Shaka's Ending βœ”

By dimplesfeel

312K 32.7K 2K

Shaka tidak pernah meletakkan kepentingannya di atas kepentingan orang lain. Shaka bahkan tidak memiliki rapa... More

prologue: The One Who Lost Himself.
Arus 1
Arus 2
Arus 3
Arus 4
Arus 5
Arus 6
Arus 7
Arus 8
Arus 9
Arus 10
Jeram 11
Jeram 12
Jeram 13
Jeram 14
Jeram 16
Jeram 17
Jeram 18
Jeram 19
Jeram 20
Waterfall 21
Waterfall 22
Waterfall 23
Waterfall 24
Waterfall 25
Waterfall 26
Waterfall 27
Waterfall 28
Waterfall 29
epilogue: FINAL DESTINATION
Side story: London, Shaka, Rayyan dan Mahendra

Jeram 15

7.1K 955 45
By dimplesfeel

Tap your star! 🌟













Gerimis kecil mulai turun menerobos dedaunan yang menjuntai menghalangi jalan mereka untuk jatuh ketanah. Matahari sedikit demi sedikit bersembunyi dibalik awan yang menghitam, seolah iapun takut terkena rintiknya. Lalu saat rinainya berubah menjadi serbuan jutaan air yang turun ke bumi, entah mengapa bumi terasa lebih damai. Setidaknya bagi Shaka. hingar bingar tersamarkan oleh derasnya, pemandangan diluar sana mengabur, tidak ada orang yang, mereka semua meneduh.

Tiba-tiba Shaka menyamakan hidupnya dengan berjalan ditengah hujan deras yang menghujam seluruh tubuhnya. Ketika semua orang menepi dan berteduh, mereka pulang dengan terburu-buru atau singgah ditempat teduh hanya untuk menunggu hujan akan mereda, bahkan bila harus menunggu berjam-jam. Namun bagi Shaka, tidak ada untuknya tempat berteduh ataupun pulang. diarusnya, semua tempat berteduh sudah penuh, dan tempatnya untuk pulang tidak lagi sehangat senja.

Tapi duduk di sini, disamping brankar sang adik yang dibius infus juga dengan pemandangan wajah tampan dan menggemaskannya yang sedang tidak sehat, ia akhirnya tau, mengapa ia harus bertahan. Setelah berjuang selama ini, ia akhirnya tau untuk apa ia berjuang selama ini. Hal itu yang Shaka gunakan sebagai alasan untuk bertahan. Rayyan.

"Gue besok udah boleh pulang," ujar Rayyan, matanya tidak lepas dari jendela kamar yang menyuguhkan rinai hujan yang semakin deras.

"Loh?"

"Gue dibolehin rawat jalan, jangan cerewet! Kemarin-kemaren juga gitu, gue setiap Minggu kontrol."

Benar. Shaka tidak tau apa-apa soal penyakit Rayyan dulu.

"Lo kira kenapa gue harus pulang tepat waktu? Gue minta motor waktu itu juga supaya bisa pulang sendiri."

"Gak boleh, bahaya!" sahut Shaka selanjutnya.

"Gue ini pasien kanker. Kalau gue nanti gak sempat buat SIM terus dapat motor gimana? Kan selagi bisa--."

"Rayyan! Jangan ngomong kayak gitu. Nanti Tuhan dengar, terus doamu dikabulin," sergah Shaka, ada sedikit rasa panik yang mnyerang Shaka saat anak itu tiba-tiba bermain-main dengan kematian. Karena hal itu benar-benar membuat otak Shaka membeku ketakutan.

"Biarin! Biar Mama sama Papa nyesel."

"Ini bukan sinetron, Ray," ucap Shaka berhasil membuat Rayyan berdecak kesal. Lalu anak itu bersedekap dada sambil melirik Shaka lalu kejendela berulang kali. Cowok itu sibuk dengan LKSnya, masih dengan celana sekolah dengan atasan kaos hitam polos. Namun kemudian Shaka membuang LKSnya kesofa lalu beralih meraih ponsel dan menghabiskn waktu disana.

Sempat dikukung hening hingga akhirnya Rayyan tiba-tiba bangkit dari baringnya dengan mata membelo kearah Shaka. Hening yang sebelumnya membelenggu kembali Rayyan pecahkan dengan sesak lain yang menyerang dada Shaka.

"Siapa sih selingkuhan Papa? Lo tau?" Shaka membuang nafas kemudian beralih menatap adiknya. Kenapa Rayyan selalu membuat pikirannya sekusut ini, sih?

"Kamu gak perlu tau. Tugas kamu satu, yaitu sembuh. Biar Abang yang urus semuanya. Waktu kamu sembuh nanti, Abang ijinin kamu tau semuanya," jawab Shaka. Namun nampaknya cowok pucat itu belum puas dengan jawaban sang Kakak, ia justru mengeritkan dahi tidak terima.

"Gue berhak tau dong!"

"Belum tau aja udah dipikirin. Lagian bukan masalah besar. Papa Cuma lagi bosan dan cari suasana baru, Abang bakalan lakuin apapun buat keluarga kita normal lagi. jadi sekarang, Abang kasih kamu tugas buat sembuh, bisa?" Rayyan melongo lalu berdecak.

Jangan lakuin apapun, Shak. Jangan lakuin hal berbahaya, jangan ngelakuin tanpa berpikir. Jangan bilang lo bakal lakuin apapun.

"Terserah lo!" decaknya lalu menutupi diri dengan selimut.

Di dalam persembunyiannya, Rayyan memejam erat sambil menggigit bibir pucatnya. Rasa kesal itu kembali lagi, rasa kesal disaat ia ingin sekali menunjukan perasaan yang sebenarnya tentang Shaka, bahwa ia sebenarnya khawatir, bahwa sebenarnya ia ingin Shaka tidak ke mana-mana. hatinya meminta untuk terus terang dan bersikap jujur kepada Shaka, namun yang ia lakukan sudah terlalu banyak. Ia sudah sedingin ini dengan Shaka sejak masuk SMP, baginya sudah terlalu lama untuk bersikap biasa lagi. Shaka mungkin akan mengoloknya.

Bunyi pintu dibuka segera mengalihkan atensi Shaka kearah pintu. Menemukan Nadin yang menenteng kantong berisi baju-mungkin untuk Rayyan, dia juga membawakan makanan dan kali ini pasti untuk Shaka. Wanita itu tersenyum, meski garisnya terlihat lemah sebelum mendekat ketepi ranjang disamping Shaka yang perlahan mundur memberikan sang Mama ruang.

"Adek besok udah boleh pulang katanya," ujar Shaka seperti melapor, sedangkan Nadin mengangguk mengiakan.

"Adek sendirian dulu ya di sini? Mama sama Bang Shaka mau ke kantin. Abang kamu pasti belum makan, nanti Papa ke sini nemenin Adek," Nadin kemudian mengambil lengan Shaka dan membawa putra sulungnya keluar dari kamar sembari menenteng kantong berisi stoples bekal.

Tanpa sahutan, hanya gerakan kecil berupa kode bahwa ia baik-baik saja sebenarnya. Kemudian Mama dan Shaka keluar ruangan menuju kantin dalam hening. Ditemani bincang halus dikoridor dari para pasien dan tim medis yang berlalu lalang. Belum lagi mereka harus menepi sejenak setelah berpas-pasan dengan pasien UGD.

Ini yang Shaka maksud diamnya Nadin. Wanita itu juga sangat dingin bagi Shaka, dia bisa saja berubah menjadi mentari pagi didepan Rayyan, namun seketika berubah menjadi Antartika saat disekitar Shaka. Seperti sekarang, tepat setelah menutup ruangan, tautan lengan keduannya langsung terlepas dan Nadin segera mendahului langkah Shaka.

Disaat-saat begini, meski ada Mama yang berjalan didepannya, Shaka tetap merasa sendirian. Terlalu sunyi dan asing. Dunia ini seperti tidak menerimanya.

Hingga keduanya tiba dikantin dan memilih kursi kosong dipojokkan. Nadin langsung membuka bekalnya, dan Shaka langsung disuguhi nasi dan sayur-sayuran didalamnya. Nadin bangkit lalu membeli ayam dan kerupuk setelahnya berakhir di dalam bekal Shaka. Shaka tersenyum menerimanya, namun lagi-lagi Nadin justru terlihat datar dan membuka bekal makanannya sendiri.

"Menurutmu, kalau Mama sama Papa cerai...gimana?"

Topik ini. Topik yang paling menyeramkan untuk semua anak. Maka dari itu Shaka menggeleng sambil mengaduk nasinya.

"Gak tau. Asalkan Mama sama Papa bahagia, aku dukung apapun itu," detik itu tatap mata Nadin terangkat, mencoba mencari makna diwajah tirus sisulung. Anak itu tidak pernah egois, selalu memikirkan orang lain. Itu yang Nadin tau selama ia mmbesarkan keduannya.

"Kamu mau ikut siapa?" lagi-lagi Shaka menggeleng.

"Aku bakalan buat Papa sama Tante Miranda selesai."

"Gimana caranya? Kamu mau bunuh dia? Masalah ini tuh gak sesimple itu, Shaka."

"Makanya kita harus pikirin baik-baik, Ma. Rayyan lagi sakit, lagi butuh didukung. Terus Mama sama Papa mau cerai padahal keadaan Rayyan lagi gak bagus, apa maksudnya?" hentak Shaka. Sebagai anak sulung, sudah seharusnya ia mewakili apa yang tengah dirasakan keduannya.

Shaka agaknya sedikit menyesal dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya, karena lagi-lagi Nadin kembali menjatuhkan air matanya. Ia menopang kepalanya frustrasi sembari terisak, sedang Shaka kembali mematung dengan pijaran yang tengah berkecamuk dikepalanya.

"Maafin Shaka, Ma."

Kemudian keduanya kembali dibungkam hening dengan bekal yang kian mendingin juga pikiran yang kian mengusut.

***

Terakhir kali bertemu dengan Papanya dirumah sakit, Shaka kembali mengoleksi luka-luka lebam ditubuhnya. Trauma, tangan Shaka mendingin saat kembali dari toilet umum Rumah Sakit setelah kamar mandi kamar sedang Rayyan pakai lalu menemukan Papa duduk bersandar dikursi tunggu sambil menatap ponselnya.

Yang Shaka tangkap dari pria itu selalu amarah. Sampai ia memberanikan diri berjalan mendekat lalu berusaha tidak mengubris ia langsung meraih kop pintu sampai tiba-tiba Papanya sudah mencengkram pergelangan tangannya dan menantang netra Shaka dengan api yang siap menyulut.

"Papa mau ngomong," katanya sebelum akhirnya Shaka diseret keluar Rumah sakit dengan langkah terseok-seok mengikuti irama langkah Papanya yang besar.

Kemudian hanya ada tubuh Shaka yang dihempas ke depan Harun. Namun ada satu yang Shaka sadari, amarah Papa mereda. Gerakkannya memang kasar, itu memang seperti biasanya. Tapi api dimatanya benar-benar meresup, menyisakan tatap kosong juga kerut kelelahan diwajahnya. Tentu saja, mencari uang dan membagi waktu dengan dua istri itu melelahkan.

Seketika Shaka ingin tertawa terbahak-bahak.

"Shaka," panggilnya. Ia menopang keningnya, mungkin ia pusing. Shaka hanya menurut mendongakkan kepalanya sambil berdehem.

Ia menarik nafas lalu membuangnya berkali-kali. Shaka menangkap gugup yang menyembur dari dalam mata Harun. Entah apa yang ingin ia katakan tapi Shaka merasa sedikit takut.

"Mama kamu cerita apa aja?" tanyanya. Ada getar dari sakit yang ia rasakan, menjalar menghantar sakitnya kehati Shaka. Membuat Shakapun merasakan sakitnya.

Bukannya memulai cerita, Shaka justru mengulurkan tangannya melingkar dibahu sang Papa. Merengkuhnya dalam peluk yang mungkin tidak mampu membuat tubuhnya hangat ditengah tiupan angin malam yang menusuk karena tubuhnya terlalu ringkih untuk menghalau dingin. Yang Shaka lakukan ialah untuk membuat Harun tau bahwa Shaka selalu punya maaf bila pria paruh baya itu mau kembali dan menyesali perbuatannya. Ada sedikit jeda, meski tanpa balasan dari sang Papa, tapi keduanya sempat larut dalam rindu yang akhir-akhir ini waktu permainkan.

Hingga Harun lagi-lagi mematahkan jarak yang sempat terkikis habis. Pikirannya kini tengah berkecamuk, tidak ada baginya waktu untuk membiarkan Shaka mengambil waktunya untuk bermelankolis. Lagi-lagi ia meremas bahu sulung erat, seolah meminta jawabannya segera, tidak peduli bagaimana wajah datar Shaka meski rematannya mungkin sudah meremukkan tulang bahunya.

"Jawab Papa, Shaka!"

Shaka masih diam hingga rematan Harun melonggar hingga terlepas, membuat Shaka sedikit limbung ke belakang.

Cowok itu menghela nafas panjang, "Mama bilang mau cerai."

Dilihatnya sang Papa mengusap wajahnya kasar kemudian berkacak pinggang.

"Sebaiknya jangan. Kasian Rayyan, dia lagi sakit parah. Kalau Papa tetap mau egois buat tetap sama Tante Miranda aku gak bakal diam aja," papar Shaka. Tangannya menggempal menahan gugup.

Seperti dugaan Shaka, hal itu menyulut amarah sang Papa kembali.

"Ngomong apa kamu barusan?!" bentaknya, matanya membulat hendak keluar. Membuat Shaka mundur selangkah karena terkejut.

"Papa gak bisa kayak gini terus! Kasian Mama! Kasian Rayyan! Papa harus pilih, Mama atau Miranda!"

Satu tamparan berhasil mendarat mulut dipipi Shaka. Bahkan saking kuatnya, bibir Shaka sampai robek dan banyak mengeluarkan darah.

Lagi-lagi Shaka tidak meringis.

"Kamu udah berani, ya?! Tau apa kamu soal Papa dan Miranda? Berani-beraninya kamu bicara gak sopan tentang dia!"

"Terus gimana maunya Papa? Cerai aja sama Mama kalau Papa tetap egois! Dari pada Mama sakit hati setiap hari punya suami kayak Papa!!"

Harun langsung menggapai leher Shaka segera, membuatnya tercekat seketika. Terlalu kuat hingga Shaka sulit bernafas karenanya. Mata Shaka melirik melihat apakah mungkin ada orang yang lewat dan melerai keduannya. Sayangnya, di sini benar-benar gelap dan sunyi, mungkin karena sudah larut jadi tidak ada satupun orang yang berkeliaran ditaman rumah sakit yang lampu tamannya sudah rusak.

Mungkin Tuhan ingin menjemputnya malam ini. Shaka tidak keberatan sama sekali. Bahkan saat wajah Rayyan muncul dalam benaknya, tangannya tetap perlahan turun jatuh disamping tubuhnya tanpa berusaha menjauhkan telapak besar Papa dari lehernya.

"Jangan begini Shaka!" hentak Papanya kemudian, tepat sebelum Shaka luruh jatuh ketanah, Harun segera mengambil tubuh putranya masuk dalam dekapnya. Membuat tubuh Shaka seketika hilang dalam rengkuhnya.

Kemudian malam semakin larut dengan tangis tertahan Harun juga Shaka yang pingsan dalam pelukannya.

***

Wed. Jul. 29
HR 💜

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 40.5K 6
π˜Όπ™£π™œπ™šπ™‘ π™‡π™–π™‘π™žπ™¨π™– π˜½π™šπ™§π™©, wanita karir paling sukses di usia 24 tahun yang lama men-jomblo karena sifatnya yang 'sangat pemilih', namun tidak...
21.3K 1.8K 19
Ini tentang si bungsu dari keluarga Amardika. Si bungsu yang kehadirannya ditolak oleh keluarganya. Menjadi sasaran pelampiasan sang kepala keluarga...
3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
35.6K 3.6K 40
JASA atau singkatan dari Jevan, Agel, Savier dan Agam. Mereka adalah 4 sekawan yang tidak pernah terpisahkan sejak dalam kandungan. Bertengkar, berca...