Prepossess

Por Faradisme

3.6M 470K 73.6K

Ini tentang arti dari menemukan di antara banyak kemungkinan. Tentang sebuah keputusan, yang menjerat tanpa... Más

INFO : REPUBLISH
First Of All.
Prolog
Prepossess - 1
Prepossess - 2
Prepossess - 3
Prepossess - 4
Prepossess - 5
Prepossess - 6
Prepossess - 7
Prepossess - 8
Prepossess - 9
Prepossess - 10
Prepossess - 11
Prepossess - 12
Prepossess - 13
Prepossess - 14
Prepossess - 15
Prepossess - 16
Prepossess - 17
Prepossess - 18
Prepossess - 20
Prepossess - 21
Prepossess - 22
Prepossess - 23
Prepossess - 24
Prepossess - 25
Prepossess - 26
Informasi!
Prepossess - 27
Prepossess - 28
Prepossess - 29
Prepossess - 30
Prepossess - 31
Prepossess - 32
Prepossess - 33
Prepossess - 34
Prepossess - 35
Prepossess - 36
Prepossess - 37
Prepossess - 38
Prepossess - 39
Prepossess - 40
Prepossess - 41
Prepossess - 42
Prepossess - Tamat
Info Prepossess - Extra Part
INFO TERBIT DAN CARA PEMESANAN (HARAP DIBACA)
EBOOK PREPOSSESS

Prepossess - 19

70.4K 11.6K 2.1K
Por Faradisme

Sesungguhnya dari semua, sepertinya aku tahu mengapa kamu menghabiskan ruang berpikirku di kepala.
Karena aku menyukaimu, dan aku menginginkanmu juga begitu.

🔥

🎶  call you mine - Jeff Bernat 🎶

Selamat membaca 💜

🔥

Keadaan sore itu mendung. Langit berwarna muram juga angin bertiup kencang. Seolah menggambarkan hatinya, agar terlihat jelas di mata. Ia menutup pintu Kafe terlalu kencang, mungkin kesal karena kedatangan wanita itu bisa menjadi sangat menjengkelkan dari pada biasanya.

"Aku tidak tahu ada pegawai wanita di sana." Ucap Wanita itu setelah mereka memasuki mobil.

"Karena itu bukan urusanmu."

Lilian tertawa dan memberi perintah pada orang di belakang kemudi untuk menjalankan mobil.

"Kau terlihat menyembunyikannya. Apakah seperti yang ada dibayanganku? Kau sedang menyukainya?"

Romeo tetap mempertahankan tatapannya ke depan. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

Lilian menyalakan rokok dan menghembuskan asapnya ke arah Romeo. "Mengapa menanyakan sesuatu yang sudah kau ketahui jawabannya?"

Romeo tahu, dan ia harus menahan tangannya untuk tidak mencekik wanita itu sekarang.

"Aku memiliki pekerjaan untukmu," Lilian menarik amplop cokelat besar dari kursi depan lalu memberikannya pada Romeo. "Habisi dia."

Romeo bahkan tidak ingin melihat wajah siapa lagi yang ada di amplop tebal itu. "Kau jelas memiliki orang-orang yang lebih baik dari pada aku untuk pekerjaan ini."

"Dan aku juga berhak memintamu."

Romeo diam. Bertarung sendirian dengan emosi di dalam dirinya seperti biasa. Tangannya mengepal sebagai cara menahan diri yang selalu ia lakukan berulang kali.

"Aku tidak ingin melakukannya."

"Romeo," Lilian bergeser merapat dan menyentuh sisi wajahnya dengan jari berkuku cat merah. "Aku selalu menyukai caramu menolakku," Lilian juga sengaja menyentuhkan tubuhnya di lengan Romeo. "Lihatlah dirimu sekarang, kau tumbuh dengan sangat baik. Kau bukan lagi anak kecil berumur sepuluh tahun. Tubuhmu tegap dan aku berani menjamin kau juga sangat kuat." Lalu wanita itu berbisik di telinganya. "Tapi bukankah percuma bagimu menentangku?"

Romeo sadar apa yang dilakukannya. Termasuk mendorong Lilian ke sudut lain mobil dengan mencekik leher wanita itu. Hal itu membuat mobil seketika berhenti. Dan dua orang yang duduk di kursi depan berbalik dan menodongkan pistol tepat di kepalanya.

Nyawanya bisa saja melayang saat itu juga, tapi Romeo tetap mencekam leher Lilian dan sangat ingin mematahkannya. "Jangan pernah menyentuhku!"

Lilian memang gila, terbukti dari tawa wanita itu setelahnya. "Kemarahanmu tidak ada artinya untukku, Romeo. Kau bisa membunuhku sekarang. Itu pun jika kau mampu melakukannya."

Cengkaman Romeo mengencang, bersamaan dengan moncong pistol yang kini melekat di pelipisnya. Lilian sudah menunjukkan dirinya kesulitan mengambil napas dan seharusnya tinggal beberapa menit lagi pasti ia berhasil membunuh wanita itu.

"Kau... lupa... ibumu..." patahan kata yang terucap dari Lilian-lah yang membuat tangannya melonggar dan membuat Romeo mundur dengan gemetar.

Lilian terbatuk. Rokok yang tadi disulutnya sudah jatuh. Wanita itu membenarkan posisi dan menyisir rambut. Memandanginya dengan keangkuhan, juga seringai menakutkan.

Mengulang hal yang sama, Lilian kembali mendekat dan menyentuh sisi wajah Romeo. "Waktumu tiga jam untuk membuat orang itu membayar hutangnya padaku. Jika lebih dari itu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan tadi... pada ibumu."

🔥

Tidak, Bella tidak melarikan diri. Ia tengah duduk di sofa nyaman berwarna putih gading, memangku sepiring pancake hangat, tepat di sebelah Romeo yang sedang mengunyah.

Mereka sama-sama duduk di ujung sofa. Romeo tampak sangat lahap dan itu menjadi kesempatan Bella memandangi laki-laki itu.

Kini di dalam benaknya, sosok Romeo sudah menjelma semakin jelas. Dalam jarak yang terbilang dekat ini, Bella melihat laki-laki kesepian yang tengah menandaskan makanan di piring.

Tapi kali ini berbeda. Tiba-tiba Bella justru merasa iba.

"Enak." Kata Romeo. Dan meletakkan piring di atas meja, lalu mengambil kopi yang tadi dibuatnya.

Katanya, karena Bella yang sudah memasak, maka Romeo yang akan mencuci piring. Untuk itulah Bella saat ini sedang menatap punggung tegap laki-laki yang tengah mengeringkan piring itu dari sofa tempatnya duduk.

Melihat punggung Romeo mengingatkannya pada sesuatu. Bella dengan mudah menemukan kotak obat di dinding sebelah pintu masuk lalu menghampiri Romeo. "Biar kuobati punggungmu."

Romeo menoleh pada Bella, lalu menatap turun kotak obat di tangannya. "Tidak perlu. Biasanya sembuh sendiri."

Biasanya? Itu artinya Romeo sudah sering mendapat luka seperti ini. Dan tidak ada seorang pun yang tahu keadaannya karena pasti laki-laki itu menyembunyikannya. Hati Bella teremas memikirkannya.

"Romeo," Bella menarik lengan baju laki-laki itu. Membuat Romeo menoleh lagi padanya. "Biarkan aku melakukannya."

Romeo meletakkan piring di lemari atas dan mengeringkan tangannya. "Baiklah."

Mereka kemudian kembali ke sofa dan Romeo duduk membelakangi Bella. Ia mengeluarkan salep dan beberapa perban dari kotak obat dan menggulung bagian belakang t-shirt Romeo untuk memudahkannya. Namun laki-laki itu malah menggapai bagian leher belakang t-shirt dan melepaskannya dalam satu tarikan.

Ok. Baiklah.

Bella mulai mengoleskan salep pada area lebam yang bahkan saat ini sudah berubah ungu. "Apa yang digunakan orang-orang itu untuk memukulmu?"

"Beberapa menggunakan tongkat, beberapa memakai ikat pinggang."

Meski tangan Bella gemetar, ia tetap melanjutkan mengoleskan salep itu. "Bagaimana jika sebaiknya kita ke rumah sakit? Setidaknya mereka bisa memeriksa apakah ada luka dalam."

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Sebenarnya Bella merasa terlalu memaksa, tapi dirinya tetap bicara. "Aku akan menemanimu ke sana."

Beberapa saat diam lalu Romeo menjawab. "Aku baik-baik saja, Bella."

Bella mungkin tidak pandai mendesak seseorang. Tapi untuk sekarang ia akan mempercayai perkataan Romeo. "Paling tidak kau harus melaporan mereka ke polisi."

Lagi, Romeo terdiam. Tidak ada jawaban dari laki-laki itu dan Bella baru menyadari, pastilah ada sesuatu yang membuat Romeo tidak bisa melaporkan perbuatan ini.

Salep itu hampir habis, dan Bella sampai di bahu sebelah kiri Romeo. Di tempat tato sayap yang menarik perhatiannya dulu. Jari Bella mengikuti gambar itu, sambil memperhatikan lebih seksama.

Di bagian bawah leher hingga bahu kiri, ada gambar ranting yang ditumbuhi beberapa bunga. Tapi gambar seekor burung yang berada di atasnyalah yang menarik perhatian Bella.

Burung yang tengah mengepak seperti akan mendarat, beserta kaki yang siap mencengkeram dengan kuku tajam. Gambar itu berada di sekitar bahu dan lengan, menyebar sampai ke bagian dada kiri Romeo.

"Apa arti tatomu?" tanya Bella. Murni karena penasaran. Dan terpana akan lukisan indah itu bisa menjadi menakjubkan di atas kulit seseorang.

"Itu burung Hering."

"Apakah itu burung yang hebat?"

"Kau tahu apa yang dimakan Burung Hering?"

"Ikan?"

"Bukan. Dia memakan bangkai binatang yang sudah mati, baik karena dibunuh atau mati secara alami. Aku merasa seperti itu sepanjang waktu."

"Seperti burung Hering? Kau suka makan ikan mati?" Bella menutup lebam Romeo dengan perban, mengelilingi tubuhnya. Membuat Bella seperti akan memeluk Romeo. Tapi tidak, tenang saja. Apalagi sekarang bahu laki-laki itu bergerak naik turun.

"Kau tertawa?" Tanya Bella.

"Tidak."

"Kalau begitu jangan bergerak."

Kedua tangan Bella mengelilingi pinggang Romeo untuk melilitkan perban. Laki-laki itu membantu dengan memindahkan perban ke tangan Bella yang lain.

"Aku juga tidak suka ikan yang masih hidup." Lanjut Bella setelah menyelesaikan lilitannya.

"Yang kurasakan bukan sebagai burung Hering. Tapi seperti binatang yang sudah terbunuh itu. Aku merasa sudah mati. Dan burung ini sedang memakanku."

Bella perlu berkonsentrasi membuka perekat perban dan terenyuh akan kalimat menyedihkan Romeo tadi. Hal buruk apa yang sudah terjadi sampai bisa membuat Romeo merasa seperti itu?

"Kurasa kau tidak seperti itu," Bella menggulung kembali perban tapi tidak menutup kotak obat. "Kau belum mati."

"Tapi jiwaku sudah."

"Sepertinya para lansia di panti jompo pun pasti akan setuju denganku," Bella menggeser duduknya mundur, karena Romeo yang berbalik duduk menghadapnya.

Romeo menarik tangannya dan mulai melepas satu persatu plester luka yang melilit jari Bella. "Kau harus sering menggantinya dengan yang baru."

"Sepertinya kita lebih sering saling mengobati di setiap kesempatan."

"Kurasa begitu. Lain kali aku akan menyimpan persedian plester luka bergambar kelinci untukmu."

"Aku bukan anak kecil lagi."

"Dulu kau menyukainya."

Bella menutup kotak obat dan mengembalikannya ke tempat semula. "Tidak lagi karena aku sudah menjadi wanita dewasa." Bella menepuk puncak kepalanya sendiri, mengisyaratkan tinggi badannya.

"Sepertinya plester luka seperti itu dijual di apotek, kan?"

"Hentikan!" Bella berusaha mengganti topik. "Kau suka sarapan dengan apa? Aku bisa membuatkannya setiap hari untukmu. Kau bisa datang ke tempatku, atau aku yang akan membawakannya ke sini. Tentu saja jika kau tidak keberatan."

"Aku terbiasa tidak makan saat pagi." Romeo bersandar di ujung sofa sambil menatap lurus ke arahnya. "Jadi, apa saja yang Jack katakan tentangku?"

Bella merasa dirinya mengecil. Seperti sudah tertangkap basah sedang bergosip. "Aku tidak bermaksud mengorek informasi tentangmu darinya."

"Aku tidak menyalahkanmu."

"Tapi kau menatapku seakan begitu."

Senyuman tipis di bibir Romeo terlihat. "Kau bisa bertanya langsung padaku."

"Sebelum itu, bisakah kau mengenakan bajumu kembali?"

Satu alis Romeo terangkat.

"Kau tidak kedinginan?"

"Tidak?"

"Kenakan saja bajumu itu!"

Romeo bersidekap menantang. "Kau harus memaksaku."

"Kalau begitu aku pulang saja."

Romeo segera menangkap pergelangan tangan Bella. "Baiklah-baiklah."

Romeo mengenakan kembali bajunya dan membuat keadaan lebih baik. Mereka masih duduk berhadapan di masing-masing ujung sofa. Bella masih belum menanyakan apapun dan Romeo tampak tidak keberatan menunggu.

"Apa warna kesukaanmu?" tanya Bella akhirnya.

Romeo yang tidak menduga jika Bella akan menanyakan itu berdeham. "Tidak ada."

"Jangan berbohong."

"Memang benar."

Bella menunjuk ke sekeliling apartement Romeo. "Dominasi ruangan ini adalah putih, kurasa kau menyukai warna itu."

"Tempat ini sudah berwarna seperti ini sejak pertama aku pindah."

"Kalau begitu hitam? Karena kau hampir selalu menggunakan pakaian warna hitam."

Romeo menggeleng. "Tidak juga. Aku memilihnya karena tidak mencolok dan tidak mudah menarik perhatian orang lain."

Bella sempat tercengang karena tentu saja itu mustahil. "Kalau begitu, makanan kesukaanmu?"

"Tidak ada. Aku bisa memakan segala jenis makanan."

Bella mengerucutkan dahi. "Musik favoritmu?" Bella tersenyum puas. "Kau pasti menyukai musik klasik karena memiliki banyak piringan hitam."

"Itu semua juga sudah ada di sini saat aku pindah."

"Film favoritmu?"

"Aku tidak suka film."

"Tempat kesukaanmu?"

"Tidak ada yang spesifik."

Bella mulai frustasi. "Lalu apa yang kau kerjakan saat waktu luang."

"Tidak ada waktu luang untukku, Bella." Romeo meluruskan satu kakinya di sofa, dan satunya lagi terjulur turun menjejak ke lantai. "Aku akan bekerja setiap ada kesempatan."

Bella jadi teringat hutang yang harus ditanggungnya. Apakah karena itu yang membuat Romeo tidak memiliki waktu untuk hidupnya sendiri.

"Aku yakin kau pasti menyukai sesuatu." ucap Bella lirih. Pada saat itulah Romeo menatapnya. Laki-laki itu seakan sedang menelitinya yang membuat Bella menarik punggungnya menempel di lengan sofa.

Romeo mengulurkan tangan dengan telapak tangan menghadap ke atas. "Kau sudah banyak bertanya."

Oh, soal sentuhan itu.

Bella meneguk ludah, ketidaktahuannya akan apa yang ingin dilakukan Romeo membuatnya gugup. Sentuhan yang dimaksud laki-laki itu bermakna luas dan sensual. Ia meletakkan tangannya di atas tangan Romeo. Saat kulit mereka bersentuhan, dentaman jantungnya memacu naik. Saat Romeo meremas tangannya lembut, Bella menahan napasnya sedetik.

Tapi, tidak ada yang terjadi. Mereka hanya saling berpegangan tangan.

Bella bertanya. "Cuma ini?"

Romeo menggumam. "Cuma ini."

"Di mana orang tuamu?"

"Wah, Bella. Aku benar-benar tidak bisa menebak pertanyaanmu."

"Apakah itu terlalu lancag? Maaf-"

"Tidak," Romeo menggenggam tangan Bella, mengusap lembut punggung tangannya dengan ibu jari.

"Dulu aku punya keluarga," Romeo mengatakannya dengan intonasi datar. "Orang tua yang selalu tersenyum satu sama lain dan memiliki hobi berpelukan di setiap kesempatan. Mereka bisa membuat risih siapapun yang melihat, karena tidak sungkan memperlihatkan kemesraan mereka di depan orang banyak. Aku kadang juga kesal melihatnya. Tapi mereka hanya akan tertawa dan menarikku ikut dalam pelukan mereka."

Terdengar sangat harmonis, dan romantis.

"Kami tinggal di rumah yang cukup nyaman. Ada banyak orang yang kusebut teman, yang di setiap pesta ulang tahun bisa memenuhi seluruh ruangan."

"Saat itu aku tidak mengerti banyak, tapi cukup memahami apa yang tengah terjadi. Bisnis ayahku bangkrut lalu dia terpuruk. Dia menolak ditemani, menjadi penyendiri, dan hanya mengurung diri dengan botol-botol alkohol yang disayanginya. Sampai suatu pagi, ibu menemukan ayah bersimbah darah karena menusuk dadanya sendiri dengan pecahan botol minuman keras."

Bella menutup mulutnya. Menahan sesuatu di tenggorokannya juga dorongan perih di matanya.

"Ayah pergi dengan meninggalkan banyak hutang. Begitulah yang kutahu saat itu. Ibu menjual perhiasaan dan semua barang berharga miliknya. Sampai pilihan terakhir adalah menjual rumah, padahal saat itu kami tidak memiliki tempat tinggal. Tapi semua itu pun masih belum cukup untuk bisa membayar hutang."

Romeo membalikkan badan, dan bersandar pada lengan sofa. Kini mereka saling berhadapan dengan tatapan Romeo lurus ke arah Bella.

Romeo tersenyum kecil dan melanjutkan. "Saat itu kami sudah tidak memiliki apa-apa. Tapi Lilian memaksa kami harus membayar."

Mungkin karena kedua mata Bella yang membesar, Romeo menambahkan. "Ya. Lilian adalah investor di kantor ayahku. Yang aku tahu dia menutupi kerugian investor lain. Membuatnya menjadi pihak paling dirugikan setelahnya. Dia memintaku membayar ganti rugi—,"

Kalimat Romeo terhenti. Seperti tengah menerawang, atau bisa jadi mereka ulang kejadian di kepalanya.

"—tapi saat itu tidak ada yang bisa dilakukan anak berumur sepuluh tahun."

Di mana ibumu? Pertanyaan itu terucap di dalam hati Bella. Pertanyaan yang tidak bisa keluar dari mulutnya.

Namun seolah bisa membaca pikirannya, Romeo melanjutkan. "Ibuku masih hidup, sekarang dia ada bersama Lilian,"

"Dia baik-baik saja?"

Romeo mengangguk. "Ibuku menjadi pelayan Lilian. Dia menganggap itu adalah cara terbaik agar kami tidak kabur dan bisa mengembalikan uangnya."

"Lalu kau?"

"Aku tinggal di panti asuhan sejak itu. Setelah menyelesaikan sekolah, aku harus keluar dari sana. Agar bisa tetap hidup aku melakukan pekerjaan apa saja selama itu menghasilkan uang," rahang tegas Romeo mengeras. "Aku ingin segera melunasi hutang, dan membawa pergi ibuku dari Lilian."

Bella merasa kosong sesaat. Lalu sakit dengan alasan yang tidak diketahuinya. Sesuatu di dalam dirinya berteriak perih dan ia tahu itu karena apa.

Tidakkah menyakitkan membagi cerita menyedihkan itu? Jika Bella merasa begitu sedih hanya dengan mendengarnya, seharusnya Romeo merasakan lebih dari itu.

"Aku tidak tahu—, aku sangat menyesal—, maafkan aku, Romeo." Bella merasakan sakit yang teramat sangat karena mendengar cerita mengerikan itu yang disampaikan terlalu santai oleh Romeo.

Melihat Bella ingin menangis, membuat Romeo menarik tangan Bella sampai wanita itu mendekat dan duduk di dekat kakinya.

"Itu sudah lama," Romeo mengusap belakang kepala Bella. "Aku menceritakannya padamu, karena kau harus mendengar ini langsung dariku."

Bella mengangkat wajahnya. Membalas tatapan Romeo yang juga ada padanya.

"Kau," usapan Romeo turun, menyelipkan rambut halusnya ke belakang telinga.

"Apa?" Mata Bella sudah berkaca. Satu kedipan saja maka air matanya akan jatuh.

