Bagian 22

16.1K 1.2K 132
                                    

🦋 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 🦋

Setelah kejadian semalam. Pagi ini Mahika jadi canggung. Begitu halnya dengan Zaman. Entah kenapa, mereka berdua jadi tidak saling menyapa pagi ini.

Duduk di meja makan, yang mengobrol hanya Umi dan Abi. Sedangkan Mahika, Zaman, justru diam menyimak obrolan orang tua tersebut. Bahkan untuk sekadar saling tatap, tidak sama sekali.

"Zaman, pastikan Mahika sampai dengan selamat ke rumah Papanya ya. Pakai mobil. Akhir-akhir ini hujan sering turun. Nanti kalian kejebak."

Mahika seketika terdiam. Bagaimana jika Zaman menerkamnya lagi ketika berada di mobil? Lalu, dia hamil? Berhenti sekolah? Tidak! Mahika menggelengkan kepalanya.

"Umi, Mahika berangkat sendiri saja. Gus Zaman pasti ada urusan lain. Nggak apa-apa kok," ucapnya.

Kening Umi mengernyit. Dia menatap Zaman.

"Ada urusan?" tanya Umi.

Zaman tentu menggeleng karena memang dia tidak punya agenda hari ini.

"Tidak ada toh? Jadi, Mahika diantar sama Zaman. Umi tidak tenang kalau kamu berangkat sendiri. Baiknya diantar saja ya, nduk?"

Mahika pasrah. Dia mengangguk sembari tersenyum.

Begitu selesai makan. Mahika langsung mengambil tasnya. Dia menutup pintu kamar dan berjalan keluar rumah. Zaman sudah menunggu di dalam mobil.

Mahika menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya ia membuka pintu mobil. Dia berdehem saat duduk di sebelah kursi kemudi.

"S-sudah?" tanya Zaman. Tanpa menatap wajah Mahika.

"Iya," balas Mahika. Dia juga tidak berani menatap wajah Zaman. Beralih menatap jalanan dari jendela mobil saja.

Selama perjalanan, terhitung sudah 20 menit. Mereka masih diam tidak menyapa sama sekali. Sampai tiba-tiba Zaman menepikan mobil, Mahika deg-degan. Kenapa mobilnya menepi? Lalu, Zaman menghadap ke arahnya. Kontan, Mahika menutup dadanya dengan kedua tangan.

"Mau ngapain?!" sewotnya.

Kening Zaman mengernyit.

"Mau ngapain?" Mahika memukul tangan Zaman yang hendak mengarah padanya.

"Aku mau ngambil minum di kursi belakang. Takut kamu kehausan. Memangnya kenapa?" tanya Zaman.

Mahika menggeleng kepala. Dia menggigit jarinya saking gugupnya. Zaman memberikannya satu botol air mineral. Kemudian mobil kembali berjalan.

Zaman menoleh ke arahnya. Mahika langsung keberatan.

"Kenapa lihat aku?" tanyanya.

Zaman berdehem kecil.

"Kamu kenapa kelihatan marah hari ini? Dari pagi nggak mau ngobrol sama aku. Natap aku aja nggak mau. Karena kejadian semalam?"

Mahika diam. Dia menggaruk hidungnya yang tak gatal.

"Kenapa kita jadi begini? Kalau dipikir-pikir tidak ada yang salah dari kejadian semalam. Itu hal normal, bukan? Kita sadar kalau sebenarnya kita berhak melakukan itu. Tapi, memang belum tepat waktunya. Jadi, hal-hal seperti itu. Hilang kendali, menurutku akan sering terjadi," kata Zaman.

"Sering terjadi?" tanya Mahika.

"Enggak. Maksudnya, lumrah terjadi. Jadi, kamu jangan takut. Jangan diemin aku. Kan kamu pemberani," ledek Zaman.

Zaman Omair (SUDAH TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt