Saka : Let's Be Friends

30.1K 4K 164
                                    

Author's Note :D

Ya ampuuunn, berdebuuuu... *lap lap lapak watty pake kaos butut* :D Hehehe, masih pada inget sama cerita ini nggak yaaa... Berhubung part ini pendek, jadi saya akan update dua part langsung dalam waktu 15 menit. DUA! Semoga cukup untuk memuaskan dahaga kalian semua di siang yang panas membahana ini.

Selamat Menikmati! :D

___________________________________________________________________________


Aku melirik Laksmi yang masih tampak muram. Aku menghela napas. Iya lah, kalau jadi dia, aku juga pastinya tertekan. Shock berat. Orang yang selama ini ia anggap Papa, ternyata adalah orang lain. Tiba-tiba saja ia tercerabut dari akarnya. Keluarga satu-satunya yang benar-benar berhubungan darah dengannya hanya tinggal Opa-nya, ayah dari Mamanya. Beliau jugalah yang membantu persiapan pernikahan kami, hanya dalam hitungan hari. Orang kaya yang berkuasa memang beda ya.

And here we are at last, setelah acara pernikahan sederhana di rumah Opa Benny tadi pagi. Aku dan Laksmi sekarang berada di rumah kami yang baru. Rumah mewah di kawasan Pejaten ini juga hadiah dari Opa Benny. Walaupun awalnya aku menolak, tapi Opa Benny memaksa, dengan penuh permohonan. Beliau bilang, hanya ini yang bisa beliau lakukan untuk cucu satu-satunya. Mama juga mendukungku untuk pindah berdua dengan Silvia, katanya agar kami berdua bisa lebih dekat. Meskipun sebenarnya aku berat meninggalkan Mama, namun Mama berkata kalau beliau baik-baik saja. Lagipula rumah Mama juga tidak jauh dari rumah ini. Ya sudahlah, nikmati saja. Kalau kata Bima sih, mumpung gratis! Kapan lagi! Hhh. Dasar Bima mental gratisan!

"Laksmi? Kamu nggak mau ganti baju dulu?" tanyaku pelan pada Laksmi yang masih duduk termangu di tepi tempat tidur di kamar pengantin kami yang dihias dengan bunga-bunga lily putih, yang diimpor khusus dari Taiwan atau mana lah. Laksmi menoleh ke arahku.

"Hah?" ia menatapku bengong. Aku tersenyum kecil.

"Kamu nggak mau ganti baju dulu? Nggak gerah apa, pakai kebaya begitu?" tanyaku. Laksmi menunduk, menatap kebaya putihnya yang sangat mewah, penuh rajutan tangan halus bermotif bunga lily, dengan taburan swarovsky. Kalau kata Nania, sepertinya ada berlian juga nyempil di situ, melihat dari kilaunya. Buset deh. Kebaya pengantin itu dipesan khusus, sekali lagi, hanya dalam hitungan hari. Bunga lily adalah bunga favorit Laksmi.

"Mmm... Iya, aku mau ganti. Bentar, masih lemes..." Laksmi meringis. Aku menghampirinya.

"Are you okay? Mau aku bantu?" tanyaku. Laksmi menatapku, wajahnya merona. Astaga. Bukannya waktu itu aku juga pernah membantu melucuti pakaiannya? Walaupun dalam konteks yang berbeda. Melihat wajahnya yang bersemu merah, membuatku salah tingkah. Kenapa kami berdua jadi canggung begini sih?

"Eeeeng, nggak apa-apa?" Laksmi malah balik bertanya.

"Nggak apa-apa. Hadap sana, aku bantu buka kancingnya," ujarku. Aku duduk dibelakang Laksmi, menatap deretan mutiara yang berbaris rapi di sepanjang punggungnya. Walah, nggak kurang banyak nih? Aku mulai membuka kancing-kancing itu satu persatu, menghayati setiap butirnya, menyentuh lembut kulit halus Laksmi di baliknya, sampai akhirnya semua kancing yang totalnya ada 79 buah terbuka semua. Laksmi buru-buru berbalik menghadapku sambil memegangi bagian depan kebayanya, dan tersenyum.

