Saka : Love's A Game

43.4K 4.5K 344
                                    

Author's Note :D

Re-post. Karena entah kenapa, ini kok kosong begeneh.

Enjoy deh. ;p

___________________________


"Saka..."

Aku mendengar suara Mama memanggilku dari dalam kamarnya. Aku meletakkan roti berlapis selai sarikaya yang sedang aku makan, meletakkan Architectural Digest yang sedang aku baca, dan menghampiri kamar Mama. Melongok ke dalam kamar yang pintunya terbuka lebar.

"Ya, Ma?" tanyaku. Mama menoleh. Wajahnya terlihat sedikit pucat.

"Tolong dong, risletingkan baju Mama. Tangan Mama nggak bisa ke belakang, sakit kalau tangan Mama diangkat..." ujar Mama pelan. Aku menghampiri Mama dan membantunya menaikkan risleting. Aku menghela napas pelan saat melihat badan Mama yang semakin kurus.

"Sudah. Saka bantu apa lagi?" tanyaku. Mama menggeleng.

"Sudah kok. Kamu nggak siap-siap? Macet lho. Janjian sama Dokter Tandra kan jam 9..." ujar Mama saat melihatku yang masih memakai celana pendek dan kaus butut.

"Gampang. Tinggal ganti baju. Mama sarapan dulu ya," ujarku.

"Nanti aja, Ka. Mama masih agak mual..." Mama meringis.

"Ya udah, nanti habis periksa kita makan ya," ujarku. Mama mengangguk.

"Kamu siap-siap gih. Mama sudah siap kok," suruh Mama.

Aku keluar dari kamar Mama dan menuju kamarku yang baru sebulan aku tempati. Kami baru saja pindah lagi ke Jakarta, setelah sebelumnya aku dan Mama tinggal di Surabaya. Kondisi Mama semakin mengkhawatirkan, dan dokter yang menangani Mama, Dokter Tandra, berada di Jakarta. Daripada bolak-balik, lebih baik pindah saja sekalian. Sebenarnya Mama sedikit keberatan, beliau tidak suka tinggal di Jakarta, yang menurutnya ramai. Aku sendiri sebenarnya tidak suka. Tapi, yah. Terpaksa.

Aku lahir dan menjalani masa kecilku di Surabaya, tinggal bersama Eyang Putri dan Eyang Kakung, orang tua Mama. Papa dan Mama bercerai saat aku kelas 1 SD, dan setelahnya, aku tetap tinggal bersama Mama di Surabaya. Aku pindah ke Jakarta saat kelas 3 SD, karena Mama menikah lagi, dan ayah tiriku, Pak Sugondo, yang adalah rekan bisnis Eyang Kakung, tinggal di Jakarta. Pak Sugondo seorang duda, istrinya meninggal 13 tahun yang lalu, dan beliau mempunyai tiga orang anak yang jarak usianya sangat jauh denganku. Dua perempuan dan satu laki-laki. Saat Mama menikah dengan Bapak, panggilanku untuk Pak Sugondo, Mbak Sita putri pertamanya sudah bekerja, umurnya 25. Mbak Rima, putri keduanya, saat itu sedang kuliah S2, umurnya 23, dan Mas Reno, putra bungsunya, masih kuliah S1, umurnya 21. Mas Reno... Hhh. Aku memiliki sejarah yang tidak menyenangkan dengan Mas Reno. Sejarah yang aku yakini membuatku menjadi seperti sekarang. Seorang gay. Hhh. It's a long, and scary story.

Bapak meninggal saat aku kuliah di Belanda. Dan saat Bapak meninggal, Mama pindah lagi ke Surabaya, kembali ke rumah Eyang Kakung. Eyang Kakung dan Eyang Putri juga sudah meninggal. Mama sendirian di Surabaya, hanya ditemani oleh Mbok Sri, yang sudah ikut Mama sejak aku lahir. Saat Mama sakit, aku kembali ke Surabaya untuk menemani beliau, meninggalkan semua di Belanda. Pekerjaan, teman, pacar. Ha!

Ferdinand, pacarku, atau yang sekarang sudah jadi mantan, adalah salah satu bosku di Hofman Dujardin Architects, tempat aku magang saat kuliah, sampai akhirnya aku dan Ferdinand merintis sendiri kantor arsitek kami, Sangsana Architects, yang saat ini, di usianya yang baru menginjak 5 tahun, menjadi kantor arsitek terbesar nomor 7 di Amsterdam. Quite impressive, eh? Usia Ferdinand yang lebih tua, berbeda 15 tahun denganku, membuatku merasa, entahlah, nyaman? Hhh. Dia mengajarkan banyak hal, dari soal pekerjaan, sampai soal kehidupan. Sejak awal, dia tahu ada yang berbeda denganku, dan akhirnya dia juga mengajakku berpacaran, meskipun dia tahu, aku tak mau berhubungan seks dengannya. Bercumbu okelah, tapi kalau ML, nanti dulu. Banyak yang menjadi pertimbanganku. PMS, salah satunya. Daan, yah. Aku masih trauma. Entahlah, aku juga bingung dengan kondisiku. Trauma sama ML, benci Mas Reno, tapi aku cinta laki-laki dan jijik sama perempuan. Aku tahu, aku tidak normal. Satu-satunya hal yang normal denganku, adalah saat aku bertemu dengan Laksmi, dan bercinta dengannya di lavatory. Aku meringis. Yah,itu nggak normal juga sih... ML kok di toilet. Aku yakin itu karena pengaruh bergelas-gelas sampanye yang aku minum. Pasti. Kalau tidak, aku yakin aku tidak akan mau melakukan itu dengan perempuan. Dipegang-pegang sama mereka saja aku jijik! Aku cuma tidak jijik pada Nania, sahabat terbaikku sepanjang masa. Kewanitaan Nania diragukan sih. Hahaha...

SAKA - SILVIA : SELALU BERSAMAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang