[πŸ”›] Semanis Madu dan Sesemer...

Galing kay vocedeelion

400K 42.4K 10.5K

"SEMANIS MADU DAN SESEMERBAK BUNGA-BUNGA LIAR" Terjemahan Indonesia dari cerita MarkHyuck terbaik: "Honeymout... Higit pa

Disclaimers
Honeymouthed and Full of Wildflowers Playlist
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI
XXXII
XXXIII
XXXIV
XXXV
XXXVI
XXXVII
XXXVIII
XXXIX
XL
XLI
XLII
XLIII
XLIV
XLV
XLVI
XLVII
XLVIII
πŸŽ‰ BIRTHDAY GIVE AWAY πŸŽ‰
XLIX
XLIX (Deleted Scene)
πŸŽ‰ 3K FOLLOWERS GIVE AWAY πŸŽ‰
L
LI
LII
LIII
LIV
LV
LVI
LVII
LVIII
LIX

XIII

9K 915 181
Galing kay vocedeelion

= BAGAI FAJAR YANG AKAN MEKAR, AKU IRI PADA CAHAYA YANG MENYENTUH PIPIMU =

•••

Playlist: Honey Whiskey - Nothing But Thieves; Send Them Off! - Bastille

.

.

.

Suara lonceng Kuil Dawyd bergema untuk yang terakhir kali hari itu. Pukul dua belas tengah malam, tanda bahwa jam malam sudah mencapai kota. Siapa pun yang didapati berada di jalanan oleh petugas malam di jam itu, harus menghabiskan waktu satu minggu sebagai buruh pekerja paksa, membetulkan tembok batu atau membersihkan saluran pembuangan air, sebagai pelunasan utang mereka terhadap hukum raja. Jalanan ibu kota akan dibiarkan hening dan sepi hingga bel berbunyi lagi; enam jam masa pengamanan, enam jam istirahat.

Namun di istana, tidak ada yang bisa mendengar bel malam, mereka hanya akan mendengar bel ketika fajar. Di dalam aula, satu-satunya suara yang terdengar di waktu larut seperti ini hanyalah seruan keras yang datang dari lantai dansa manakala lagu mencapai akhir. Para penari berpisah dan secara bergerombol mendekati meja-meja, meraih sejenak waktu untuk mengatur napas, sementara pemain musik mengatur kembali instrumen mereka. Seorang penyanyi melangkah ke hadapan para pemain orkestra dalam balutan gemulai gaun merah, mengangkat ujungnya menggunakan dua jari ketika ia, juga, mengatur instrumennya. Ia mengatur nada, sebelum mengeluarkan suara jernih, yang kemudian diikuti oleh iringan manis pemain orkestra. Mark mengenali lagu itu sejak lantunan pertamaㅡbukan berarti ia mengharapkan lagu yang lain, sebab Jaehyun kini berada bersama mereka.

A Blizzard on the Clairs adalah alun nyanyian yang menceritakan gerakan besar Kekaisaran Selatan, yang tentaranya melewati perbatasan Condor Peak untuk menginvasi Lembah empat tahun lalu. Serbuan yang tak terbendung tersebut, bagaimanapun juga, dapat dihentikan, oleh seorang kapten muda, yang baru menginjak usia tujuh belas tahun, putra dari Raja Laut. Ayunan tanggas pedang, ayunan tanggas pikiran, si penyanyi melantunkan. Ia memimpin pasukan melewati celah dan puncak Clairs, jajaran pegunungan yang membatasi Lembah dengan Kekaisaran, di tengah badai salju. Mereka mengintai tentara Kaisar dari belakang, dengan sergapan yang ditutupi tirai tebal putih salju, dan mengalahkan tentara Kaisar. Si kapten muda berhasil menaklukkan pangeran kedua dalam sebuah duel, dan membawanya menuju ibu kota sebagai seorang tahanan, menyelamatkan kerajaan. Sejak hari itu, pasukannya dinamakan Prajurit Bersayap, dan Yoonoh, putra sulung Tuan Jung dari Tanjung Conk, yang telah mengorbankan keluarga dan namanya, demi menjadi tentara Lembah, pun diberi nama Jaehyun dan menjadi pahlawan nasional.

"Dia bahkan lebih tampan daripada yang diceritakan."

Mark bergumam dengan enggan, kembali menyecap wiski dan bertukar pandang dengan teman minumnya. Terlepas dari pandangan lapar yang ia layangkan pada Jaehyun, Jeno tampak sedikit kacau, nyaris kesal. Rompi biru gelap membuatnya tampak lebih pucat, namun alkohol menghiasi pipinya dengan semburat merah.

"Kami juga bernyanyi tentangnya, tahu?" ucap Jeno, sedikit mencibir. "Kapten Jaehyun dari Lembah Raksasa. Tidak ada yang lebih indah dari A Blizzard on the Clairs. Donghyuck akan mendengarkannya selama berjam-jam. Demi Dewi, kurasa dia bisa mengingat seluruh liriknya. Dia selalu termenung dan mengingat saat-saat dia melarikan diri dan bertemu Jaehyun di pantai Tanjung Conk."

"Apa itu benar-benar terjadi?" tanya Mark di antara gigi yang merapat, mencoba tidak melayangkan delikan pada bagaimana Jaehyun memutar Donghyuck di lantai dansa dan gagal dengan menyedihkan. Wiski terayun dalam gelasnya, menangkap cahaya-cahaya lilin. Rasanya membakar tenggorokan Mark ketika ia pertama kali meminumnya, namun kini rasanya nyaris manis, sangat tidak seperti kalimat lanjutan Jeno.

"Oh, benar. Aku di sana ketika pembawa pesan datang dan mengatakan Donghyuck berada di salah satu kapal yang datang dari Lembah. Aku bahkan ikut dihukum bersamanya, sebab aku melindungi pantat sialannya sedari awal dia mencuri kapal."

Di sisi lain ruangan, Donghyuck tertawa dan nyaris terjatuh, dan Jaehyun melingkarkan tangan dengan protektif di tubuh lelaki itu, menggelengkan kepala sebelum menuntunnya meninggalkan lantai dansa. Mark memperhatikan Jaehyun memanggil pelayan, mungkin untuk meminta segelas air. Ia nyaris bisa membaca pergerakan di bibirnya, Pangeran Permaisuri pasti minum terlalu banyak, kemudian, senyum berlesung pipit. Ia membenci ayahnya sebab menugaskan Jaehyun bagi Donghyuck, ia membenci Jaehyun sebab tidak bisa menolak, dan ia membenci Donghyuck sebab terpana pada si pahlawan Lembah.

Jeno menyadari tatapannya dan terkekeh, sedikit mabuk, sedikit sedih. Secara tidak biasa, ia bersikap menyebalkan. "Donghyuck pernah sangat menggilainya, kau tahu? Dia bilang dia akan memacarinya kalau saja belum bertunangan."

Mark meletakkan gelasnya dan bangkit, mengejutkan; baik dirinya sendiri dan Jeno, yang menatapnya dengan mata besar dan ketakutan.

"Aku hanya bercanda, Yang Mulia... Dia tidak benar-benar menyukai...."

Mark seharusnya tetap di situㅡia punya sesuatu yang harus ditanyakan pada Jeno, sesuatu yang bahkan Donghyuck sendiri tidak bisa katakan padanya, sesuatu yang tidak akan Jeno beberkan selagi sadar. Dan tidak setiap hari ia bisa mendapati sahabat suaminya tengah sendirian dan mabukㅡtetapi ia melihat Donghyuck sedikit terhuyung dan mengistirahatkan kening pada pundak Jaehyun, dan Mark sadar bahwa sudah saatnya untuk melakukan intervensi.

"Mari, Jeno," ucapnya, meraih gelas wiski dari tangan Jeno dan meletakkannya di sisi jendela, menarik si pemuda berdiri sesaat setelahnya. "Kau harus membawa suamiku kembali ke kamar kami."

"Dia tidak pernah benar-benar menyukainya," ulang Jeno. "Jaehyun adalah seorang alpha, Donghyuck sadar mereka tidak akan bisa cocok... Lagi pula, dulu Donghyuck masih jatuh cinta pada...."

Jeno tidak mampu menyelesaikan kalimatnya, sebab Mark mencengkeram pergelangan tangannya dengan erat, nyaris meninggalkan memar.

"Jeno, kalau kau bisa lebih sopan, berhentilah bicaraㅡdemi Tuhan. Ada banyak orang di sini. Pergi ke sana dan bawa Donghyuck ke atas, mengerti?"

Jeno tampak berada di ambang keinginan untuk protesㅡhaknya pula untuk berlaku demikian, Mark bukan rajanya, dan pemuda itu tidak bisa memberi perintah dengan seenaknya. Namun, sesuatu dalam kepalanya berubah jernih dan ia mengangguk, sedikit gemetar, sedikit merasa ngeri atas sesuatu yang nyaris ia katakan. "Ya. Ya, Yang Mulia," gumamnya.

Mark berusaha menahan diri untuk tidak minum lebih banyak ketika Jeno melangkah ke arah Jaehyun dan Donghyuck, membungkuk untuk membisikkan sesuatu ke telinga Donghyuck. Donghyuck menoleh untuk melayangkan tatapan tajam ke arah Mark, kemudian membungkuk pada Jaehyun dan mengikuti Jeno keluar dari ruangan tersebut. Mark kembali mendudukkan diri pada kursi. Suaminya tidak tampak cukup senang ketika dipaksa pergi.

Seorang pelayan mengambil gelas kosongnya dan menawarkan gelas yang penuh. Mark akan dengan senang hati meminum lebih banyak, namun kepalanya sudah terasa berputar saat ini.

Ketika mendongak, ia melihat Jaehyun tengah menyusun langkah ke tempatnya, berbalut seragam kapten berwarna hijau dan perak, dengan rambut ikal dan senyuman bersahabat. Mark jelas membutuhkan lebih banyak alkohol.

"Kau bahkan tidak menghampiriku untuk sekadar menyapa, Yang Mulia. Aku tersinggung."

"Aku memutuskan untuk membiarkan seluruh istana untuk menemuimu lebih dulu," ucap Mark, mengedikkan bahu. Ia memerintahkan pelayan untuk kembali menghampirinya. "Semua orang menantikan kepulanganmu."

"Tapi sahabatku tampaknya tidak cukup senang aku kembali."

"Maksudmu Dongyoung, atau aku?"

Jaehyun meringis akan itu. "Apa dia masih semarah itu? Ini sudah berbulan-bulan."

"Jangan lihat aku. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi di antara kalian."

"Dia tidak memberitahumu?" Jaehyun bergumam, sedikit terkejut. Ia memindai kerumunan, mungkin mencari-cari Dongyoung, namun tiada hasil. Dongyoung telah pergi, bahkan sebelum kedatangannyaㅡdan bagaimana ia bisa mengetahuinya pun berada di luar kendali Mark, namun bekerja sebagai Menteri ada untungnya, bagaimanapun juga.

"Aku tidak pernah bertanya. Aku tidak mau memihak siapa pun."

Jaehyun membuang napas. Untuk sejenak, ia tampak kecil bagi tungkai-tungkainya yang panjang, pundak lebar serta tangan yang besar, begitu gesit dalam menggunakan pedang. Mark sudah tak mampu menghitung berapa kali Jaehyun mengalahkannya, dengan cara yang sangat mudah, bahkan Donghyuck pun tidak mampu tiru. Sayangnya, segala yang Dongyoung butuhkan untuk mengalahkan Jaehyun hanyalah satu lirikan mata.

"Omong-omong, selamat atas pernikahanmu," ucap Jaehyun sambil tersenyum. "Suamimu sungguh tampan malam ini. Dia sudah besar... Ingat ketika dia masih sebesar belalang dan menjerit ke arahmu untuk menerima tantangannya?"

Oh, Mark ingat. Ia mengingatnya lebih baik dari siapa pun. Ia mengangguk sambil bersungut.

Jaehyun masih tersenyum, tidak ada jejak kegelapan di wajahnya. Mustahil untuk membenci Jaehyunㅡpemuda itu terlalu baik, terlalu tampan, terlalu adil, baik dan sempurna, sebagaimana dongeng tentang pahlawan yang menjadi nyata, hidup dan bernapas, tak terjamah, begitu berharga. Namun Mark tetap membencinya, sebab ia terlihat sangat pantas di sisi Donghyuck, yang mana merupakan pemandangan menyakitkan, dan Jaehyun bahkan tidak melakukannya dengan sengaja.

"Apa ayahku memberi tahu alasan dia menarikmu pulang?" tanya Mark, meninggalkan pertanyaan Jaehyun tanpa jawaban.

Jaehyun berkedip, bingung. Ia menggelengkan kepala.

"Tidak, aku hanya tahu kalau ada urusan yang mendesak. Kau tahu, kan?"

Mark mengangguk.

Kau di sini untuk menguji kepatuhanku. Dan juga kepatuhanmu, tentu saja.

Bidak. Mereka semua adalah bidak dalam permainan sang raja. Namun tetap saja, yang terkuat di atas papan catur bukanlah raja, melainkan ratu.

Donghyuck tidak menyebut Mark sebagai bidak, ia menyebutnya raja. Rajanya. Lalu, apa posisi Donghyuck? Apa mereka semua adalah bidak di atas papan catur Donghyuck, atau bidak putih yang siap bertempur dengan bidak hitam? Wiski tidak lagi terasa membakar. Rasanya berubah manis dan semakin manis. Nyaris seperti madu. Madu dan api.

Mark menoleh pada Jaehyun, memperhatikan cahaya lilin keemasan yang terpantul di rambut pemuda itu.