"Fiuuuh. Why 79?" tanyaku sambil meregangkan jari-jariku yang sedikit kaku. Coba saja buka kancing mutiara mungil-mungil sebanyak 79 kali. Dijamin bikin nyeri sendi.

"Mmmm, karena tanggal lahirku 7 September..." Laksmi tersenyum. Aku melongo. Yeah right. Pesanan khusus, remember?

"Woow... Ya ya. Untung kamu nggak lahir tanggal 31 Desember. Membuka 3112 kancing kaya'nya bisa bikin aku asam urat," candaku sambil menatapnya. Tanpa sadar tanganku mengarah ke wajahnya yang sedikit berkeringat. Menyentuh hiasan rambut yang bertebaran di atas kepalanya.

"Aku bantu buka ya, kaya'nya berat banget," ujarku. Lalu buru-buru menarik tanganku saat merasa Laksmi menatapku lekat.

"Mmm, nanti aja. Aku ganti kebaya dulu..." ujarnya. Aku mengangguk.

Dari tempatku duduk di atas tempat tidur, aku melihat Laksmi membuka kebayanya. Meletakkannya di sandaran kursi. Lalu dia membuka risleting korsetnya. Tampaknya dia sudah tak lagi canggung. Tapi... kenapa jadi aku yang canggung ya? Aku memalingkan wajah saat Laksmi melepas korsetnya, menyisakan bra tanpa tali berwarna pink pucat, yang tampak nyaris sewarna dengan kulitnya yang putih.

Aku bisa merasakan Laksmi menatapku lekat. Aku meliriknya saat dia berjalan sedikit terburu ke arah lemari, membukanya, dan meraih bathrobe berwarna biru laut, memakainya cepat-cepat menutupi tubuhnya.

"Mmmm... Kamu mau ganti baju juga? Nanti aku bisa minta tolong Mbok Siti membukakan sanggulku..." ujarnya. Aku menoleh ke arah Laksmi.

"Aku kan udah janji mau bantu kamu..." ujarku sambil mengernyit. Laksmi menatapku.

"It's okay. Kamu ganti aja, pasti gerah juga kan? Mmm... Sama... Bisa minta tolong ambilkan air putih hangat? Aku haus..." ujar Laksmi sambil kembali menatap ke cermin besar di meja rias, membelakangiku, dan mulai melepas hiasan rambut di kepalanya.

"Okey. Aku ambil koperku dulu ya di depan. O ya, mmmm... Aku... Tidur di mana?" tanyaku. Laksmi menoleh cepat, dan menatapku aneh. Ups. Kaya'nya aku salah ngomong.

"Mmm... Maksud aku..." ujarku salah tingkah. Laksmi hanya terpaku menatapku.

"Di rumah ini ada 7 kamar. Silakan pilih mau tidur dimana. Yang paling membuat kamu nyaman..." ujar Laksmi memecah keheningan. Aku meringis mendengar betapa dinginnya nada suara Laksmi. Betapa jelasnya kekecewaan yang tergambar di sana. Aku keluar kamar, dan menghela napas. Merasa bersalah.

Jujur, sejak awal aku memang tidak berpikir kalau aku dan Laksmi akan tidur sekamar. Itu terlalu... Intim. Semobil bareng, masih oke. Makan bareng, juga masih oke. Tapi tidur bareng, itu nggak oke. Ya, ya... We're husband and wife now. Sudah sewajarnya kami tidur sekamar. Tapi... Kondisiku dan Laksmi saat ini tidak bisa dibilang wajar kan? Aku tidak, mmm... belum. Belum sanggup membayangkan akan berada begitu dekat dengan orang lain. Perempuan pula. It's... too much. Setidaknya untuk saat ini. Aku butuh waktu. Untuk menata ulang hidupku.

So for now on, Laksmi. Let's be friends, shall we?

***


SAKA - SILVIA : SELALU BERSAMAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang