Shaka's Ending βœ”

By dimplesfeel

312K 32.7K 2K

Shaka tidak pernah meletakkan kepentingannya di atas kepentingan orang lain. Shaka bahkan tidak memiliki rapa... More

prologue: The One Who Lost Himself.
Arus 1
Arus 2
Arus 3
Arus 4
Arus 5
Arus 6
Arus 7
Arus 8
Arus 9
Arus 10
Jeram 12
Jeram 13
Jeram 14
Jeram 15
Jeram 16
Jeram 17
Jeram 18
Jeram 19
Jeram 20
Waterfall 21
Waterfall 22
Waterfall 23
Waterfall 24
Waterfall 25
Waterfall 26
Waterfall 27
Waterfall 28
Waterfall 29
epilogue: FINAL DESTINATION
Side story: London, Shaka, Rayyan dan Mahendra

Jeram 11

7.6K 913 29
By dimplesfeel

Tap your star! 💫














Kini rasa-rasanya udara di bumi sudah tidak semenyenangkan udara dingin dipagi hari atau udara saat hujan mereda. Entah udara di bumi yang kian menipis atau pernafasannya yang kini terganggu, namun yang jelas bernafas bagi Shaka kini kian menyulit. Sesak dan menyakitkan.

Meski bukan hal aneh bagi seorang Shaka melamun dimana-mana, namun kali ini ia bahkan melamun ditengah jalanan yang mulai ramai bahkan macet. Nyaris menabrak pantat motor dan mobil orang lain, lalu meminta maaf dan menarik nafas untuk mengisi paru-parunya yang dirasa-rasa terisi penuh oleh air, menyesakkan.

Shaka sedih, tentu saja. Semua hal yang sedang terjadi kini menganggu pikirannya, menyambung-nyambung menjadi benang kusut yang besemayam dikepalanya. Kalau boleh Shaka ingin sekali menangis, namun bahkan air matanya enggan meloloskan diri. Shaka bukan orang kuat, dia hanya berpura-pura kuat. Shaka bukannya tidak peduli, ia sudah dirancang dari kandungan sebagai makhluk yang terlahir dengan sifat santai. Namun kini ia sungguh tidak bisa santai bila menyangkut keluarganya, yang sayangnya ia justru kelewat santai untuk urusan dirinya sendiri.

Bersyukur Shaka masih bisa sampai di sekolah tanpa terlambat, walaupun sebenarnya ia adalah siswa terakhir yang melewati gerbang. Gibran yang sedari tadi duduk diteras kelas 10 dengan elitnya langsung bangkit menyusul Shaka yang hari ini terlihat lebih mendung. Satu yang Gibran benci dari seorang Arshaka adalah bagaimana ia masih tersenyum meski auranya sudah sekelam malam.

"How's Life?"

"Apik," jawab Shaka. Gibran terkekeh lalu menoyor kepala Shaka pelan.

"Sok Inggris lo!" ucap Gibran kemudian sesaat setelah berhasil mengelak saat Shaka ingin membalas toyorannya.

Keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Jarak kelas Shaka dan Gibran dari gerbang utama lumayan jauh, ada di lantai dua. Berhubung Gibran punya visual dan popularitas, jadi ada drama dilirik adik dan kakak kelas dulu, belum lagi di salam-salami dan sok kenal.

"Tadi si Mahen nyari lo kekelas," ujar Gibran yang berhasil membuat Shaka menoleh hingga menghentikan langkahnya.

"Terus dia bilang apa?"

"Dia bilang 'Shakanya ada gak?' gitu."

"Bukan, yang lain gitu? Gak ada?"

"Lo sama dia ada apaan sih? Jujur aja gue cemburu lho, Shak! Ih! Ah!"

"Gib, gue serius!" hentak Shaka akhirnya, bukan salah Gibran juga sebenarnya, anak ini memang suka bercanda. Tapi hari ini mood Shaka tidak begitu bagus untuk menanggapi.

Gibran akhirnya menghela nafas, memberi senyum paksa kepada siswa-siswi yang berlalu lalang mendengar percakapan mereka. Mungkin mereka kira Gibran dan Shaka sedang syuting drama BL Thailand.

"Dia cuma nyariin lo, udah itu aja. Gue bilang lo gak dateng, abis itu dia pergi," jawab Gibran. Shaka menghela nafas kemudian membuang pandangannya ke bawah, area lapangan dimana biasa ia menemukan Mahen dengan tim futsalnya. Tapi tidak ada siapa-siapa disana.

Kemudian ia memilih untuk melupakannya sejenak dan membawa Gibran masuk ke dalam rangkulannya.

"Hari ini gue lihat setan, jadi mood gue gak bagus," curhatnya kemudian, namun justru membuat Gibran tidak bergeming.

"Se..setan?"

"He eh, tadi duduk dilantai teras anak kelas 10," namun bukannya makin takut, Shaka justru mendapat toyoran lain dari tangan Gibran dengan brutal.

Lalu keduanya berlari kekelas sambil memekikkan tawa. Seolah hari-hari berat yang mengikat leher mereka tidak pernah ada. Seolah mereka baik-baik saja dan bahagia. Seolah mereka hanya anak remaja 17 tahun yang tengah menikmati masa putih abu-abunya dengan setumpuk tugas dan peliknya cinta monyet.

***

Rayyan hanya menatap uang berwarna hijau itu nyaris tertiup angin diatas meja kantinnya dengan datar. Mencoba tidak peduli dan fokus dengan mi ayam ala-ala bu kantin didepannya. Uang itu belum ia sentuh dari pertama kali pak satpam meletakkannya diatas meja karena tak kunjung Rayyan sambut, anak itu justru menggeleng dan menolak, namun pak satpam juga enggan menyimpannya lagi. takut lupa.

Sebenarnya ia sendiri masih tidak mengerti mengapa ia jadi lebih sensitif dan gampang kesal untuk hal-hal kecil. Bahkan untuk kata-katanya tadi pagi didepan pagar sekolah, apakah itu tidak keterlaluan? Rayyan benar-benar menyesal setelah mengucapkan hal itu. Mie-nya bahkan kini terasa hambar, namun ia belum sarapan, jadi ia kelaparan.

"Ray!" Rayyan menoleh saat seseorang menepuk punggungnya lalu duduk dikursi sampingnya membawa sepiring batagor.

"Pulang ini cek upkan? Gue temenin?" tanyanya. Rayyan kemudian tersenyum tipis kemudian mengangguk.

"Lo gak sibuk apa, Ji?"

"Sibuklah! Sibuk jadi asisten dokter lo? hehe."

Namanya Aji Bramantyo. Walaupun punya wajah campuran, namun saat diajak berbicara Sunda, doi legit sekali sundanya. Sudah berteman sejak TK jadi seluk beluk Rayyan ia paham, meski Rayyan selalu memberi batasan bagi Aji untuk masuk ke dalam hal pribadinya.

Pertemanan mereka juga dimulai cukup dramatis, dengan Aji sebagai anak yang sering diolok karena perawakannya yang bule dan Rayyan yang saat itu begitu terbuka dan mau bermain dengan siapa saja.

"Eh tapi gak usah deh, kayaknya gue berangkat sama Shaka aja."

"Abang lo udah tau?!" Rayyan lalu mengangguk, sedangkan Aji langsung mentup mulut dan mendekatkan kursinya kearah Rayyan.

"Gimana reaksinya??" Rayyan memincing kemudian, lalu mendorong bahu Aji menjauh dari wajahnya dengan sedikit kesal. Karena dia memang tidak tau bagaimana reaksi Shaka waktu tau ia mengidap penyakit mematikan.

"Biasa aja."

"Anjir! Abang kek apa tuh?!"

"Lo jangan mulai deh sok taunya," sergah Rayyan. Mengingat bila Aji memang mempunyai sifat soudzon garis khatulistiwa.

Namun setelahnya cowok itu hanya cengengesan dan meminta maaf sambil memasukan batagor ke dalam mulutnya.

Dan bila dipikir-pikir lagi, benar juga. Bagaimana reaksinya saat itu? Rayyan juga penasaran. Ditambah uang 20 ribu yang masih tergeletak diatas meja belum sempat ia sentuh sama sekali dari tadi.

Ini bukan uang jajannya kan?

***

"Nyokap lo kerumah gue semalam," ujar Mahen. Kemudian keduanya sama-sama terdiam cukup lama.

Shaka ingin menyahut, namun serangan di dalam hatinya terlalu bertubi-tubi hingga ia sulit untuk mengeluarkan isi hati. Belakang sekolah terasa horor, namun keduanya terlalu kelam untuk tempat ini. Hingga disekian detik, Shaka hanya bisa mengangguk dalam tunduk.

"Gue gak tau apa-apa, tapi kayaknya hubungan lo sama Papa lo gak baik," Shaka masih diam. Mungkin iya, mungkin tidak. Mungkin Papanya yang memang tidak pernah menganggapnya seorang anak.

"Gue Cuma mau bilang. Kita gak bisa berteman. Lo dan gue, kita kehalang tembok besar. Gue gak mau nyakitin Mama lo lebih dari ini, atau mungkin gue bisa aja nyakitin lo. sebagaimana lo ngelindungin keluarga lo, gue juga ngelakuin hal yang sama," ucap Mahen. Cowok itu menghela nafas sebelum melangkahkan kaki beranjak dari sana.

"Kalau gue...gue Cuma mau bilang, meskipun lo anaknya Miranda, Gue tau lo orang baik, dan gue masih selalu mau berteman sama lo."

Seolah tuli, Mahen justru terus melangkah meninggalkan belakang sekolah dengan langkah berat. Meninggalkan pemuda linglung yang tengah kehilangan dunianya sendiri. Mahen hanya tidak ingin menanggung beban orang lain karena bebannya sendiri sudah cukup berat.

Sekarang yang Shaka rasakan adalah sesuatu yang tidak dapat lagi ia deskripsikan. Rasanya hanya semua menghitam, dan dunianya sudah tamat. Dunianya bukan lagi taman yang diisi pepohonan rimbun dengan rumput hijau yang sehat, lalu kup-kupu dan burung berterbangan ke sana kemari. Ia kini hanya berjalan diantara puing-puing bangunan yang bisa tiba-tiba rubuh menghantam kepalanya.

Mungkin kini yang ia lalui bukan lagi sungai tenang dengan bebatuan kecil dan air sebening kristal. Sungainya kini sudah berupa jeram yang bila ia salah langkah akan membalikkan perahunya.

____________________________

Haechan Lee as Gibran

Aq si plinplan.

Btw pgn ceritaK. Seriusan aku tuh gak suka bgt sama cerita yg ada sakit kankernya. Ga tau, males aja. Tp ak malah buat cerita kek gini, soalnya aku punya plot yang lumayan buat ditulis. Wkwk. Jadi ya udah, ikutin arus aja nanti kayak Shaka.

Aku aplod ini lagi diperjalanan seriusan wgwgw.



Tue. Jul. 14
-HR 💜

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 40.5K 6
π˜Όπ™£π™œπ™šπ™‘ π™‡π™–π™‘π™žπ™¨π™– π˜½π™šπ™§π™©, wanita karir paling sukses di usia 24 tahun yang lama men-jomblo karena sifatnya yang 'sangat pemilih', namun tidak...
35.6K 3.6K 40
JASA atau singkatan dari Jevan, Agel, Savier dan Agam. Mereka adalah 4 sekawan yang tidak pernah terpisahkan sejak dalam kandungan. Bertengkar, berca...
33.4K 4K 21
Fares hanya seorang remaja berusia 17 tahun, yang memiliki mimpi dan keinginan sangat sederhana. Fares hanya ingin sang ayah tersenyum melihatnya kar...
SKY By β™‘

Fanfiction

102K 11K 32
Nyatanya memiliki enam saudara baru tidak membuat hidup Sky menjadi lebih bahagia. Atau, mungkin belum? #1 in Enhypen #1 in Yang Jungwon