Drama Only (✓)

By tirameashu

36.1K 6K 4.5K

[Seoksoo GS Fanfiction] Gagal memperkenalkan sosok pacar kebanggaan, tidak serta merta membuat Jisoo kehabisa... More

prolog
1. Balada Oppa Kandung VS Oppa Khayalan
2. Pertama Kali Pacaran, Artinya Juga Pertama Kali.........
3. Gambaran Jika Sungguhan Punya Pacar
4. Antara Sahabat, Tugas, dan Janji
5. Skenario Putus
6. Pacar Sewaan Plus-Plus
7. Seperti Sungguhan Punya Pacar
8. Drama Semakin Meluas
9. Kalau Sungguhan Sayang
10. Ketika Jeonghan Sudah Beraksi
11. Menghentikan Drama Secepatnya
12. Si Topik Utama
13. Ada Pagar Pembatas
14. Sahabat Yang Lebih Dari
15. Syarat Permintaan Putus
16. Hubungan Yang Istimewa
17. Putus
18. Sudah Mendapat Pengganti
19. Seperti Permainan
20. Pacar Pertama dan Wanita Misterius
21. Ini Yang Disebut Sahabat?
22. Duel Ketiga
23. Terima Kasih Sudah Meminta Pertolonganku
25. Aku Akan Menunggu
26. Rayakan Kemenangan
27. Bisa Menjadi Teman
28. Tanpa Rasa Curiga
Epilog 1; Honey
Epilog 2; Mesin Produksi
Catatan Kecil

24. Jangan Memaksakan Diri

980 169 166
By tirameashu

Jeonghan bersedekap. Menatap Jisoo tajam. Memberi sinyal bahwa ia masih marah pada salah seorang sahabatnya itu. Namun, tentu Jeonghan masih memiliki hati nurani. Juga sangat menyayangkan kenapa kejadian seperti ini bisa terjadi di tengah-tengah kisah persahabatan mereka. Setelah dipikir-pikir, setelah berdiskusi panjang dengan Seungcheol, Jeonghan berhasil mengalahkan ego sendiri. Jisoo patut dimaafkan dalam beberapa alasan. Dan lagi, Jeonghan memiliki peran yang cukup besar atas alasan Jisoo kenapa nekat melakukan kebohongan.

Jisoo takut Jeonghan memarahinya karena berpacaran dengan Jun. Jisoo takut Jeonghan menertawakannya karena diselingkuhi Jun. Jisoo takut Jeonghan mengatainya karena gagal memperkenalkan sang kekasih. Alhasil, terciptalah skenario drama pacaran antara Seokmin dan Jisoo.

Sejak awal menampilkan diri sendiri di depan Jeonghan dan Seungcheol, sedikitpun Jisoo tidak berani mengangkat kepala lalu membalas tatapan kedua sahabatnya itu. Meskipun Seungcheol menunjukkan sikap yang berbeda. Lelaki Choi itu sama sekali tidak memberikan tatapan intimidasi seperti apa yang Jeonghan lakukan. Jisoo tetap merasa takut. Khawatir negosiasi hari ini berakhir sia-sia dan mereka bertiga gagal mengikat perdamaian.

"Hong Jisoo," panggil Jeonghan. Sedikit mengubah posisi duduk. Kafe yang mereka bertiga kunjungi sedang dalam keadaan ramai. Rasanya akan sangat memalukan kalau mereka yang sama-sama sudah dewasa ini malah saling memaki, memukul, menjambak, atau bahkan menendang, di tengah keramaian. Dan, karena Jisoo tidak juga menyahut, atau setidaknya membalas tatapannya, Jeonghan satu kali lagi memanggil. "Tolong jangan bertingkah dan membuatku semakin marah."

Seketika Jisoo menegakkan kepala. Disambut tatapan tajam Jeonghan dan tatapan penuh rasa sedih oleh Seungcheol. Rasanya Jisoo hendak menangis sekarang juga.

"Baiklah. Lebih baik aku yang mengambil alih ini," Seungcheol coba memposisikan diri sebaik mungkin. Tepat di samping Jeonghan dan di hadapan Jisoo, Seungcheol memulai dengan deheman penenang. "Kamu memang salah. Tapi kami berdua juga memiliki peran dalam memperburuk kesalahan. Jadi sebelum masuk ke inti masalah, aku dan Jeonghan meminta maaf."

Jisoo tergesa menyela. "Aku yang harusnya meminta maaf. Maafkan aku, sungguh. Aku tidak..."

"Jisoo, biarkan Seungcheol yang bicara terlebih dulu," Jeonghan seketika membuat Jisoo mengunci mulutnya.

Seungcheol berdehem lagi. Bingung bagaimana cara mencairkan suasana. Berharap ada keajaiban. Kedatangan seorang pelawak, misalnya. Agar suasana dingin sedingin Kutub Utara ini bisa segera mencair dan berubah menjadi suasana yang hangat. Seperti dulu. "Karena kamu sudah meminta maaf, walaupun melalui pesan, dan baru saja tadi kamu meminta maaf lagi, oke. Kami berdua memaafkanmu. Tapi dengan catatan."

Tanpa ragu Jisoo menganggukan kepala. Tidak peduli lagi dengan catatan apa yang akan ia dapatkan ke depannya. Yang penting persahabatan mereka bisa kembali seperti dulu.

Seungcheol melanjutkan kalimatnya. "Ceritakan semuanya sedetail mungkin. Tentang kamu dan para pangeran-pangeranmu itu."

"Pangeran-pangeran?" tanya Jisoo, sedikit bingung.

"Jun dan Seokmin." Jeonghan mempertegas. Sedikit kesal dengan Seungcheol. Bisa-bisanya mengambil kesempatan melawak di tengah peperangan dunia ketiga.

"Baiklah..." Jisoo menganggukan kepala pelan. Mengubah posisi duduk, tarik napas panjang sebelum memulai kisahnya. Tidak ada satu pun yang ia sembunyikan. Termasuk bagaimana awal mula ia nekat diam-diam berpacaran dengan Jun, diselingkuhi, hingga berakhir dengan membuat skenario drama roman picisan dadakan bersama Seokmin.

"Bagaimana dengan sekarang?" tanya Seungcheol. "Aku lihat dari kejauhan, kamu dan Seokmin semakin lengket. Walaupun sudah ketahuan hanya berpura-pura. Harusnya kalau memang hanya sebatas drama, hubungan kalian berakhir tepat setelah ketahuan."

Pertanyaan yang Seungcheol ajukan membuat mata Jisoo mengerjap tidak mengerti. Bukan tidak mengerti dengan pertanyaan tersebut. Tapi ia tidak mengerti dengan apa jawabannya. Jisoo tidak tahu apa jawaban yang tepat. "Entahlah... Tapi Seokmin sudah dua kali mengatakan sungguhan menyukaiku."

"Kamu menerimanya?" tanya Jeonghan, bersemangat. Sedikit mencondongkan badan ke arah Jisoo. Tanpa sadar melakukannya. Dan tingkah Jeonghan yang mulai luluh ini membuat Seungcheol luar biasa leganya. Inilah yang namanya Yoon Jeonghan. Telinganya seolah menjadi ribuan kali lipat lebih tajam jika itu menyangkut curhatan sang sahabat. Seungcheol dan Jisoo. Jeonghan adalah seorang pendengar yang baik.

Jisoo menggaruk kepala. Meringis pelan. "Aku belum menjawabnya. Aku hanya diam. Aku sungguh tidak tahu harus menjawab apa."

"Apa itu karena Jun?" kini giliran Seungcheol yang mengajukan pertanyaan. Terlihat sangat penasaran.

"Bisa ya, bisa juga tidak. Entahlah. Sungguh, aku sama sekali tidak mengerti. Aku senang bersama Seokmin tapi bayang-bayang diselingkuhi oleh Jun masih sangat menghantuiku. Aku tidak tahu itu apa namanya."

"Aish! Itu hanya trauma kecil," kata Jeonghan. Tersandar. Bersedekap lagi. Tidak habis pikir dengan cara berpikir Jisoo. Terlalu polos atau terlalu naif. "Sudah move on, tapi takut diselingkuhi lagi. Sudah sangat jelas itu. Sudahlah, terima saja. Aku yakin Seokmin itu orang yang baik. Kalau tidak, mana mungkin dia mau berkelahi dengan Jun sampai babak belur demi melindungimu."

"Kalian tahu itu?"

"Kejadian heboh. Satu kampus tahu," kata Seungcheol, selagi menyuruput es kopinya.

"Jadi... Aku harus apa?" Jisoo masih merasa bingung.

Jeonghan mengerang frustrasi. Kalau saja ia lupa sedang berada di tempat umum, sudah bisa dipastikan ia akan berteriak tepat di telinga Jisoo dan mengatakan "terima saja Seokmin".

"Tapi tunggu dulu," Seungcheol mengintrupsi. "Dulu Jun saat mendekatimu bagaimana? Apa sama gigihnya dengan Seokmin?"

Mengangguk. Namun pelan. Sangat pelan. Jisoo masih bingung apakah sama atau malah berlawanan. "Gigihnya kurasa sama. Tapi cara mereka berbeda. Jun lebih menunjukkan sayang dengan kata-kata. Seokmin dengan perlakuan, dan mengatakan sedikit kata sayang. Apa kalian mengerti maksudku? Seokmin itu..."

Sudah. Cukup. Tidak ada keraguan lagi. Jeonghan memukul meja. Tidak terlalu keras, namun berhasil mengagetkan Seungcheol dan Jisoo. "Jun menunjukkan rasa sayang dengan kata-kata, itu ciri-ciri buaya darat. Persis dengan laki-laki yang ada di sampingku ini. Dan Seokmin, menunjukkan rasa sayang hanya dengan perlakuan. Karena dia tahu posisinya. Menghargai kamu sebagai wanita yang pernah dikhianati. Itu sangat jelas. Seokmin sangat tulus kepadamu."

Seungcheol mengangguk usai memberi penekanan bahwa ia berbeda spesies dengan Jun. "Aku yakin Seokmin bisa melindungimu. Jadi tidak perlu takut lagi. Jun akan mundur dengan sendirinya begitu tahu bahwa penjagamu sekarang merupakan tentara yang kuat dan tangguh."

"Jadi ... Aku harus bagaimana?" tanya Jisoo lagi, hati-hati. Memandangi kedua sahabatnya itu bergantian. Sejalan, Seungcheol dan Jeonghan pun saling memandangi satu sama lain. Mengangguk bersamaan setelahnya. Jisoo yang tidak mengerti dengan bahasa isyarat mereka jadi takut. Khawatir mereka berdua meminta Jisoo melakukan hal bodoh.

"Hubungi Seokmin sekarang juga," kata Jeonghan.

"Tapi..."

"Tidak ada tapi-tapian, Hong Jisoo," Jeonghan sungguh tidak mau dibantah. "Coba bayangkan. Seokmin sudah menyatakan perasaannya padamu sebanyak dua kali. Dan kamu tidak mengatakan kalau dia ditolak atau pun diterima. Kamu sudah menggantungnya! Yang perlu kamu tahu, digantung itu sama sekali tidak enak. Rasanya sangat menyakitkan. Jadi tolong mengertilah dengan posisi Seokmin sekarang. Dia terus menjagamu, tapi kamu malah memperlakukannya seperti ini. Apa itu adil?"

Seungcheol pun mengangguki ucapan Jeonghan. "Kalau aku jadi Seokmin, begitu pertama kali mengaku suka, dan kamu malah tidak mau menjawab apa-apa, langsung saja aku mundur."

"Bukan aku yang tidak mau menjawab," Jisoo membantah kesalahan pengambilan kesimpulan mereka. "Seokmin bilang sendiri kalau aku tidak perlu menjawabnya. Cukup aku tahu itu."

"Aish! Kamu ini memang bodoh, ya?" Jeonghan sudah tidak tahan lagi. "Dia bilang seperti itu karena tahu kalau kamu masih trauma dengan perlakuan Jun! Oh, atau kamu memang masih menyukai Jun?"

Jisoo diam. Pertanyaan itu seolah tembakan air es. Membekukan tubuh Jisoo seketika.

Seungcheol tertawa. "Lihat... Dia benar-benar masih menyukai Cicak Tiongkok itu rupanya."

"Tidak!"

"Ya terus apa lagi?" Jeonghan sungguh gatal mulut hendak mengeluarkan jutaan umpatannya. Beruntung ia masih ingat sedang berada di mana. Tempat umum. Banyak pengunjung di bawah umur.

"Aku sebenarnya... Ya, aku..." Jisoo tidak mengerti kenapa untuk mengaku saja rasanya sangat sulit. "Aku juga menyukai Seokmin, tapi..."

Seungcheol tergelak sendiri. "Bagus. Sekarang hubungi dia."

Tidak ada cara untuk kabur. Juga tidak ada pilihan lain. Ia sudah terlanjur berjanji akan melakukan apa pun agar Seungcheol dan Jeonghan mau memaafkan. Gugup setengah mati. Saking gugupnya, tangan Jisoo jadi berkeringat. Bahkan berulang kali ia salah menekan tombol ponsel. Sampai Jeonghan gereget sendiri. Mengambil alih ponsel itu lalu menghubungi Seokmin. Dikembalikan begitu sudah berdering. Menunggu beberapa detik, suara Seokmin langsung terdengar di seberang sana. Seungcheol dan Jeonghan kompak minta di-speaker. "Apa aku mengganggumu?"

"Tidak. Aku baru saja selesai makan siang bersama Seungkwan. Ada apa?"

Jisoo menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Mengaku pada Seungcheol dan Jeonghan saja ia butuh nyali yang sangat besar, bagaimana bisa ia mengaku pada Seokmin seperti ini? "Aku..."

"Jisoo? Kamu tidak apa-apa, kan? Apa ada masalah?" Seokmin dapat membaca gelagat tidak baik Jisoo.

Spontan gadis bermarga Hong itu menggelengkan kepala. Sadar jawabannya tidak mungkin bisa Seokmin tangkap, Jisoo segera bersuara. "Tidak. Aku baik-baik saja. Aku sedang bersama Seungcheol dan Jeonghan."

"Kalian sudah berdamai? Sungguh? Syukurlah. Aku sangat senang."

"Ya... Aku juga sangat senang."

"Kamu meneleponku untuk mengabarkan ini?"

Jisoo langsung diam. Menatap kedua sahabatnya di depan. Dan secara kompak mereka menggelengkan kepala. Tentu Jisoo masih ingat. Sambungan telepon saat ini bukan untuk mengabarkan perdamaian mereka. Karenanya, Jisoo meringis. Sekali lagi, rasanya Jisoo sangat ingin menangis. "A-aku... Hendak mengatakan sesuatu."

"Baiklah. Akan kudengarkan."

Jisoo menutup kedua mata. Banyak berdoa sebelum berucap. Sangat gugup. Memegangi dada, terasa jelas detak jantungnya bahkan lima kali lipat lebih cepat dari biasanya. Tarik napas... "Aku juga menyukaimu."

"Apa?"

Sambungan telepon tersebut langsung Jisoo putuskan.

"Hong Jisoo!" Seungcheol dan Jeonghan kompak meneriaki.

"Argh! Ada apa denganmu, huh? Tinggal menunggu jawaban Seokmin!" Jeonghan akhirnya lupa sedang berada di mana. Biarlah jadi tontonan. Kelakuan Jisoo sungguh membuatnya gerah.

Seungcheol mengerang frustrasi. Tanpa berucap, mengambil alih ponsel genggam Jisoo. Tidak peduli dengan perlawanan yang gadis bermata kucing itu lakukan. Ini demi Jisoo. Ia sungguh tidak rela kalau Jisoo malah kembali menjalin hubungan dengan Jun. Gayung bersambut. Ponsel genggam Jisoo berhasil ia raih bersamaan dengan masuknya telepon dari Seokmin. Pasti pemuda Lee itu pun minta penjelasan atas pengakuan Jisoo.

"Lakukan dengan baik!" Saat mengembalikan ponsel Jisoo, Seungcheol memperingatkan.

"Jisoo? Ini sungguh kamu?" Seokmin langsung menyerbu Jisoo dengan pertanyaan.

Jisoo sungguh tidak mengerti. Ini pertama kalinya ia berada di kondisi sekarang. Situasinya sangat berbeda dengan apa yang pernah dialami selagi bersama Jun. Tidak ada persamaannya, kecuali rasa gugup. Melakukannya bersama Seokmin, Jisoo jadi dapat merasakan perasaan kontras lain. Lemas, kehilangan tenaga, juga takut. Entah menakutkan kenapa. "Iya, ini aku."

