Silvia : I Know You Heard About Me

46.1K 4.8K 402
                                    

Author's Note :D

Hihihi. This is my guilty pleasure, actually. Bukannya ngerjain laporan yang udah mendekati deadline... Tiap selesai satu laporan, ngetik novel satu part. Wakakaka... Ndak sumbut, lek jare wong Jowo...

Ada hal menarik kemarin. Ada yang inbox, diskusi soal karakter. Dia nanya, kenapa karakter novel saya yang cowok-cowok ini, PoVnya kaya' cewek? Apalagi Bima, menye2 abis dan cewek banget. Berhubung yang bilang gini ternyata ga satu dua, saya mau bikin diskusi terbuka nih. Apakah ada di antara kalian juga merasakan hal yang sama? Ini penting buanget gaes, masukan yang sangat berguna buat saya, biar ke depannya lebih baik. Bagi yang mau diskusi, silakan inbox ya. Akan saya bahas di pertemuan berikutnya... Hihihi... Poin diskusinya, apakah PoV cowok-cowok ini kurang "lelaki" di mata kalian? Siapa yang menurut kalian paling ndak cowok? Apa alasannya?

Terima kasih buanyaak untuk partisipasinya.

Sekarang mah, silakan menikmati yang ini dulu! :D

____________________________________________

Aku menatap pantulan wajah di cermin raksasa itu. Wajah yang dihiasi make up tebal.  Wajah yang aku kenal baik, sekaligus asing. Siapa aku sebenarnya?  

"Silvia?" Mbak Padmi melongok di pintu kamar. Aku memandangnya lewat cermin raksasa itu.

"Hai, Mbak. Masuk," ujarku. Mbak Padmi menghampiriku. Dia tampak cantik sekali dengan kebaya coklat mudanya.

"Sudah siap?" tanyanya. Aku mengangguk pelan.

"Mmm... Penghulu sudah datang. Mmm... Wali nikahnya juga..."

"Saka?" tanyaku kering.

"Saka sudah datang, Silvia... Nggak usah khawatir..." Mbak Padmi tersenyum.

"Aku takut dia berubah pikiran, setelah dia tahu aku perempuan yang nggak jelas asal-usulnya," ujarku lirih. Merasakan sesak yang amat sangat di dadaku, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Tepatnya, 6 hari yang lalu.

"Silvia, please don't say that... Buat aku,kamu tetap adikku, adikku satu-satunya yang paling aku sayangi..." Mbak Padmi meraihku ke dalam pelukannya. Air matanya berlinang. Aku mengejang sedikit, sebelum akhirnya aku membalas pelukan Mbak Padmi. Air mataku juga mengalir perlahan.

Menangis untuk asal-usulku yang hilang. Untuk seorang ayah dan seorang kakak perempuan, yang ternyata sama sekali tidak ada hubungan apapun denganku. Karena, seperti yang diteriakkan oleh orang yang aku panggil Papa sampai beberapa hari yang lalu, aku adalah anak perempuan jalang yang nggak jelas asal-usulnya. Nggak jelas siapa bapaknya.

 Anak haram.

***

 

6 days before...

 

"Kamu kelihatan gugup," ujar Saka sambil tersenyum. Aku menoleh padanya, meringis.

"Yah, kembali ke rumah dimana kamu tidak diinginkan itu bukan sesuatu yang menyenangkan, Saka..." ujarku pelan.

"Hmmm, Papa kamu marah, Laksmi. But it doesn't mean that he hates you," Saka menatapku.

"Ayo, turun. Kita selesaikan ini. Aku sudah tidak sabar untuk menikahimu," ujar Saka sambil tersenyum lebar. Aku tergelak. 

Saka membukakan pintu Everest-nya, dan memegangi tanganku untuk membantuku turun. Keadaan perutku sudah mulai membuat ruang gerakku sedikit terbatas.

"Kaya'nya aku harus ganti mobil. Kasihan kamu kalau naik-turun susah..." ujar Saka.

"Nggak apa-apa. Kan ada kamu yang bantuin," ujarku sambil mengerling. Saka tertawa, lalu meletakkan tangannya di pinggangku, membimbingku ke pintu depan.  Di Whatsapp yang dikirim Mbak Padmi, katanya aku masuk aja langsung, karena Papa sudah di rumah. Yaah, asumsiku sih, Papa tahu aku akan datang. Semoga saja Papa melunak, dan mengijinkan aku menikah dengan Saka. Semoga.

SAKA - SILVIA : SELALU BERSAMAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang