[11] Merasa Bersyukur

10 2 0
                                    

SESAMPAINYA di rumah, Kinara yang baru saja masuk ke dalam rumahnya tersebut langsung melihat keberadaan Adi--Ayah kandungnya yang tengah duduk santai di ruang keluarga sembari menonton televisi.

Sementara Adi yang melihat kedatangan anak gadis itu sontak menoleh ketika Kinara memberikan salam kepadanya. "Kamu darimana? Udah mau malem gini baru pulang," tanya Adi, membuat Kinara beralih untuk duduk di samping Adi dan langsung melepaskan tas yang terkait di punggungnya.

"Tadi aku habis ngejenguk dulu temen di rumah sakit, Pah. Mama di mana?" balas Kinara yang langsung menanyakan keberadaan Ibunya.

Adi terlihat menyeruput kopi hitamnya, lalu menjawab, "Mama lagi ke warung, beli bumbu buat masak."

Jawaban Adi langsung di sambut dengan anggukan mengerti dari Kinara. "Papa bukannya mau pulang besok? Katanya kerjaannya baru beres besok, kok sekarang udah ada di sini?"

"Kenapa? Kamu gak suka Papa pulang lebih cepet?"

Dengan cepat Kinara menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu ..."

Adi terkekeh kecil melihat anaknya yang terlihat gelagapan. "Kerjaan Papa di luar kota ternyata bisa di selesain lebih cepet, jadi Papa bisa pulang sekarang," balas Adi kemudian.

"Oh ... kalo gitu Aku ke kamar dulu ya, Pa. Mau beres-beres."

Saat Kinara hendak bangkit dari tempat duduknya, suara Adi kembali mengintruksi. "Tunggu dulu. Kamu gak mau cerita sama Papa soal sekolah kamu? Gimana sama nilai-nilai kamu yang sekarang?" tanya Adi, mengurungkan niat Kinara untuk bangkit dari tempatnya.

"Nilai-nilai aku aman kok, Pa. Aku juga lagi fokus buat persiapan masuk kuliah nanti," jawab Kinara, di sambut dengan senyuman kecil dari Adi.

Adi kini mengangkat salah satu tangannya untuk mengusap pucuk rambut anaknya tersebut dengan sayang. "Pertahanin ya, nilai-nilainya. Yang semangat juga belajarnya."

Senyuman Kinara mengembang ketika Adi mengatakan hal tersebut. Dengan ini Kinara merasa sangat beruntung karena memiliki sosok Ayah yang seperti Adi, yang selalu senantiasa mendukungnya. Walaupun Adi jarang berada di rumah karna sibuk bekerja, tetapi pria itu tetap selalu memperhatikan perkembangan Kinara di rumahnya. Dan Kinara merasa sangat bersyukur karna hal itu.

"Oh iya, tadi di Rumah Sakit kamu ngejenguk siapa? Dysa sakit?" tanya Adi tiba-tiba, karna yang Adi tau sejauh ini, teman Kinara yang Adi kenal hanyalah Dysa.

Kinara terdiam beberapa saat lalu menggeleng pelan. "Bukan. Temen aku yang lain."

"Siapa?"

Kinara bergumam sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak mungkin kan, Kinara berkata bahwa yang di jenguknya ini adalah Dirga. Mengingat Adi sangat overprotektif jika tau Kinara tengah dekat dengan lelaki lain. Pasalnya, dulu juga saat ada teman sekolah Kinara--salah satu lelaki yang memang menyukai Kinara, nekat untuk datang ke rumahnya ini. Dan di saat itu juga, Adi dengan tegas langsung mengusirnya.

"Hey, temen kamu itu cowok, ya?" tanya Adi lagi, membuyarkan lamunan Kinara.

Tetapi bagaimana pun juga Kinara tidak bisa berbohong kepada Ayahnya sendiri. Lantas, dengan pelan Kinara mengangguk. "Iya, Pa. Aku ngejenguk temen aku, cowok. Namanya Dirga," jawab Kinara yang terlihat ragu-ragu ketika mengatakannya.

"Oh ..." Adi mengangguk--anggukkan kepalanya, sembari meraih gelas yang berada di atas meja dan kembali meneguk kopi hitamnya. "Dia sakit apa?" tanyanya lagi, membuat Kinara sedikit kaget karna ternyata respon Adi tidak menunjukkan bahwa Ayahnya tersebut akan marah kepadanya.

"Papa gak marah?"

Adi tertawa renyah. "Kenapa harus marah? Kamu sebentar lagi udah mau lulus SMA, jadi gak aneh kalo kamu punya temen cowok kayak gitu," jawabnya, di sambut dengan helaan nafas lega dari Kinara.

"Dirga sakit usus buntu, terus sebentar lagi dia mau di operasi. Jadi aku ke sana buat ngejenguk dia," ujar Kinara, menjawab pertanyaan yang sebelumnya Adi tanyakan.

"Kok bisa kenal sama dia? Kalian sekelas?"

Entah kenapa Kinara merasa bahwa Adi malah ingin mengulik lebih dalam tentang Dirga. Dan hal tersebut membuat Kinara semakin kebingungan karna ia sendiri pun bingung dari sejak kapan dirinya dekat dengan Dirga seperti ini.

"Enggak, cuman satu sekolah aja. Dirga anak MIPA," jawab Kinara jujur.

"Terus, kok bisa kenal?"

Kinara memicingkan matanya ke arah Adi dan balik bertanya, "Papa kok kayak yang penasaran banget sama Dirga?"

Adi menahan senyumannya sembari mengacak pelan rambut Kinara. "Siapa tau Papa dapet tanda-tanda."

"Tanda-tanda apa?" balas Kinara cepat.

Adi bergumam. "Kamu tau kan, kalo Papa sama Mama juga mulai pacarannya itu dari jaman SMA. Ya ... siapa tau," ujarnya sembari tersenyum penuh arti.

Sementara Kinara yang langsung mengerti dari maksud perkataan Ayahnya tersebut, langsung berkata, "Ih, Papa apa-apaan, sih ... Aku gak mau dulu mikirin hal-hal yang kayak gitu. Mau fokus dulu belajar buat masuk kuliah. Udah ya, Aku ke kamar dulu."

Tanpa menunggu jawaban dari Adi, Kinara langsung bangkit dari tempat duduknya dan melenggang pergi masuk ke dalam kamar. Sementara Adi yang melihat kepergian anaknya tersebut hanya tersenyum kecil.

"Dulu juga Mama kamu bilang gitu sama Papa, Nak," gumam Adi kemudian.

EPOCH [On Going]Där berättelser lever. Upptäck nu