masih marah sama Papa?"

Mahika menggeleng. Dia mengadahkan tangannya di hadapan pria itu.

"Alamat rumah Papa. Mahika mau pergi," katanya.

Pria paruh baya itu langsung mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku jasnya. Ini lebih baik daripada Mahika tidak mau bicara padanya.

"Papa tunggu secepatnya, Nak. Papa harap Mahika cepat datang ke rumah. Setiap hari papa akan berharap Mahika pulang, semoga Mahika tahu bahwa setiap hari papa berharap."

Mahika mengangguk.

"Papa pamit. Sehat-sehat."

Mahika diam ketika Papanya memeluknya. Mahika berusaha menahan air matanya. Berkali-kali ia membuang napas agar dia tidak menangis. Saat tangan pria itu menyapu kepalanya. Itu sakit sekali. Rasa sakit yang selama ini Mahika pendam.

Pelukan pertama selama ia hidup. Sialnya Mahika gagal. Dia menangis. Berusaha ia hentikan air matanya, tapi tetap tidak bisa. Papanya menyadari itu. Mahika langsung menghapus air matanya. Dia melepas dirinya dari pelukan Papa.

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now