Saka : I Can Read You Like A Magazine

43.6K 4.7K 380
                                    

Author's Note :D


Harusnyaaa bikin laporan, kok malah bikin giniaaan. Huhuhu...

Yah, itung-itung hadiah. Abis ini updatenya bakalan lama (kaya'nya). Laporraaannn oooh laporaaan... *curhat*

Hope you like it, gals.

Selamat Menikmati! :D


________________________________




Sayup aku mendengar suara denting piano yang mengalun merdu, dan tak lama, aku mendengar suara yang tak kalah merdu, menyanyi dengan diiringi denting piano itu. Waw. Nice voice. Dan sangat ketara kalau yang menyanyikan lagu ini, begitu menghayatinya. Membuatku merinding. Pelan aku menutup pintu mobilku di depan villa megah itu, mengangguk sebentar pada penjaga pintu yang mengijinkanku masuk. Tadinya dia menatapku curiga dan sebagainya, tapi aku mengatakan kalau aku adalah suami Silvia. Setelah itu dia membukakan pagar secepat kilat. Hehe. Password yang luar biasa.

Pintu depan villa itu yang terbuat dari kayu jati tua terbuka lebar, membiaskan sinar matahari pagi di lantai marmer Italianya yang dingin. Jelas, villa ini bukan milik orang sembarangan. Bangunannya yang bergaya Victorian memang tidak terlalu besar, tapi tampak indah. Pemandangan sekitarnya pun menakjubkan. A million dollar view.

Aku bersandar pada kusen pintu, memasukkan tanganku ke saku, dan mengamati perempuan cantik yang sedang menyanyi sambil bermain piano itu. Dia memejamkan mata, berada di dalam dunianya sendiri, dan tatapanku terpaku padanya. Dia begitu indah. Rambutnya tampak acak-acakan, jelas belum mandi. Bajunya pun seadanya, hanya sweater abu-abu butut dan celana karet panjang, lengkap dengan sandal bulu-bulu berwarna pink berbentuk kepala babi. Tapi dia tampak sangat cantik di mataku. Laksmi-ku. Aku mendengarkan suaranya yang merdu, merasuk sampai dasar hatiku.

I wanna love that will last...

Perempuan itu menghela napas saat permainan pianonya yang indah berakhir. Dia membuka mata. Aku bertepuk tangan.

"Nice voice. Nggak pengen ikutan Indonesian Idol?" tanyaku sambil tersenyum lebar. Laksmi terperanjat kaget.

"Kamu... Gimana kamu bisa di sini?" tanyanya sambil menatapku horor.

"Mmm, kan punya mobil. Nyetir deh dari Jakarta ke sini," ujarku enteng sambil mendekati Steinway itu. Laksmi duduk semakin merapat ke piano di depannya. Wajahnya pias.

"Kamu... Tahu dari mana aku di sini?" tanyanya gugup.

Laksmi menatapku sambil memeluk dirinya sendiri, menempelkan badannya ke piano. Jelas, dia menyembunyikan kehamilannya. Aku menatapnya, perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku kasihan, melihatnya begitu pucat dan kurus, terlihat bahwa dia menanggung beban hidup yang tidak ringan. Bima bercerita tentang semuanya. Semua yang dia tahu tentang Laksmi. Dan aku sangat berempati. Hidup Laksmi tidak berbeda jauh dengan hidupku. We have to struggelling with so much pain. Tapi di sisi lain, aku juga marah padanya. Bagaimana bisa dia memutuskan untuk tidak memberitahuku soal kehamilannya? Aku turut menyumbangkan sperma! Itu bayiku juga!

"Dari Bima," jawabku pendek. Laksmi mengumpat kasar. Aku meringis.

"Bima titip pesan. Tolong dicabut sumpahnya. Dia masih ingin punya 3 anak lagi," ujarku. Laksmi cemberut.

"Terus, ngapain kamu ke sini?" tanya Laksmi ketus sambil mendongak menatapku. Gugupnya sudah hilang. Yah, gugup memang tidak sesuai dengan kepribadiannya. Dia tipe yang bisa menguasai segalanya. Aku menghampiri Laksmi, memutar kursi empuknya sampai dia berhadapan denganku. Laksmi terkesiap. Aku memegang kedua bahunya yang kurus dengan tanganku. Menatapnya tajam.

SAKA - SILVIA : SELALU BERSAMAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang