Bagian 23

15.9K 1.1K 150
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

Pria itu mencengkram tangannya dengan begitu keras. Mahika meringis saking sakitnya. Tapi dia berusaha diam Karana akan jauh lebih menakutkan jika Papanya tahu dia menguping dan mendengar percakapannya lewat telpon.

Mahika menggeleng. Dia berusaha melepas tangannya dari pria itu. Berusaha untuk tidak berteriak agar papanya tidak mendengar. Namun, ini sudah terlanjur. Pintu kamar tersebut terbuka. Papanya menatap mereka berdua cukup heran. 

Pria yang tengah mabuk itu langsung mengadu. Dia mengatakan semuanya. Mahika menunduk ketika Papanya menatapnya.

“Pergi,” titahnya kepada pria tadi.

Lantas, dia menoleh ke arah putrinya.

“Mahika, kamu dengar semuanya?” Kini dia bertanya.

Mahika diam menunduk. Tangannya terasa dingin. Dia ketakutan. Apa yang harus ia jawab.

“Mahika, jawab Papa. Kamu dengar obrolan Papa?”

Samar-samar, Mahika mengangguk. Pria itu berdecak. Dia mengusap kepalanya sendiri.

“I-itu tidak seperti yang ada di pikiranmu. Kamu paham kan maksud Papa? Itu hanya bercanda. Papa hanya bercanda dengan teman Papa. Tidak ada yan.....”

“Bercandanya nggak lucu. Jadi cerita sebenarnya seperti apa? Papa bunuh Mama. Kapan? Kuburannya belum kering katanya? Lalu, tujuannya ketemu sama aku apa? Buat kasih tahu kalau Mama mati di tangan Papa? Supaya Mahika tahu kalau Papa pembunuh. Iya?”

“Dengarin, Papa. Ini semua bukan kesalahan Papa. Ini kesalahan Mamamu. Dia membuat masalah besar. Dia membuat Papa hampir di tangkap polisi. Papa tidak sengaja, Nak. Papa tidak sengaja menghabisi Mamamu.”

Mahika menggeleng kepala.

‘Papa benar-benar tidak sengaja. Dan.....” Pria itu menghentikan bicaranya. Dia menunduk dan mengusap wajahnya.

“Tega Papa ngelakuin itu. Apa pun masalahnya, membunuh orang nggak akan jadi solusi. Dengan ngelakuin itu, hidup Papa bisa tenang? Kalau iya, bunuh aja semua orang yang menurut Papa penyakit bagi diri Papa.”

“Semua yang Papa lakuin di luar kuasa Papa, Nak. Papa benar-benar terpaksa.”
“Atas dasar apa Papa terpaksa?”

Daniel diam. Menunduk merasa bersalah. Tapi tidak tahu dia benar-benar merasa bersalah atau tidak sama sekali.

“Atas dasar apa?!” ulang Mahika atas pertanyaannya.

“Karena Papa terpaksa. Papa dipaksa oleh teman-teman bisnis Papa. Ini semua bukan kesengajaan,” Dia memegang kedua pundak Mahika.

“M-mama kamu mengancam akan melaporkan Papa ke kantor polisi ketika dia tahu kalau Papa menjual Narkoba. Teman bisnis Papa mengancam akan membunuh Papa jika Mama kamu melaporkan soal ini, karena yang terlibat juga bukan hanya Papa, tapi yang lain juga. Papa kehilangan ide, Papa tidak mau dibunuh, Papa tidak mau ditangkap polisi, dan Papa tidak mau bangkrut.”

Dia kembali mengatupkan kedua tangannya di hadapan Mahika.

“Pa-papa..... disuruh membunuh Mamamu. Tidak ada, Nak. Tidak ada yang bisa Papa lakukan kecuali menurut. Pistol menancap di kepala Papa, apakah Papa harus mengatakan tidak? Lalu setelahnya kepala Papa pecah?” Dia menggeleng. “Mama kamu sudah Papa peringatkan agar tutup mulut, tapi dia keras kepala. Dia tetap mau melaporkan Papa.” Ucapannya terjeda.

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now