1. Pertama Kali Mengasuh

120 19 23
                                    


Ini pertama kalinya dia harus mengasuh anak-anak--hasil pemaksaan.

Itu semua bermula dari kejadian beberapa waktu silam, topik tren di seluruh situs berita dan media sosial. Pesawat yang merupakan bagian dari perjalanan demonstrasi dengan penumpang didominasi para pebisnis, dilaporkan hilang komunikasi pada malamnya. Yang orang-orang ketahui, puing-puing pesawat ditemukan di tebing Gunung Sawo dengan lokasi sulit diakses. Pihak terkait menyimpulkan 'tidak ada peluang untuk hidup' bagi semua penumpang.

Di antara para penumpang itu ialah pasangan pebisnis sukses yang meninggalkan anak kembar.

Biasanya, anak-anak yang masih kecil, polos, tidak tahu-menahu kejamnya dunia, akan terkena batin manakala mengetahui orang tua mereka meninggal.

Tapi, yang ini beda. Yang kena pikirannya, kesalahan mengotaki.

"Ari, Ana, mulai sekarang kalian akan tinggal dengan Paman ini."

"Asyik! Aku mau es krim geprek!"

"Asyik! Aku mau naik yang hijau-hijau itu!"

Gangguan perkembangan, gangguan komunikasi, gangguan berekspresi. Itulah Ari, anak laki-laki kurus usia sepuluh tahun dengan penampilan culun rompi lepas sebelah dan kaus kaki berbeda model; serta Ana, anak perempuan yang hampir sama, kacamata bulat lensa tebal dan rambut kucir dua dengan jepit banyak.

Mereka dua anak yang akan mengubah seorang manusia buangan, jiwa pemuda dengan hati yang berlubang. Mungkin bakal menambah lubangnya dua atau lima.

Dari sudut pandang pemuda dengan lubang-lubang baru itu, alkisah di sebuah mes 'pagi yang damai, dunia!' berganti 'sial, pagi yang ricuh!'.

Masih dengan pakaian kusut--kemeja kotak-kotak dan jas laboratorium, rambut acak-acak, mata sayu, air muka kuyu, pemuda itu pamit pada matahari di balik awan badai pada jendela, lalu turun dari kamar kapal pecah.

Sesampainya di ruang tengah, di sana lebih kapal pecah lagi. Sambil mengutuki bibi jauhnya, paman jauhnya, kakek-nenek jauhnya, hingga pada titik pisuhan itu tertuju nama orang yang dicoret-coret, dia mengambil sesuatu dari lemari pendingin, menggeser mangkuk dan meraih penumbuk.

"Kalau saja ...." Tumbukannya macam kesetanan. "Kalau saja orang-orang b**o itu tidak lempar-lemparan ... !"

Setelah jadi, dia berteriak ke ruangan lain.

"Ari! Ana! Sarapan!"

Ari dan Ana setengah berlari dari ruang tamu, satunya membawa pistol menyala satu lagi naik kuda lumping hijau. Keduanya duduk di meja yang disiapkan di tengah kekacauan.

"Asyik! Es krim geprek!" seru Ana.

Si pemuda berdecih. "Bukan, ini sereal campur bubur ayam."

Mereka bertiga mulai menyarap. Ari mengambil sendok dan menyuapi Ana, sementara Ana menyuapi Ari. Yang menyaksikan dengan tatapan tajam pun berseru.

Akhirnya mereka menghabiskan makan lalu balik main ke ruang tamu, meninggalkan seorang pemuda yang disuguhi pemandangan biji gandum, beras merah, polong, dan kacang-kacangan yang dipisah satu sama lain. Pemuda itu melipat lengan, meletakkan tubuh bagian atas di meja, menyerah.

"Ya Tuhan, pengin menikah ...."

Guut WulagWhere stories live. Discover now