Epilog

16.9K 964 132
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

Malam pertama Zaman dikebumikan, Mahika duduk di sudut kamar Zaman. Menatap setiap sudut yang dindingnya berisi foto-foto Zaman. Rasanya seperti bencana besar datang melanda.

Mahika masih ingat kapan terakhir kali ia bertemu Zaman. Sore ketika Mahika dan Umi pulang dari klinik. Ketika Abi mendengar berita kehamilannya. Mahika sudah merelakan segalanya untuk Zaman dan juga anak mereka.

Mahika tidak keberatan jika sekolahnya berhenti sampai di sini. Asal ada Zaman. Mahika tidak keberatan akan hal itu. Abi dan Umi menyetujui.

Bahkan mereka sudah merencanakan untuk membicarakan pernikahan yang akan diadakan di pesantren jika Zaman sudah sampai.

Tapi kenapa ketika Mahika sudah ikhlas melepas segalanya, Zaman justru pergi untuk selamanya. Mahika tidak sekuat itu. Mahika tidak sanggup.

Dia menangis tersedu-sedu di sudut kamar yang redup cahaya. Menutup wajahnya. Tidak dapat membayangkan hari esok dan selanjutnya akan berjalan seperti apa, karena Zaman sudah tidak ada.

Lampu kamar menyala. Seseorang yang masuk ke kamar itu melihat Mahika yang duduk bersimpuh. Bahunya bergetar. Suara sesenggukannya terdengar.

Perlahan dia melangkah menghampiri anak itu. Duduk di hadapan Mahika, dia tepuk pelan lengan Mahika.

Detik demi detik Mahika mulai meluruskan wajahnya. Dia menatap seseorang yang berada di hadapannya. Jemari dinginnya terangkat mengusap wajah orang itu.

"Kenapa nangis? Lampunya kenapa dimatikan. Tidak ke asrama? Kenapa di kamarku, hum?"

Mahika semakin terisak. Dia menunduk tersedu-sedu.

"Ada apa? Kenapa nangis? Kemari. Kemari, sayang."

Malam itu Mahika merasakan tubuhnya ditarik lembut penuh cinta ke dalam pelukan yang tak ubahnya seperti selimut paling lembut dan hangat. Dia menumpahkan segala laranya di lingkaran tangan yang memeluknya.

"Aku.....aku nggak mau sendirian. Aku capek hidup sendirian. Aku capek ngelihat orang-orang yang aku sayang pergi. Mereka semua ninggalin aku. Mereka semua nggak tahu kalau dari kecil aku selalu kesepian." Dia menangis sejadi-jadinya.

"Nggak ada yang ninggalin kamu. Aku di sini. Aku nggak ninggalin kamu. Sekarang lihat. Aku di sini, di depan kamu. Kita mau nikah, kan? Mau buat pesta di pesantren? Kita tinggal berdua di kota. Iya?"

Mahika mendongak menatap wajah lelaki itu. Dia tersenyum tapi air matanya jatuh terus menerus.

"Aku nggak mungkin ninggalin kamu dan anak kita. Aku nggak sejahat itu."

Mahika mengusap air matanya.

"Ta....tapi aku nyaksiin sendiri kamu dibawa sama orang-orang. Tubuh kamu dibalut kain putih. Kamu nggak sadarkan diri. Tubuh kamu luka, banyak darahnya, banyak lebamnya. Tubuh kamu biru...."

Mahika menjatuhkan keningnya ke kening Zaman. Dia menangis mengusap wajah lelaki itu.

"Aku nggak tahu sesakit apa yang kamu rasakan. Tapi aku hampir mati lihat tubuh kamu, Zaman. Aku kesakitan lihat tubuh kamu yang banyak lukanya," Mahika menatap wajah Zaman. Dia menggeleng kepala. Air matanya terus jatuh. "Sakit? Pasti sakit ya? Kamu diapain? Siapa yang pukulin kamu? Siapa yang nyiksa kamu......" dia menunduk sesenggukan.

Usapan lembut terasa pada lengannya. Lelaki itu mengusap lengannya. Mengusap air matanya. Mencium keningnya.

"Aku baik-baik saja. Nggak ada yang luka, sayang. Lihat. Tatap aku. Nggak ada luka lebam."

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now