"Apa kamu dipaksa Seungcheol dan Jeonghan?" tanya Seokmin. Membuat Jisoo langsung tertegun. Tidak hanya Jisoo. Namun juga dua orang pemilik nama yang tadi Seokmin sebutkan. Meskipun hanya melalui sambungan telepon, Jisoo bisa mendengar helaan napas pemuda berhidung mancung itu dengan jelas. "Tolong jangan memaksakan diri. Aku tidak mau menyakitimu dengan memaksamu berdiri di sampingku. Tidak masalah jika kamu lebih memilih orang lain. Aku tidak punya hak untuk mengatur apa yang kamu pilih. Tapi setidaknya, tolong jangan seperti ini. Aku tidak berani berharap lebih darimu. Jadi jangan membuatku mengharapkan yang lebih. Bisa, kan?"

Saat berucap, suara Seokmin sangat halus, lembut, tanpa pemaksaan. Namun anehnya semua kalimat tersebut malah berhasil membuat Jisoo menangis. Sekuat tenaga ia menahan tangisan. Tapi air mata malah semakin deras keluarnya. Jisoo tidak mengerti. Tapi yang pasti, ucapan Seokmin membuatnya kecewa pada diri sendiri. Dan di sela tangisan itu, sekuat tenaga Jisoo mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya. Tidak peduli apakah akan bisa Seokmin mengerti atau tidak. "Aku tidak memaksakan diri. Mereka memang menyuruhku. Tapi apa yang kuucapkan sudah sesuai dengan apa yang ada dalam pikiranku. Maaf, aku terlalu banyak menyakitimu."

Sambungan telepon mereka terputus lagi. Dan kali ini Seungcheol dan Jeonghan tidak berani mengajukan protes. Jisoo berdiri. Menitipkan tas dan ponselnya. Meminta izin pergi ke toilet.

Sejujurnya, Jeonghan merasa bersalah. Seungcheol juga. Tapi tidak sebesar rasa bersalah Jeonghan. Seungcheol malah lega setengah mati begitu mendengar ucapan Seokmin tadi. Terdengar sangat tulus. Ia jadi yakin bahwa Jisoo telah berada di tangan orang yang tepat.

Dan, rasa bersalah Jeonghan terus berlanjut hingga beberapa belas menit kemudian. Menyentuh angka puluhan menit, Jeonghan sudah tidak tahan lagi. Jisoo belum juga kembali dari toilet. "Biar aku susul," katanya. Setelah turut menitipkan tasnya beserta segala barang yang ada di dalamnya kepada Seungcheol. Beberapa menit, Jeonghan kembali dengan wajah khawatir. Panik. Seperti seorang ibu yang kehilangan putri kesayangannya. "Jisoo tidak ada!"

"Sungguh? Kamu sudah memeriksa semua bilik toilet?" Seungcheol ikut panik.

Kini tidak ada alasan lagi bagi Jeonghan untuk tidak menangis. Membuat Jisoo menangis, kini malah kehilangan jejak Jisoo, ia merasa gagal menjadi seorang sahabat. "Apa yang harus kita lakukan, Cheol? Jisoo sungguhan tidak ada di toilet. Mana mungkin pergi ke toilet sampai setengah jam!"

Seketika Seungcheol ingat dengan ponsel genggam Jisoo yang dititipkan. Mencari kontak Seokmin. Menghubunginya. Menyebarkan rasa panik ke pemuda Lee itu.

Yang ada dalam pikiran Seokmin hanya satu. Hong Jisoo. Tidak peduli lagi dengan nyawanya sendiri. Seokmin sungguhan seperti seorang pembalap profesional. Mengebut di tengah jalan raya yang padat. Meliuk seperti ular. Memberi instruksi pada Seungcheol dan Jeonghan agar berpencar mencari.

Akan tetapi, baru beberapa langkah mulai berpisah dengan kedua sahabat Jisoo itu, Seokmin mendapat pesan dari sahabatnya sendiri. Kim Mingyu. Jisoo dibawa Jun ke apartemennya. Kamar nomor 64, lantai 8. Bersama lokasi sebuah apartemen dekat kampus Jisoo.

tirameashu, 29 November 2020

Continue Reading

You'll Also Like

82.2K 7.9K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
64.4K 5.9K 48
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
5.1K 475 5
You gave her your sweater, it's just polyester But you like her better Wish I were • an alternating current between two persons, different story but...
18.3K 1.6K 14
Sebuah restoran dan coffe shop di salah satu sudut Cheongdam-dong, tempat dimana sebuah kisah cinta dimulai dan juga sebuah tempat seseorang menunggu...