Meaning Of Love

By elysianauthor_

45.6K 6.6K 1.9K

Sooji Melihat orang yang kucintai tersenyum, walau hatiku hancur. Itulah arti cinta bagiku.. Myungsoo Melaku... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
M.E.E.T.U.P.W.I.T.H.C.A.S.T
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 46
Part 47
Part 48
Part 49
Part 50
Part 51
Part 52

Part 39

606 111 64
By elysianauthor_

Happy Reading .. 🌻🌻🌻

"Oppa.. semuanya baik-baik saja? Ada masalah?"

"Tidak ada. Semuanya persiapan berjalan sesuai rencana."

Sooji menghela nafas lega. "Syukurlah."

"Ini bukan pertama kalinya Sooji, kenapa kau sepanik ini?" Junho bertanya sembari merapikan selimut Sooji.

"Ish.. masih perlu kau tanyakan?"

"Mana yang benar, karena ini proyek dari perusahaan sebesar Ganghan atau karena proyek kali ini berkaitan dengan keluarga kekasihmu?"

Sooji termenung. Sambil mengangkat bahu dia menjawab, "Entahlah. Mungkin keduanya."

Junho menatap dalam Sooji yang sedang menunduk. "Sooji.."

Sooji mengangkat kepalanya. Dia terkejut mendapati sorot mata yang tak pernah ditunjukkan Junho sebelum ini. Bias keraguan, ketakutan, kekhawatiran, dan mungkin sedikit kemarahan bercampur aduk jadi satu disana. Sebelum ini, Junho hanya menampakkan salah satunya saat Sooji sakit atau kelelahan.

"Kau serius dengan pria itu?"

Ketegasan tersirat dari nada suaranya, meski sorot matanya masih tak berubah. Seolah dia ingin menyalurkan energi keseriusan yang muncul di dalam dirinya pada Sooji.

"Oppa.." Sooji melarikan pandangan matanya ke tangannya yang beradu di atas pangkuannya.

"Lihat aku Sooji."

Mau tak mau Sooji menuruti keinginan Junho. Bagaimanapun Junho lebih tua darinya. Dia menganggap pria itu sama seperti Woohyun. Meski Junho tak pernah marah dan selalu memanjakannya, Sooji tetap menghormatinya. Ada batasan dimana Sooji tak bisa melawan pria itu dan harus mematuhinya. Seperti sekarang.

"Aku tidak tahu."

Junho masih membisu. Dia tahu Sooji belum selesai. Atau lebih tepatnya dia sengaja untuk diam sehingga Sooji terpaksa memberikan penjelasan lebih.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan oppa. Aku bingung." Sooji lagi-lagi menunduk.

"Sejujurnya aku masih tidak yakin."

"Dengannya?"

Sooji menggeleng. "Dengan diriku sendiri."

Junho melunak. Dia meraih tangan Sooji dan menggenggamnya. Memberikan kehangatan di tangan Sooji yang cukup dingin meski AC di dalam ruangan dipasang dalam suhu normal.

"Kau tahu kan oppa, aku.. eonni.. kami--" Sooji tercekat, tak bisa lagi meneruskan kalimatnya.

Junho beranjak berdiri dan duduk di pinggir ranjang, meraih wajah Sooji dengan kedua tangannya hingga kedua mata mereka beradu. Hati Junho tak bisa lagi lebih terasa sakit saat melihat mata Sooji berkaca-kaca. Sumpah demi Tuhan, dia sangat menyayangi wanita ini.

"Sstttt.. tenangkan dirimu. Hmm?"

Sooji menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia menenangkan diri sebelum dirinya sendiri histeris.

"Kau ingin aku meminta Woohyun kesini sekarang?"

Sooji menggeleng.

"Sooji.. kau belum memberitahunya tentang ini?"

Sooji lagi-lagi menggeleng. Dia tak perlu penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud Junho.

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu. Hanya-- kau tahu oppa, aku tak bisa semudah itu membuka seluruh hidupku pada orang yang tiba-tiba saja datang dalam kehidupanku. Aku ingin sekali memberitahu semuanya padanya. Tapi setiap kali itu terjadi, ada bagian dari dalam diriku yang membangun tembok lebih tebal lagi. Aku tak mampu merobohkannya."

Junho tak menjawab. Yang dia lakukan hanyalah meraih bahu Sooji dan memeluknya erat. Posisi Sooji yang sedang duduk bersandar pada kepala ranjang memudahkan Junho melakukan niatnya. Dia tak peduli jika ada dokter atau suster yang tiba-tiba saja masuk. Atau bahkan Tn. atau Ny. Bae, dia sama sekali tak peduli. Yang dia pedulikan saat ini hanyalah bagaimana caranya agar wanita yang kini dipeluknya bisa lebih tenang.

******

Ctekk.. ctekk.. ctekk.. ctekk

Lampu padam. Myungsoo terbaring di atas tempat tidurnya lengkap dengan jas, dasi dan sepatu yang masih terpasang. Dia memang sengaja pulang lebih cepat hari ini. Meninggalkan pekerjaan yang sebenarnya belum selesai. Dia tak bisa memaksakan otaknya yang sama sekali tak bisa diajak bekerja sama.

Seharian ini dia belum menghubungi Sooji, demikian pula sebaliknya. Banyak pikiran berkecamuk dalam kepala Myungsoo saat ini.

Meski dia tak bertanya apapun dan Sooji pun tak bercerita apa-apa, Myungsoo tahu dengan jelas dimana keberadaan Sooji saat ini. Sementara dia, meski tahu sekalipun tak ada yang bisa dia lakukan. Woohyun memintanya untuk berpura-pura tak tahu. Woohyun memintanya diam hingga Sooji yang menceritakannya sendiri. Dan resikonya harus dirasakan Myungsoo sekarang. Khawatir tapi harus menahan diri. Panik tapi tak bisa melakukan apapun.

Ponsel yang berdering menyadarkan Myungsoo dari lamunannya. Dengan malas dia meraih ponselnya dari bufet di sebelah tempat tidur.

Sebuah nomer asing muncul di layar ponselnya. Myungsoo adalah tipe orang yang tidak pernah mengangkat telepon jika itu dari nomer yang tak dikenalnya. Namun kali ini berbeda, ada dorongan dari dalam dirinya yang menyuruhnya mengangkat panggilan itu.

"Halo.."

Myungsoo langsung duduk dan menegakkan badannya ketika menyadari siapa yang menelepon. Dia mendengar dalam diam dengan seksama sebelum akhirnya berucap,

"Katakan saja dimana. Aku akan segera datang."

Sejurus kemudian Myungsoo meraih kunci mobilnya dan bergegas pergi tanpa pikir panjang lagi.

******

Sooji memandang layar ponselnya yang menampilkan percakapan chat nya yang terakhir dengan Myungsoo. Pria itu mengucapkan selamat malam dan kata-kata 'aku mencintaimu' disertai dengan beberapa emoticon hati di pesan terakhirnya beberapa hari yang lalu.

"Apa ini.. kau masih belum tidur juga?"

Dokter Kang masuk ke dalam kamar Sooji tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Dan mendapati wanita yang menjadi pasiennya saat ini sedang berbaring terpaku menatap layar ponselnya.

"Aku mendapat laporan dari suster. Kau menolak untuk tidur."

"Ahh suster Han.. kenapa tak bisa diajak bekerja sama." Sooji menggerutu pelan.

"Aku bisa mendengarmu nona."

Sooji memasang senyum manisnya sambil mengedipkan matanya berkali-kali melihat Dokter Kang bersedekap dan menatap lurus ke arahnya. Berharap dengan senyum manisnya bisa meluluhkan kemarahan dokter yang juga sudah dianggap sebagai kakaknya ini.

Berhasil.

Dokter Kang mengurai tangannya dan duduk di kursi di samping sambil menghela nafas. "Ada apa? Kenapa menolak tidur? Kau tahu kan jika kurang tidur tekanan darahmu akan turun. Dan itu bukan hal yang bagus Sooji."

"Aku tidak bisa tidur." Suara Sooji memelas.

"Itu sebabnya suster Han menawarimu obat yang bisa membantumu tidur. Tapi kau malah menolaknya."

Dokter Kang lagi-lagi menghela nafasnya. Ada kalanya dia putus asa menghadapi kekeraskepalaan Sooji. Seperti sekarang ini. Ini sudah lewat tengah malam tapi gadis itu masih saja terjaga.

"Eiiisshh.. kau seorang dokter. Kau tahu dengan jelas tidak baik ketergantungan dengan obat untuk membantumu bisa tertidur."

"Hei.. hei.. ini kasus yang berbeda. Jika besok kau tidak perlu melakukan operasi aku tidak akan peduli kau mau tidur jam tujuh pagi sekalipun."

Sooji terkekeh mendengar suara dokter Kang yang sudah meninggi. Dia sadar dokter Kang tidak marah padanya, dia hanya khawatir.

"Dok.. kau butuh minum. Agar lebih tenang."

Dokter Kang speechless. Dia tak percaya bahwa kemarahannya karena khawatir hanya ditanggapi oleh gadis itu secara enteng. Seolah bukan masalah yang besar dan masih bisa dijadikan sebagai candaan.

"Apa eonni baik-baik saja?"

"Hmm.. yah. Kondisinya cukup stabil saat ini. Tapi-- kenapa kau meminta untuk pisah ruangan? Sebelum ini kau selalu ingin satu ruangan dengan Soomi. Kalian sedang bertengkar?"

Sooji menggeleng. "Aku hanya ingin sendirian saja. Dokter tidak mengatakan apapun pada orang tua ku kan?"

"Tidak. Aku mengatakannya sesuai permintaanmu. Jika sebaiknya mulai sekarang, kamar kalian dipisah agar kalian bisa istirahat dengan maksimal."

"Wuah... Kau yang terbaik dok." puji Sooji seraya mengacungkan dua jempolnya.

"Dimana Junho?"

"Kusuruh pulang."

"Dan dia menurut? Aneh sekali."

"Nah benarkan? Aku juga memikirkan hal yang sama. Biasanya dia akan mati-matian menolak. Tapi kali ini dia setuju dengan mudah hihihi."

"Baiklah kalau begitu, ayo tidur. Jika tidak aku akan absen dari operasi mu besok. Biar orang lain saja yang melakukannya."

"Iya iya baik. Tapi-- lima menit lagi ya? Aku janji setelah itu aku akan tidur."

"Deal. Jika---"

"Kau bisa menghukumku dok." sela Sooji.

Dokter Kang mengalah. Dia pergi setelah merapikan selimut Sooji dan mematikan lampu. Sementara gadis itu kembali menekuri layar ponselnya, hal yang dia lakukan sebelum Dokter Kang datang ke kamarnya.

******

Myungsoo menghentikan mobilnya di area Jongno. Di sepanjang jalan terdapat deretan pojangmacha yang berjajar memanjang.

Kawasan Jongno dikenal sebagai salah satu tempat pojangmacha terbaik di seantero Seoul. Banyak turis yang datang kemari saat musim liburan. Bukan hanya turis, warga lokal juga suka mengunjungi tempat ini. Saat ini bukan akhir pekan jadi tak banyak pengunjung. Itu membuatnya tak sulit untuk menemukan sosok yang tadi menghubunginya.

Myungsoo masuk ke salah satu tenda pojangmacha. Hanya ada empat orang pengunjung di dalamnya. Dua orang perempuan minum bersama di salah satu meja sambil bersenda gurau. Seorang pria sedang minum sendiri dan tampak sudah sedikit mabuk, sepertinya pria itu baru saja putus cinta jika dilihat dari gelagatnya. Sementara orang yang dicarinya duduk sendiri di meja paling ujung. Lima botol soju berdiri tegak di meja, satu botol sudah terbuka dan isinya tinggal separuh. Di sebelahnya sepiring cumi kering yang masih utuh sama sekali belum tersentuh.

"Kau mau minum?"

Pertanyaan yang tak sempat dijawab oleh Myungsoo. Tahu-tahu saja lawan bicaranya sudah meletakkan gelas kecil di depannya dan mengisinya dengan soju hingga penuh.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" Myungsoo tak menggubris gelas soju untuknya. Saat ini dia memang sedang pusing, tapi tidak sampai membuatnya ingin minum-minum. Setidaknya sampai dia mendengar apa yang ingin disampaikan padanya.

"Dia di rumah sakit sekarang."

Myungsoo menarik nafasnya dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku tahu."

Seringaian muncul sebagai balasan atas jawaban yang dilontarkan Myungsoo. "Sudah kuduga kau sudah tahu."

Pria yang sedang minum sendiri di dalam pojangmacha itu sepertinya benar-benar baru saja putus cinta. Terbukti dengan tangisan menyedihkan yang terdengar sembari menyebutkan nama seorang wanita. Meja nya hanya berjarak satu meja dari Myungsoo membuat perhatian Myungsoo sempat teralihkan sejenak.

"Sejauh mana kau tahu?"

"Semuanya."

"Woohyun?"

Myungsoo mengangguk.

"Dan meski kau sudah tahu semuanya kau tetap berpura-pura tidak tahu." ujarnya sinis.

"Aku sudah berjanji pada Woohyun hyung."

"Aku tahu apa yang ditakutkan Woohyun, tapi dia mungkin lupa. Jika adiknya saat ini terlanjur dikelilingi tembok tebal yang tak akan pernah bisa dia hancurkan sendiri."

Udara dingin malam ini begitu menusuk. Dan percakapan yang tercipta sangatlah berat bagi Myungsoo yang seharian memang sudah sangat lelah secara mental. Dia tahu selama beberapa waktu ke depan obrolan ini akan semakin berat. Tanpa pikir panjang lagi Myungsoo meraih gelas soju miliknya dan meneguknya hingga habis sebelum menuangkan isinya lagi.

"Severance Hospital. Lantai tiga. Ruang VIP 2."

Myungsoo mengingat dengan baik perkataan yang baru saja didengarnya. Sebelum kesadarannya mulai menghilang akibat soju yang ditenggaknya, dia menyimpan nomor ruangan itu baik-baik di kepalanya. Meski Myungsoo ragu segelas soju bisa membuatnya mabuk.

Tingkat toleransinya terhadap alkohol cukup tinggi. Bahkan setelah dua botol soju habis pun masih saja tak bisa membuatnya terkapar. Berbeda dengan pria di depannya yang sudah setengah mabuk.

"Kenapa dia?"

Myungsoo terdiam. Dia hanya mengisi gelas sojunya dan menghabiskannya dalam sekali tegukan.

"Kenapa harus dia? Kau bisa memilih gadis manapun yang kau mau. Mereka tak akan menolak. Tapi kenapa harus Sooji?"

Myungsoo tertawa miris. "Sooji bersikeras tidak ada hubungan apapun diantara kalian. Jadi ini hanya perasaan sepihak? Kau sungguh menyedihkan, Junho-ssi."

"Kau tidak berhak menertawakan perasaan tulusku padanya." sergah Junho.

Myungsoo menenggak satu gelas soju lagi. "Aku tidak mau gadis yang lain. Aku hanya mau dia."

"Kau tidak tahu apapun tentangnya. Kau bahkan baru mengenalnya."

Myungsoo berusaha menahan emosinya mendengar nada bicara Junho yang mulai meninggi. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum menyahuti perkataan Junho. Myungsoo memang tidak menyukai Junho, tapi dia tak ingin sampai bertengkar dengannya. Bagaimanapun Junho adalah sahabat Sooji. Jika Sooji tahu, wanita itu pasti tak akan senang.

"Seharusnya kau berusaha mengejarnya jika kau memang menyukainya. Bukan salahku jika kau sekarang merasa menyesal."

Myungsoo merasa semua percakapan ini sudah cukup. Dia ingin segera menyudahi semua basa-basi ini. Dia sudah menangkap maksud Junho dengan mengajaknya bertemu malam ini.

Pria itu juga sama dengannya. Junho tak menyukai Myungsoo. Tapi Myungsoo tak peduli. Dia merasa tak punya kewajiban apapun untuk membuat Junho juga menyukainya, meski pria itu salah satu orang terdekat Sooji.

"Kau mungkin tidak pernah mendengar pepatah, bahwa cinta tak harus memiliki." gumam Junho saat Myungsoo berdiri dan bersiap meninggalkan meja.

"Kalau begitu kita sedikit berbeda. Aku akan berusaha semampuku untuk memilikinya. Tapi jika dia sendiri yang memintaku pergi, maka hal itu pun akan kulakukan."

Setelahnya Myungsoo berjalan pergi dan tak menoleh lagi walau sekalipun. Dia segera menginjak pedal gas mobilnya menuju rumah sakit. Dia masih mengingat janjinya pada Woohyun, tapi saat ini dia tak bisa diam saja di rumah. Setidaknya dia harus memastikan bahwa Sooji baik-baik saja. Melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa wanita yang dicintainya tidak sedang kesakitan.

Lobi rumah sakit Severance Hospital terlihat lengang saat Myungsoo tiba disana. Maklum saja, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Myungsoo langsung menuju ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai tiga.

Hatinya mulai berdebar kencang saat melewati koridor ruang VIP. Hingga detik ini, ada sedikit bagian dalam dirinya yang mengharapkan bahwa ini semua hanya mimpi. Bahwa bukan Sooji-nya yang harus menjalani hidup seperti ini. Kaki Myungsoo terhenti di depan pintu ruang VIP 2, kamar Sooji.

Kotak kaca yang terdapat di pintu membuatnya bisa melihat ke dalam kamar. Suasana temaram tampak di mata Myungsoo. Lampu utama kamar telah mati, hanya ada satu lampu di nakas meja yang masih menyala. Terlihat Sooji sedang berbaring menyamping membelakangi pintu, hingga Myungsoo hanya bisa melihat punggung dan rambutnya saja yang terurai. Tubuhnya tertutup selimut sebatas bahu. Tak ada siapapun di dalam sana. Hanya Sooji seorang.

Ada dorongan dari dalam hatinya yang menyuruhnya membuka pintu dan masuk. Tapi keinginannya tertahan membayangkan bagaimana reaksi Sooji jika melihatnya muncul disana. Semua pergulatan batin yang terjadi membuat Myungsoo ragu-ragu dan hanya mampu memegang erat handle pintu kamar Sooji.

"Siapa kau?"


Continue....

Continue Reading

You'll Also Like

63.3K 6.5K 20
Romance story🀍 Ada moment ada cerita GxG
229K 34.3K 62
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
1.4M 81.1K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi πŸ”žπŸ”ž Homophobic? Nagajusey...
42.9K 6.7K 36
Rahasia dibalik semuanya