SIlvia : I Can Make A Bad Guys Good For A Weekend

42.1K 4.7K 251
                                    

Author's Note :D

Soal pemenang tebak-tebak buah manggis kemareeen... The answer is Roommate. And the winner is @AnnascaniaAMY So buat yang ngerasa, inbox saya yaaahh... :D

Buat yang lain, terima kasiiiihh udah berpartisipasi yaaahhh... Mmuuuaahhh... Ini aku kasih hadiah update-an. Lumayan lah dikit-dikit, lama-lama kan jadi bukit...

Selamat Menikmati! :D

______________________________


Aku menatap keluar jendela mobil, berusaha menghindar dari tatapan Saka. Aku tahu dia ingin bicara, beberapa kali aku merasa dia menoleh ke arahku. Tapi aku... Aku malu. Malu, marah, muak. Malu pada Saka, marah pada diriku sendiri, dan muak setengah hidup sama si kutu beras Daniel! Ya Tuhan, perjalanan menuju rumah masih sangaaattt panjaaaang...

"Laksmi..." suara Saka terdengar di keheningan mobil. Ini dia. OMG. Aku menoleh ke arah Saka dengan enggan.

"Ya?"

"Itu tadi apa? Siapa dia?" Saka tampak tenang, namun aku bisa melihat kalau dia sangat marah. Jari-jarinya menggenggam erat setir mobil sampai terlihat putih.

Tadi, dia sudah akan mengejar Daniel, siap menghajar bekicot sawah itu, namun aku menarik lengannya dan mengajaknya pulang. Bukannya apa, walaupun Daniel sangat kurang ajar, tapi... Yah. I deserve that. I mean it. I deserve every single word Daniel has said to me.

"Dia... Daniel. Mantan... Teman," ujarku bingung. Iya ya, sebenernya Daniel itu siapa? Mantan bukan, teman juga bukan. Daniel cuma salah satu orang yang aku hubungi atau menghubungiku, kalau ada yang butuh pelampiasan. Masa iya aku bilang sama Saka kalau Daniel budak ranjang? Gosh!

"Mantan teman? Mantannya temen kamu, atau gimana?" Saka menatapku.

Aku menghela napas. It's gonna be rough.

"Daniel itu... Oke. Dulu, yah, when I was young and dumb, Daniel ini semacam... Semacam... Partner. Kalau aku pengen... You know," aku meringis jengah setelah dengan terbata-bata berusaha menjelaskan dengan penjelasan yang sama sekali tidak jelas. Membicarakan kejalanganku di masa lalu dengan Saka yang notabene adalah suamiku itu... Bukan hal yang menyenangkan. Saka terdiam. Aku tahu dia paham. Dia kan nggak bego.

"Oh," Saka menatap ke arah jalan raya yang mulai lengang. 'Oh'-nya itu mengandung sejuta makna. Oh apa? Oh, dia partner seks kamu? Oh, kamu memang bitchy? Oh apa? Aku mengatupkan bibir, kesal.

"Here's the thing, Saka. Orang seperti Daniel itu dalam hidupku... Banyak. Banget. Nggak terhitung. Ibaratnya, I can make a bad guys good for a weekend. Only for a weekend. Only for a night. Reputasiku sudah tersebar ke seluruh penjuru Jakarta. Dan, Jakarta itu nggak gede-gede amat. Kemungkinan kita ketemu lagi sama Daniel-Daniel yang lain, yang jauh lebih kurang ajar, sangat besar. Sejak awal aku sudah bilang kan sama kamu, aku jalang. Aku tidur dengan banyak orang. Countless. Dan sebagian besar dari mereka sama brengseknya dengan Daniel. Jadi ya... Take it or leave it," ujarku sinis sambil menyedekapkan tangan. Mekanisme pertahanan diri klasik.

"Who said that I want to leave you? Aku kan cuma tanya," Saka mengerutkan kening. Aku cemberut.

"Aku cuma nggak suka sama cara dia bicara," ujar Saka lagi.

"I deserve that," desahku pelan.

"Pardon me? Kenapa kamu berpikir kalau kamu pantas diperlakukan seperti itu?" suara Saka meninggi. Dia menatapku. Aku balas menatapnya.

"Karena aku memang sejalang itu, Saka. Dulu aku memang sejalang itu. Don't you get it? Aku yang dulu tidak akan berpikir dua kali untuk mengiyakan ajakan Daniel. Itu sebabnya Daniel ngomong begitu," ujarku.

"Kalau kamu yang sekarang? Atau jangan-jangan kamu memang mempertimbangkan untuk mengiyakan ajakannya? Karena aku tidak bisa memuaskanmu?" ujar Saka dingin. Aku menoleh ke arahnya, menatapnya tak percaya. Apa dia bilang? Apa dia bilang???

Aku megap-megap saking marahnya. Bingung mau bilang apa, bingung mau mencaci Saka dengan cara bagaimana! Beraninya dia! Memangnya dia pikir aku ini apa??? Aku memang jalang, tapi itu dulu!!! Tidakkah dia berpikir kalau sekarang aku sudah sangat berubah??? Demi dia!!! Fuck!!!

Aku membuang muka. Saka juga terdiam. Dan diam mencekam itu berlangsung sampai akhirnya Everest Saka masuk ke dalam pagar rumah. Aku buru-buru membuka pintu mobil, tidak menunggu sampai Saka membukakannya seperti biasa, dan meloncat turun.

"Laksmi..." panggil Saka pelan. Aku menatapnya tajam.

"Aku tidak butuh siapa pun untuk memuaskanku. Don't you ever hear that your own fingers is the best sex tools ever?" ujarku dingin sebelum membanting pintu keras-keras dan berlari masuk ke dalam rumah.

Berlari untuk menyembunyikan air mataku yang mengalir, semakin lama semakin deras.

***

Aku membuka mataku dengan susah payah. Tanpa melihat di cermin pun aku sudah tahu, mataku bengkak nggak karuan. Aku menangis semalaman. Aku tahu, Saka berulang kali mengetuk pintu kamarku, memanggilku dengan suaranya yang sarat dengan penyesalan, tapi aku tidak menggubrisnya. Aku masih sakit hati. Aku memang menganggap, I deserve that from Daniel, but I absolutely didn't deserve that from Saka! Or... Did I?

Aku bangun, dan melirik jam dinding. Sudah shubuh. Dan aku haus sekali. Sialnya, di kamarku tidak ada minuman. Sama sekali. Biasanya aku memang menyiapkan segelas air sebelum tidur, jaga-jaga kalau malamnya aku haus dan malas keluar kamar. Tapi karena semalam aku masuk kamar dengan penuh drama, sudah pasti segelas air tidak penting itu terlupakan sepenuhnya.

Aku membuka pintu kamarku, dan terpaku. Saka sedang tidur, duduk bersandar di tembok di samping pintu kamarku. Dia masih berpakaian sama seperti semalam. Apa semalaman dia tidur di situ? Aaawww. Melihat raut wajahnya yang tampak lelah, seketika itu juga amarahku menghilang. Saka pasti tidak bermaksud untuk menyakitiku... Dia hanya marah karena Daniel. Atau mungkin... Dia cemburu? Ck, jangan GR dulu, Silvia. Be cool. Tapi tak urung, pemikiran kalau mungkin saja Saka cemburu, membuat wajahku merona karena senang. Aku berlutut di samping Saka.

"Saka... Bangun..." bisikku pelan sambil mengelus rambutnya. Saka langsung membuka matanya saat aku menyentuh rambutnya, dan menatapku penuh penyesalan.

"Laksmi... Maafkan aku... Aku nggak bermaksud... Aku nggak tahu kenapa aku ngomong gitu sama kamu..." ujar Saka pelan.

"It's okay. Aku juga minta maaf kalau aku ngomong kasar sama kamu," aku tersenyum.

"No, kamu nggak salah. Aku yang harus minta maaf sama kamu..." Saka menangkup pipiku dengan kedua tangannya yang hangat.

Dan perlahan, dia menciumku.

***


SAKA - SILVIA : SELALU BERSAMAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang