Silvia : Suit and Tie

42K 4.3K 105
                                    

Author's Note :D


Part ini sangat membosankan menurutku. Jarang dialog, lebih banyak narasi. Baru kali ini nih, bikin part begini. Hahaha... Eksplorasi. Jadi kalau ada kritik dan saran, monggo...


O ya, judul-judul part di novel ini emang diambil dari lagu Blank Space-nya Taylor Swift. Beda dengan Bayu-Padmi yang juga pake judul part dari lirik lagu I Could Be The One-nya Donna Lewis, yang iniiii bikin pusing. Hahahaha... Karena ini tuh kan gak perlarik kaya' itu. Jadi saya bingung mau pake kata yang mana. Maaf kalau kesannya jadi maksa. Hihihi...


Walaupun part ini geje, saya berharap kalian tetap betah membacanya.

Selamat Menikmati! :D


_______________________________________



Aku bangun dengan susah payah, lalu meraih air putih yang ada di nakas. Berusaha mengusir  mual yang timbul tiba-tiba.  Another gloomy morning. Yaah, tapi di tempatku berada sekarang, suasana pagi memang hampir selalu suram. Ditambah suasana hatiku juga suram. Lengkap sudah. Mendung, gelap dan dinginnya ampun-ampun. Aku bergidik saat menjejakkan kakiku ke lantai marmer yang dingin. Manaaa sandal bulu-bulukuuuu!

Setelah meraih-raih, aku menemukan sandal bulu andalanku dan memakainya, lalu berjalan pelan ke kamar mandi. Hiiih! Ini salah satu hal yang paling bikin males di rumah ini. Ke kamar mandi! Apalagi shubuh-shubuh begini. Aku mendengar suara-suara dari arah dapur, tanda penghuni rumah lainnya selain aku, sudah memulai aktivitas paginya. Semoga Bu Minah membuatkanku teh panas. Aku sangat membutuhkannya.

Selesai menunaikan ibadah pagiku, aku beranjak keluar kamar. Lampu-lampu sudah dimatikan, meskipun matahari masih mengintip malu-malu di balik pegunungan. Aku berjalan di tengah gelap, menuju dapur, pusat kegiatan di rumah ini.

"Bu Miiin... Teh dong," aku duduk di kursi kayu tinggi di pantry dapur bergaya country itu.

Dapur di rumah ini luas sekali. Merangkap ruang makan. Dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan menakjubkan ke arah kebun teh yang membentang di luar sana. Singkatnya, dapur ini luar biasa. Dulu sih, waktu aku masih payah di dapur, aku tidak suka ruangan ini. Tapi setelah aku agak pintar memasak seperti sekarang, dapur ini menjadi suakaku. Hampir setiap saat selama dua minggu terakhir aku tinggal di rumah ini, aku habiskan di sini. Entah memasak, atau hanya sekedar melamun di sofa empuk yang aku minta Pak Rustam, suami Bu Minah, untuk meletakkannya di samping dinding kaca.

"Aduh, Non. Jangan duduk di situ ah. Bu Min sereem, takut Non jatuh..." Bu Minah menoleh cemas.

Aku turun dari kursi tinggi, dan berjalan ke sofa. Duduk meringkuk di salah satu sudutnya sambil menatap keluar. Masih belum terang benar. Apalagi kabut tampaknya cukup tebal pagi ini.

"Ini, Non..." Bu Minah menyodorkan mug berisi the panas, yang aku raih dengan penuh suka cita. Aaahhh, hangatnya...

"Makasih, Bu Min," ujarku. Bu Minah tersenyum.

"Sama-sama, Non. Bu Minah ke kebun dulu ya. Mau ngambil persediaan. Sarapan sudah siap di meja. Dimakan ya, Non. Non Silvia kurus sekali," Bu Minah menatapku cemas. Aku hanya mengangguk.

Sepeninggal Bu Minah, aku kembali menatap ke luar jendela, sambil menggenggam mug berisi teh panasku. Aku menghela napas, dan menyandarkan kepala ke sofa, menumpangkan mug ke atas perutku yang buncit. 15 minggu, kalau kata Mbak Padmi saat aku pergi ke RS 3 hari yang lalu, untuk meminta obat anti mual. Si kecil ini membuatku tidak bisa makan sama sekali karena aku selalu memuntahkan apapun yang aku telan, kecuali teh dan air putih. Aku mengelus perutku lembut dengan sebelah tangan. Bayiku. Bayiku dan... Saka. Hhh...

SAKA - SILVIA : SELALU BERSAMAMUWhere stories live. Discover now