"Ingatlah apa yang pernah kukatakan," Romeo menutup mata Bella dengan ibu jari. "Jangan mencintaiku."

Saat mata Bella kembali terbuka, Romeolah yang pertama kali dilihatnya. Tatapan laki-laki itu sarat akan sesuatu yang tak terucap.

"Kita hanya bersenang-senang." Romeo melepaskan diri dan bangkit dari sofa lebih dulu.

Bella ikut berdiri. "Kalau begitu lakukan."

"Aku akan melakukannya." Romeo menuju meja dapur dan menenggak segelas air.

"Bagaimana kalau dimulai dengan... ciuman?"

Tatapan Romeo melewati gelas ke arah Bella. Dirinya pun terkejut akan gagasan yang tiba-tiba saja terucap karena hal itu tidak lebih dulu dicerna otaknnya.

"Kau ingin kita berciuman?" Romeo menegaskan.

"Se-sepertinya itu yang dilakukan orang lain. Bukan berarti aku benar-benar menginginkannya saat ini. Aku hanya mengatakannya. Tidak bermaksud-tidak berpikir untuk melakukannya sekarang. Tidak begitu. Mungkin-"

Romeo meninggalkan gelas kosong di atas meja dapur dan menghampiri Bella kembali. Laki-laki itu menyibak rambutnya ke belakang bahu dan menunduk untuk mengecup bahunya. Mengulangi yang dilakukannya di kamar mandi sebelumnya.

Bella menaikkan bahu karena terkejut. Romeo menoleh padanya. "Aku juga penasaran dengan rasamu." Tatapan Romeo menuju bibirnya. Ibu jari laki-laki itu mengusap ringan bibir Bawah Bella. "Pasti lebih lembut dari bahumu."

Jari kaki Bella menggulung dan tanpa sadar ia menggigit bibir mendengar kalimat Romeo.

"Tapi akan kulakukan nanti." Romeo mengembalikan rambutnya jatuh menutupi bahu.

"Aku perlu waktu yang panjang," Romeo menyentuh bibir bawahnya lagi. "Karena saat aku sudah menciummu, aku mungkin akan kesulitan untuk berhenti."

🔥

Haloooo

apa kabar kamu?
Semoga masih selalu bahagia dan sehat.
Apapun yang terjadi hari ini, adalah bukti bahwa kamu sudah berkerja keras untuk hidupmu. Dan apapun hasilnya, kamu adalah hebat yang sudah berani melakukannya.

Belum sebulan dong, yah. Hehehe
Terima kasih sudah menunggu. Maaf juga kalo aku nggak bisa selalu update cepet. Tapi seperti kamu, aku juga selalu berusaha yanh terbaik.

Oh, iya. Aku selalu lupa menambahkan ini dalam catatan. Hahaha

Beberapa waktu lalu aku mulai membuat konten di channel youtube aku. Namanya Fara dita. Niatnya nanti berisi tentang pengalamanku selama nulis, juga tip-tip seoal kepenulisan. Mungkin nanti juga akan ada vlog dan video random lainnya hahhaa

Ini beberapa videoku yang sudah tayang:

Dan ini juga  😄

Tolong bantu untuk ditonton yahhh. Semoga aja ada manfaat dan ilmu yang bisa diambil di tengah suara cadel menyebalkanku ini 🤣

Sekali lagi terima kasiiihhh karena sudah menjadi pembacaku.
Aku sayang kalian.
💜💜

Faradita
Penulis amatir mencoba main youtube

Pembaca sebagai tim hore dari dapur

revisi : 13 Oktober 2021

Seguir leyendo

También te gustarán

6.1K 349 42
"Fahri, nama lu jelek banget!" "Wah ini cewek.." "Coba nama lu yang bagus-bagus dikit, biar kayak cogan wattpad gitu laah.." "Heh, Turunan Kunti, lu...
759K 4K 7
Rachel Adams, seorang model pendatang baru yang namanya sedang naik daun. Ia terlibat insiden tak menyenangkan dengan Daniel Taylor, pewaris Taylor G...
38.2K 5.9K 40
Red Phoenix sudah mati. Semua masalah ada di tangan anggota yang tersisa. Tiada pilihan lain, Jaehyun kembali ke Invictus untuk menggapai impiannya d...
2.5M 119K 54
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