Bagian 26

20.6K 1.2K 283
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

"Gus, dua hari lagi libur sekolah udah selesai. Ini gimana? Aku nggak usah lanjut sekolah?" Dia bertanya pada saat Zaman sibuk memperbaiki tempat tidur mereka. Ada kayu yang patah. Entah karena sudah rapuh atau karena mereka.....

"Gus Zaman, kenapa diam. Jawab! Ini gimana? Kita pulang atau tetep di sini."

Zaman menoleh ke arahnya.

"Kita pulang besok," kata Zaman.

Mahika menghela napas panjang. Akhirnya ia bisa hidup dengan listrik.

Pada saat sibuk membereskan alat-alat menukang itu. Mahika menghampiri Zaman. Dia peluk laki-laki itu. Lantas dia berbisik.

"Hari terakhir di hutan. Nggak mau?" tanya Mahika.

Kening Zaman mengernyit.

"Mau apa, sayang? Mau ke sungai buat mandi tiga jam? Atau, keliling hutan buat pamitan sama pohon-pohon?"

Mahika berdecak kesal. Dia melepas pelukannya dari Zaman. Beralih keluar dari kamar dan duduk di kursi kayu dekat pintu.

Zaman tentu heran. Dia letakkan alat tukang itu di atas meja dapur. Lantas datang menghampiri Mahika.

"Kenapa, hum? Aku salah bicara?"

"Tau ah. Kamu ngebosenin," balas Mahika.

Zaman menghela napas kecil. Ia tersenyum, lalu mencium tangan Mahika.

"Mau apa?" tanya Zaman.

"Mau pulang," balasnya cukup angkuh.

"Besok, ya. Kita pulang besok. Tadi kamu mau apa? Coba ulang, aku kurang paham maksud kamu."

Mahika menatap sinis pada Zaman.

"Nggak ada! Lupain aja."

Zaman mendekatkan bibirnya ke telinga Mahika.

"Aku takut kamu hamil. Jangan dulu ya."

Mahika langsung menatap wajah Zaman. Dia gerogi padahal dia sendiri yang memancing Zaman.

"Sebenarnya.... Aku juga mau. Tapi, lebih baik mencegah daripada nanti jadi masalah buat kita berdua," kata Zaman.

Mahika memainkan jemarinya. Dia menunduk.

"Tapi.... Tapi, nggak mungkin langsung jadi kan. Apalagi aku masih kecil. Nggak akan hamil," katanya malu-malu.

Zaman terkekeh lantas menggeser lebih dekat dengan Mahika.

"Kata siapa nggak mungkin jadi? Kalau kamu atau aku subur, langsung jadi juga bisa," balas Zaman.

Mahika meluruskan pandangannya pada Zaman. Mereka saling tatap cukup lama, sampai akhirnya Mahika terkekeh sendiri.

"Kenapa?" tanya Zaman.

"Aku ketawa karena keinget tempat tidur yang patah. Aku seberat itu sampai patah? Atau kamu seberat itu?"

Zaman ikut terkekeh.

"Kayunya sudah lama. Makanya patah," katanya.

Mahika langsung menggeleng kepala.

"Bukan karena kayunya. Tapi karena kitanya. Terlalu banyak gerak jadi patah."

Zaman mengusap wajah Mahika dengan telapak tangannya.

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang