Prepossess

By Faradisme

3.6M 470K 73.6K

Ini tentang arti dari menemukan di antara banyak kemungkinan. Tentang sebuah keputusan, yang menjerat tanpa... More

INFO : REPUBLISH
First Of All.
Prolog
Prepossess - 1
Prepossess - 2
Prepossess - 3
Prepossess - 4
Prepossess - 5
Prepossess - 6
Prepossess - 7
Prepossess - 8
Prepossess - 9
Prepossess - 10
Prepossess - 12
Prepossess - 13
Prepossess - 14
Prepossess - 15
Prepossess - 16
Prepossess - 17
Prepossess - 18
Prepossess - 19
Prepossess - 20
Prepossess - 21
Prepossess - 22
Prepossess - 23
Prepossess - 24
Prepossess - 25
Prepossess - 26
Informasi!
Prepossess - 27
Prepossess - 28
Prepossess - 29
Prepossess - 30
Prepossess - 31
Prepossess - 32
Prepossess - 33
Prepossess - 34
Prepossess - 35
Prepossess - 36
Prepossess - 37
Prepossess - 38
Prepossess - 39
Prepossess - 40
Prepossess - 41
Prepossess - 42
Prepossess - Tamat
Info Prepossess - Extra Part
INFO TERBIT DAN CARA PEMESANAN (HARAP DIBACA)
EBOOK PREPOSSESS

Prepossess - 11

94.1K 13.7K 2.3K
By Faradisme

Aku ingin percaya lagi. Merindu sekali lagi.
Merasa berdebar setiap kali menunggu pagi.
Ini bukan tiba-tiba, tapi mungkin benar apa kata mereka.
Jika patah hati, hanya bisa terobati dengan berani jatuh sekali lagi.

🔥

"Aku akan memeriksanya." Ronald dan Jack berjalan lebih dulu menuju sisi depan kafe, di mana suara pecahan kaca itu terdengar.

Sementara Romeo menggenggam tangannya, laki-laki itu menariknya mendekat. "Pastikan kau berada tepat di belakangku, Bella."

Bella mengangguk patuh, begitu pula ketika langkahnya bergetar mengikuti Romeo yang menyusul Ronal dan Jack.

Lampu yang sudah dimatikan membuat kafe terlihat remang karena hanya mendapat sinar cahaya dari lampu jalanan. Kursi-kursi membuat bayangan tegak lurus di lantai, begitu pun dengan kehadiran mereka di sana.

Bella menginjak pecahan kaca beling, yang rupanya sudah menyebar memenuhi seluruh lantai. Berasal dari kaca besar di sisi timur, yang kini sudah hancur berkeping-keping. Sebuah batu besar teronggok di antara beling mengkilap. Menjadi penyebab kekacauan di sana.

"Kau sudah pastikan tidak ada orang?" tanya Romeo. Suara laki-laki itu teredam karena Bella mendengarnya dari balik punggung tegap Romeo.

"Sudah," Jack menyahut. "Sepertinya ulah orang iseng." Lalu Jack memungut bongkahan batu.

Ronald mendekati jendela yang sudah menghembuskan udara langsung dari luar. Memeriksa apakah ada barang yang bisa tertinggal dari pelaku. "Tidak ada jejak. Seperti batu itu jatuh dari langit. Yang mana itu jelas mustahil."

"Si-siapa yang melakukan hal itu?" tanya Bella. Dan ketiga pasang mata laki-laki di sana menatapnya bersamaan.

Lalu selanjutnya semuanya terjadi sangat cepat. Seseorang melompat masuk lewat jendela dan langsung menyergap Ronald dari arah belakang. Lalu seseorang lagi keluar dari pintu toilet dan menghantam kepala Jack dari belakang.

Romeo langsung mendorong Bella mundur sampai ke pintu pembatas dapur dan kafe. "Masuk ke ruang ganti dan kunci pintunya dari dalam. Sekarang!"

Bella mundur berlari dan hampir tersandung meraih handle pintu ruang ganti. Setelah berada di dalamnya ia langsung mengunci pintu dan mundur dari sana hingga punggungnya menghimpit tembok.

Bella memeluk dirinya yang gemetar. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mungkinkah kafe ini sedang dirampok. Kalau benar begitu, Bella harus menelpon Polisi. Ia merogoh ponselnya dan mengerang frustasi karena baterainya habis. Ia tida memiliki pengisi daya dan tidak ada alat yang bisa ia gunakan untuk memanggil polisi.

Suara bantingan benda padat disusul pecahan kaca terdengar. Bella mengumpulkan tangannya di depan dada dan mondar-mandir memikirkan cara. Ia tidak bisa diam saja di dalam sini. Ia harus melakukan sesuatu.

Sebelum keberaniannya surut, Bella memutar kunci dan membuka pintu hati-hati. Keadaan dapur kosong seperti tadi. Ia tidak mau membuang waktu dan langsung menuju kantor Ronald. Untungnya dugaan Bella benar, karena ia melompat ke meja kerja dan menyambar telpon yang ada di sana.

Jarinya yang basah karena berkeringat menekan nomor lalu suara nada tersambung terdengar. Di hitungan ke lima seseorang menjawab dan menanyakan keadaannya.

"Terjadi perampokan di Kafe Para..."

"Di mana, miss?"

Bella meneguk ludah, mengakibatkan gerakan kecil di lehernya, yang sedang ditekan oleh sebilah pisau runcing yang tajam.

"Halo, miss. Apakah kau mendengarku?"

Ganggang telpon diambil dari tangan Bella lalu di kembalikan ke tempatnya. Membuat sambungan terputus tanpa sempat ia membuat laporan untuk memanggil polisi.

"Jangan terburu-buru anak manis." Seru laki-laki di samping Bella. "Kita masih punya banyak waktu."

"Si-apa kalian?"

"Kau ingin kita berkenalan rupanya. Tapi mari kita lewatkan bagian itu. Aku tidak tahu kalau di sini ada pegawai wanita. Apakah kau bekerja untuk memuaskan pegawai lainnya?"

Bella mencoba mundur, tapi tudingan pisau di lehernya juga mengikuti. Bahkan saat ini lebih menekan kulitnya. Sedikit saja dorongan yang diperlukan, maka pisau itu bisa menembus tenggorokannya.

"A-ku punya sedikit uang," Bella menunjuk ke arah pintu. "A-da di-dalam tasku."

"Aku akan mengambilnya nanti, setelah selesai bersamamu." Laki-laki itu maju. Menekan pisau hingga menciptakan lekukan di petemuan antara ujung runcingnya dan kulit Bella. "Jika kau tidak ingin lehermu robek, maka cukup turuti perintahku."

Bella mengerjap, yang menjadikan air matanya jatuh. Tubuhnya yang sekaku papan seperti tertancap di lantai, meski jantungnya bedegup tidak karuan. Di saat laki-laki itu menundukkan kepala ke arahnya, Bella terisak menutup mata.

Beberapa saat tidak ada yang terjadi sampai suara langkah kaki tedengar. Bunyi pukulan beradu. Bella membuka mata dan menemukan Romeo sudah mencekik leher laki-laki tadi dan mendorongnya ke dinding di dekat pintu.

Terlihat jelas jika laki-laki yang menodongnya tadi tidak bisa bernapas. Kedua matanya melotot hampir keluar, dan mulutnya terbuka lebar. Sedikit demi sedikit kakinya berjingkit, karena Romeo yang terus mendorongnya naik.

Kedua tangan laki-laki itu memukul-mukul lengan Romeo yang kokoh. Cengkraman kuatnya terlihat mengerikan. Laki-laki itu mencoba mengeluarkan kalimat, tapi air liurnya yang justru menetes.

"Romeo," panggil Bella seraya mendekat. "Sudah, cukup."

Meski masih takut dengan kejadian tadi, Bella tidak mau melihat wajah laki-laki itu dan hanya menatap punggung Romeo.

Ronald dan Jack datang dengan wajah yang lebam. Keduanya menghela napas melihat Romeo hampir membunuh seseorang.

"Sudah, lepaskan dia, Romeo." ujar Ronald. "Kau tidak mungkin ingin membunuhnya, bukan?"

"Aku tidak akan menghalanginya." Cetus Jack yang menekan perutnya, lalu duduk di kursi. "Silakan lanjutkan."

Wajah laki-laki penodong tadi sudah hampir berubah biru. Bella menyentuh lengan Romeo. "Romeo, hentikan. Jangan lakukan ini. Kau tidak boleh membunuhnya." Tentu saja Bella tidak ingin Romeo melakukan hal bodoh. Ini adalah masalah yang harus di selesaikan polisi.

Melihat tidak ada gerakan mundur dari Romeo, maka Bella menarik lengan laki-laki itu. "Romeo, sudah. Cukup. Aku mohon berhenti."

Setelah itu Romeo membiarkan Bella menariknya menjauh. Membuat laki-laki tadi terjatuh dan terduduk lemas memegangi lehernya. Mengambil napas cepat-cepat seperti ikan yang dikeluarkan dari air.

Romeo tidak menatapnya sama sekali. Laki-laki itu hanya memposisikan dirinya berada di belakang seolah menutupi.

"Pergi dari sini." desis Romeo. "Dan jangan suruh aku menghitung."

Laki-laki tadi yang sudah mendapatkan kekuatan segera bangkit lalu tergopoh-gopoh berlari keluar. Meninggulkan ruangan kantor Ronald yang kini dikepung oleh sunyi.

"Kau tidak apa-apa Bella?" tanya Ronald. "Aku sangat menyesal kau harus terlibat dalam hal ini."

"A-aku baik-baik saja."

"Seharusnya kau pulang sejak tadi, Bella." Sambung Jack. "Siapa yang membuatmu tetap di sini?"

"Okay, fine!" Ronald mengangkat tangannya. "Aku bersalah. Aku menyuruh Bella menghitung pasokan bahan."

"Memang!"

"Kau sangat senang saat aku salah, keparat."

"Kau hampir membuat Bella terluka." Jack semakin menyulut api. "Coba bayangkan apa jadinya jika kita melawan babi-babi di luar tadi lebih lama dan terlambat masuk ke sini. Mungkin kita akan melihat Bella tergeletak di lantai bersimbah darah dan—"

"Diam!" teriak Romeo yang dari tadi diam. "Aku mengerti maksudmu Jack jadi tutup mulut sialanmu."

"Padahal aku sedang bicara dengan Ronald," Jack menyugar rambutnya. "Tapi baguslah kalau kau mengerti."

Di antara Ronald yang tersenyum minta maaf padanya, Jack yang memaki lukanya, juga Romeo yang tidak mau menatapnya, Bella tahu hanya dirinyalah yang tidak mengerti apa yang sudah terjadi di kafe malam ini.

Bella pulang bersama Romeo. Laki-laki itu memaksa dengan satu kalimat singkat dan tidak ada celah yang memungkinkan Bella untuk menolak. Di dalam lift yang membawa mereka ke lantai lima, seperti berjalan sangat lambat karena turut diiringi sunyi berkepanjangan sejak tadi.

Pintu lift terbuka di lantai tiga. Romeo refleks merentangkan tangannya di depan Bella. Seolah akan ada bom di luar sana. Tapi hanya ada Tomi yang sedang menenteng kantong berisi makanan menatap mereka sesaat sebelum masuk bergabung di dalam lift.

"Aku ke lantai satu. Tapi tidak masalah, aku akan menemani kalian naik dulu." katanya tersenyum riang. "Hi, Bella. Kita bertemu lagi.

Bella tersenyum kecil.

"Jadi kalian bekerja di tempat yang sama?" Tomi memperhatikan seragam mereka. "Kafe Paradise? Di mana itu? Apakah jauh dari sini? Di sana ada menjual minuman? Bolehkah aku mampir? Aku bisa membawa banyak teman ke sana dan pasti membayar."

Pertanyaan itu hilang termakan angin. Tomi kembali bicara. "Kalian baru saja terlibat perkelahian? Wajahmu baik-baik saja, Romeo? Agak sedikit aneh karena aku harus mengakui kau bahkan masih terlihat memukau dengan luka-luka itu."

Pintu lift terbuka di lantai lima. Saat itulah Romeo menarik Bella keluar meninggalkan Tomi yang dipenuhi dengan keingin tahuannya.

Romeo meminta kuncinya. Laki-laki itu membukakan pintu dan mempersilakan Bella masuk lebih dulu. Namun ternyata Romeo menutup pintu apartemen Bella dengan dirinya berada di dalam.

Sejak Romeo menolongnya tadi, baru saat inilah laki-laki itu menatapnya. Dan Bella harus menyetujui apa yang dikatakan Tomi tadi soal memukau. Sekilas tatapan Romeo meneliti Bella dari kepala hingga kaki. Mencari apakah ada segores luka di tubuhnya.

"Aku baik-baik saja, Romeo. Berhenti menelitiku dengan mata tajammu itu." kata Bella meletakkan tas di sofa. Bella menuju dapur dan membawa sbaskom air hangat juga kotak obat "Dia tidak sempat melakukan apa-apa karena kau sudah lebih dulu masuk dan mencekik lehernya."

Romeo masih diam. Berdiri bak patung yunani yang kesepian.

"Kenapa tidak melaporkan mereka ke polisi?" pertanyaan itu sudah dari tadi ditahannya. Belum lagi kondisi kafe yang rusak dan pasti membuat kerugian bagi Ronald.

Romeo memilih duduk di sofa dan merebahkan kepalanya di sandaran. Bella bergabung di sebelah laki-laki itu.

Bella mencelupkan kapas ke air hangat, dan ingin membersihkan luka baru akibat perkelahian tadi di wajah Romeo. "Kalau mereka kabur, siapa yang bertanggung jawab atas kerugian kafe?"

Romeo menahan tangannya sembari menegakkan kepala. "Sungguh? Itukah yang kau pikirkan?"

Bella merasa baru saja mengatakan hal yang salah.

"Beberapa saat yang lalu lehermu bisa saja putus. Dan yang kau khawatirkan sekarang adalah kerugian kafe?" Romeo mengusap wajahnya dengan dua tangan.

"Karena kafe masih sepi. Dan musibah ini.."

"Lalu kenapa kau berada di ruangan Ronald!" Romeo mencondongkan tubuhnya. "Aku sudah begitu jelas menyuruhmu masuk ke ruang ganti dan mengunci pintu. Apakah itu hal yang sulit kau lakukan?"

"Aku tidak bisa diam saja di sana saat kalian di luar berkelahi."

Romeo membuang napas kasar.

"Aku ingin menelpon polisi lewat telpon di ruangan Ronald karena ponselku kehabisan daya. Jadi,..."

"Tetap saja itu tindakan bodoh."

"Aku hanya ingin membantu."

"Nyatanya kau tidak membantu sama sekali. Bayangkan apa yang bisa terjadi jika aku tidak datang tepat waktu. Mungkin kau tidak bisa menyesali pikiran bodohmu itu karena nyawamu sudah hilang. Ya Tuhan, Bella." Romeo mengusap wajahnya lagi kali ini dua kali.

Bella meremas ujung roknya dan berdiri. "Kalau kau di sini hanya untuk memojokkanku, sebaiknya kau keluar."

Romeo mendongak menatapnya. Lama. Pupil mata laki-laki itu mengecil dan Bella penasaran apa yang sedang dipikirkan Romeo.

"Kemarilah." Romeo menarik Bella kembali duduk. Laki-laki itu mengambil kapas baru dan mencelupkannya ke dalam air hangat. "Angkat dagumu."

Bella tidak mengerti. Sampai Romeo yang menyentuh dagunya dan mendorong naik sampai wajahnya menghadap ke atas. Sesaat kemudian sapuan lembut dan hangat dirasakan Bella di lehernya sebelah kiri. Tempat di mana pisau tadi mendarat.

Bella menurunkan tatapannya. "Ada apa?"

Romeo mengganti kapas dengan yang baru dan mengambil cairan antiseptik. "Lehermu tergores." Katanya lembut dan tenang.

Bella menundukkan kepala. "Yang benar! Aku ingin melihatnya."

"Belum selesai." Romeo kembali menyentuh dagunya. "Lihatlah akibat tindakanmu."

"Bukan aku yang menggores leherku sendiri."

"Tapi kau memberi kesempatan itu. Kau selalu ceroboh."

"Excuse me?"

"Kau bahkan bisa terjatuh di jalanan yang mulus."

Bella mengutuk dalam hati karena tidak bisa mendebat hal itu. "Apakah goresannya dalam?"

"Untungnya tidak."

Bella tetap mendongak agar memudahkan Romeo mengobati lukanya. Dan mempertahankan itu sungguh tidak terlihat mudah seperti yang dipikirkan. Sesekali napas Romeo mengenai lehernya. Dan wajah laki-laki itu benar-benar dekat dengan lehernya.

Jika Sandra ada di sini sekarang, Bella tahu apa yang akan diteriakkan wanita itu.

Romeo menutup lukanya dengan plester luka sebagai langkah terakhir.

"Sudah?" tanya Bella.

"Hmm."

Bella pun menunduk dan tatapannya langsung terpaku pada Romeo yang sama sekali tidak bergerak mundur. Menjadikan wajah keduanya begitu dekat. Sesaat yang mungkin berlangsung sedikit lebih lama, membuat keduanya saling memandang dalam diam tanpa ada yang ingin menginterupsi.

Semakin lama Bella menyelami sepasang mata teduh namun tajam itu, semakin Bella menyadari jika tidak lama lagi ia akan tenggelam di sana. Mungkin sebagian dirinya sudah mengapung dan siap terjatuh dalam kubangan hitamnya kapan saja.

Romeo menumpukan tangannya di samping paha Bella. "Aku tidak suka kau terluka."

Bella menelan air liurnya perlahan.

"Kalau kau memang takut padaku, maka pastikanlah itu tidak terjadi lagi. Laki-laki tadi sangat beruntung. Karena nanti, aku tidak bisa mencegah siapapun lagi menghentikanku."

Ini adalah pertama kalinya Bella mendengar sebuah bentuk perhatian namun sekaligus terdengar seperti ancaman.

"Kau pun beruntung, Bella," Romeo meniup luka di lehernya. "Karena aku belum harus mengikat tanganmu agar kau berhenti bertindak gegabah."

Bella merinding.

Juga sesuatu di perutnya meremang.

Sialan.

🔥


"Apakah baru saja terjadi perampokan di sini?"

"Hampir."

Sandra yang datang dengan kulit kecoklatan tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. "Sejak kapan kau bekerja di sini?"

Kafe hari ini tutup karena jendela yang rusak harus diperbaiki. Namun ia tetap datang kalau-kalau ada yang memerlukan bantuannya. Kenyataannya justru Ronald, Jack, dan Romeo juga datang ke kafe.

"Baru saja."

"Dan kau tidak menceritakan padaku tentang ini karena kau bekerja bersama tetangga paling tampan dan seksi yang pernah ada di muka bumi?"

Bella menendang kaki Sandra di bawah meja. "Memang seharusnya aku tidak membiarkanmu datang ke sini."

Sandra mengangkat gelasnya dan meminum kopi yang tidak disukainya itu hanya untuk membuat Bella tertawa. "Wah... nikmatnya."

"Kau bisa menungguku di apartemen. Aku tidak akan lama."

Sandra menggeleng. "Lihatlah. Mengapa dia bisa terlihat setampan itu. Maksudku, aku tidak pernah menyangka dia bekerja di sebuah kafe kecil seperti ini. Apakah masuk akal? Seperti semua gerakan yang dilakukannya adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang lain. Sangat elegan, dan sexy dalam kalimat yang sama."

Bella tidak mengerti apa yang dikatakan sahabatnya itu sampai Sandra menunjuk dengan pandangan ke arah belakang bahunya. Pada sosok Romeo yang sedang bicara dengan Ronald dan juga Jack.

"Aku sangat tidak mengerti mengapa Tuhan memberinya tampang rupawan," dengan bertopang dagu Sandra melanjutkan. "Juga kepribadian yang buruk. Bukankah itu menyebalkan."

"Kupikir kau baru saja mengatakan merindukanku, tapi kau membahas dia."

Sandra tergelak. "Kau sangat pencemburu. Nah, aku tidak menyangka kau juga bekerja di sini. Ceritakan."

Bella mulai menceritakan tentang rentetan email yang dikirimnya untuk mendapatkan pekerjaan, yang tidak menghasilkan balasan apa-apa dan membuatnya ketakutan harus kembali ke rumah.

"Karena Petty memberikan kueku ke Ronald. Kurasa mulai dari sanalah yang membuatku bisa bekerja di sini."

"Ah, Petty," Sandra tersenyum lebar. "Tentu saja wanita itu akan sangat merepotkan jika sudah memaksa. Dia sangat baik sampai aku bingung harus membalas yang mana dulu. Dan sangat mengidolakan Romeo," Sandra bersandar dengan tangan terlipat. "Aku kasihan padanya karena harus terjebak dengan perasaan pada seseorang yang tidak memiliki perasaan."

Bella menyampirkan rambut ke belakang telinga. "Tapi sepertinya mereka serasi. Lagipula mereka tidak mungkin berpacaran jika tidak memiliki perasaan yang sama."

Sandra melihatnya beberapa saat, dahi wanita itu berkerut pertanda ia sedang berpikir keras. "'Maksudmu, Petty dan Romeo berpacaran?"

Mengikuti kebingungan Sandra, Bella menganggukkan kepala.

"Mereka yang mengatakannya?"

Bella memutar ulang ingatannya dan menggeleng karena tidak menemukan jawaban. "Tidak. Memangnya kenapa?"

"Entahlah," Sandra menilik ke arah belakang bahu Bella sebelum melanjutkan dengan suara lebih pelan. "Petty memang mengidolakan Romeo. Seluruh penghuni apartemen mengetahui itu. Tapi semuanya juga tahu kalau Petty sudah memiliki pacar, dan orang itu bukan Romeo,"

Bella melebarkan matanya.

"Aku tidak tahu apakah ada perubahan dengan hal itu selama aku pergi. Entah Petty masih berpacaran atau tidak. Tapi melihat watak Romeo, aku rasa dia tidak akan berubah pikiran dengan mudah setelah selama ini mengabaikan Petty."

Jika benar Petty dan Romeo tidak ada hubungan, mungkin laki-laki yang dilihat Bella tempo hari adalah pacar Petty.

"Bagaimana kau bisa menyimpulkan mereka berpacaran?" Sandra terlihat sangat tertarik.

"Pertama kali aku datang... a-aku melihat mereka... berpelukan."

Sandra membentuk mulut dengan huruf O tanpa suara, karena setelahnya sebuah piring berisi kue coklat berhias strawberry disajikan di atas meja.

"Hai, Romeo," Sandra bersidekap. "Semoga kau masih mengingatku."

"Sandra." Kata Romeo, bermaksud menyapa.

"Wah, aku terkejut kau mengenaliku," Sandra melihat kue itu dan Bella bergantian. "Tapi aku tidak memesan ini."

"Sebagai bentuk perkenalan Kafe." Kata Romeo tanpa ekspresi. "Ini dibuat Bella kemarin. Tapi tetap terjaga kualitasnya karena di simpan dengan baik."

"Okay, baiklah. Sungguh jika itu buatan Bella aku sama sekali tidak meragukannya." Sandra tersenyum menyelidik ke arah Bella.

Romeo memegang sandaran kursi Bella. Aroma parfum laki-laki itu menggelitik penciumannya. Wangi yang serupa seperti yang dihirupnya ketika Romeo meniup lehernya.

"Hari ini kau sibuk?" tanyanya.

Pertanyaan yang membuat satu alis Sandra terangkat. Bella mendongak menatap laki-laki itu yang membungkukkan sedikit tubuh ke arahnya.

"Sepertinya tidak ada," Sandra yang menyahut. "Bella tidak memiliki rencana, aku baru saja menanyakan hal itu padanya sebelum kau datang."

Bella membulatkan mata sebagai tanda peringatan, tapi Sandra justru mengirimkan senyum godaan padanya.

"Bagus." Kata Romeo.

"Apa?" Sandra memutuskan untuk lebih menyebalkan dari biasanya. "Bagus? Hanya itu? Kau benar-benar hanya bertanya saja?"

"Tidak," Romeo berdiri tegak, lalu menyentuh puncak kepala Bella sambil lalu. "Aku akan menunggumu di parkiran"

Tidak perlu waktu lama setelah punggung tegap Romeo menghilang, Sandra memajukan tubuhnya dengan aura penasaran yang tidak terbendung. "Apa yang sudah terjadi di antara kalian?"

"Apa yang barusan kau katakan?"

"Aku hanya menjadi juru bicara. Karena kau terlihat seperti kehilangan lidah dan tidak bisa menjawab, jadi aku membantumu."

Sandra tidak membantunya sama sekali.

"Aku juga tidak tahu kalau kalian ternyata dekat."

"Ti-dak."

"Tidak salah lagi?"

"Sampai aku mengetahui apa hubungan Petty dan Romeo, maka aku tidak akan membiarkan ada hubungan apapun di antara kami."

"Sudah ditetapkan," Sandra beringsut maju dengan semangat hingga meja terdorong sedikit. "Kau benar-benar sudah terpikat oleh Romeo."

"Mak-sudku," Bella menyampirkan lagi rambutnya ke belakang telinga. Sesuatu yang tidak disadari ia lakukan ketika gugup. "Ti-dak seperti itu. A-aku tidak t-tahu ini apa."

"Dan kau tergagap." Senyuman Sandra semakin lebar. "Kau hanya melakukannya saat gugup."

"Sandra," Bella merasa ketahuan tentang perasaannya. "Kumohon."

Sandra tertawa. Wanita itu sangat menikmati setiap Bella merasa gugup seperti sekarang. "Untuk pertama kalinya Romeo menyebut namaku. Bahkan itu kalimat terpanjang darinya yang pernah aku dengar selama menjadi tetangganya dulu. Astaga apa-apaan itu. Suaranya membuatku hampir melupakan Joseph."

Joseph adalah kekasih Sandra.

"Berhentilah membicarakannya." Bella sudah cukup pusing karena membiarkan laki-laki itu berada di kepalanya.

Dengan senyuman lebar Sandra mengambil satu gigitan kue. "Bella, kurasa kau benar-benar dalam masalah besar yang sangat tampan."

🔥
Haloo... 🥰

Apa kabarmu?
Semogaku selalu mau kalian baik-baik saja. Meski kadang enggak, itu bukan masalah. Itu hal wajar untuk setiap orang. Semua masalahmu akan berlalu, selama kamu mau berjalan maju melewatinya.

Gimana? Suka part ini? 😁

Aku mau sedikit bertanya, gimana kesan kalian membaca cerita ini sampai sekarang?

Karena jujur, aku selalu merasa capek sekaligus lega nulis ini. Aku gatau kenapa, tapi sosok Romeo di sini bikin aku deg-degan tiap saat. Tapi setelah berhasil menyelesaikan tiap partnya, aku merasa lega.

Oh iya, membaca komentar-komentar kalian juga. Itu bikin aku seperti merasa nggak sendirian. Merasa kalian dekat, kayak teman yang juga menikmati apa yang senang kulakukan.

Terima kasih banyak, ya 🥺
Terima kasih karena masih menunggu
Terima kasih karena selalu ada

Faradita
Penulis amatir, 💜


Makin ke sini aku makin kesulitan cari gambar buat Romeo.
Kalo boleh tahu, siapa Romeo yang kalian bayangkan selama ini? 😁

Ayo senyum mau dipoto 😋

Revisi : 17 September 2021 jam empat pageee wkwkwkw

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 129K 25
Tentang mereka yang berusaha untuk saling menjauh, dan tentang mereka yang berusaha untuk saling melupakan. Copyright © 2016 by YustikaM
884K 70.3K 37
"We all have secrets we'll never tell anyone." ••• Kiara trauma akan acara ulang tahun. Ada sebuah kejadian di masa lalu yang membuatnya begitu takut...
230K 25.8K 38
[completed] \ˈsē-nyər \ a person with higher standing or rank. "lee minho yang kalian kenal berbeda dengan lee minho yang aku kenal" - han jisung...
6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...