"Kau di sini karena ayahku merasa terancam oleh suamiku."

***

Ruangan diisi oleh kegelapan dan bisikan lembut. Dunia dipenuhi mimpi yang berkabut dan malam yang memabukkan. Ujung tatapan Mark bersinar dalam cercah pelangi, sebagaimana cahaya yang terserap dan memantul pada gelembung dan kemilau minyak yang menutupi air setelah Donghyuck mandi.

Jeno bangkit segera setelah Mark memasuki kamar. Cepat, tetapi tidak cukup cepat, sehingga Mark mampu melihat betapa dekat posisi duduknya dengan Donghyuck; jemari mereka bertaut, rambut hitam gelapnya bersisian kontras dengan rambut keemasan Donghyuck, dengan bibir terbuka, membisikkan sesuatu di telinga Donghyuck. Mark tidak bisa menahan suara yang lolos dari tenggorokannyaㅡberabad-abad lalu, suara itu berupa geraman, dan mungkin pun sekarang masih, dengan tubuh berubah liar, insting berlari sama liarnya, terpeleset keluar dari garda kerasionalitasan, terlebih dengan bantuan alkohol.

Mark berusaha mendelik, berusaha menemukan pedangnya. Seisi ruangan terasa goyah dan bergelimpangan di sekitarnya.

"Lihatlah si bodoh ini." Ia mendengar Donghyuck berujar, lidahnya berdecak, tanpa ampun dan kesal.

"Kau tidak dalam kondisi yang lebih baik ketika kita memasuki ruangan ini," balas Jeno, dan mengapa ia masih di sini? Mengapa ia belum pergi? Ini bukan kamarnya, ia tidak seharusnya, tidak seharusnya....

"Jeno di sini karena kau menyuruhnya membawaku kembali, Mark," ucap Donghyuck pelan. Ia berlutut di samping Markㅡkapan ia terjatuh?ㅡdan menangkup wajahnya dengan tangan yang dingin.

"Pergi, Jeno," Donghyuck berbisik. "Aku harus mengurus si bodoh ini."

Ya, pergi, Jeno. Akhirnya. Suara pintu yang tertutup bergema dalam benak Mark, bagai suara batu besar yang digeser oleh raksasa di jalan masuk gua, di mana ia menyembunyikan para budak putrinya. Dongeng, tidak lebih dari sekadar dongeng, dongeng tentang elang emas dan burung perak, tentang raja berhati singa, tentang serigala, tentang kutukan dan menara raksasa. Mark memejamkan mata, membiarkan Donghyuck membantunya berdiri dan menggiringnya menuju ranjang.

Ia jatuh, wajah lebih dulu, ke atas ranjang, lalu mendengar Donghyuck mengerang, "Ayolah, Mark. Berbalik." Ia terkekeh, berusaha menahan posisi ketika Donghyuck menarik sisi tubuhnya untuk membuatnya telentang, dan kemudian menyerah.

Jari Donghyuck bergerak cepat, gesit dan ringan di permukaan dadanya, melepaskan kancing di pergelangan tangan dan dadanya. Lelaki itu kemudian menariknya lepas, berhasil menyingkirkan jaket sebelum kemudian menjadi ragu, dengan tangan yang menempel pada kancing di leher Mark. Kedua kelopak mata Mark bergerak terbuka, dan ia menahan tangan Donghyuck sebelum sang empu mampu menariknya menjauh, menuntunnya turun menuju perut, sebelum berakhir di penisnya.

Keterkejutan meleleh menjadi seringai mengejek di wajah Donghyuck. "Tidakkah kau terlalu mabuk untuk membuatnya bangun?" gumamnya, dan Mark ingin protes, namun Donghyuck akhirnya menarik bajunya, melepas paksa tiga hingga empat kancing dengan senyuman jahat.

"Hei," Mark memprotes, namun jemari Donghyuck terasa dingin dan kuat di permukaan perut telanjangnya, menyadarkannya dari kehampaan, meniadakan gravitasi. Tanpa sentuhannya, Mark dapat dengan mudah mengambang dan dibawa jauh oleh embusan angin malam.

"Kenapa kau minum begitu banyak, Mark?" Donghyuck bertanya, terdengar malu-malu.

"Kenapa kau berdansa dengan Jaehyun?" Mark balik bertanya. Kata-kata itu terdengar sangat jelas baginya, namun Donghyuck menatapnya seolah tidak mengerti. "Kau seharusnya berdansa denganku."

"Kau bilang kau tidak bisa berdansa," jawab Donghyuck. "Di upacara pernikahan, ketika ayahku memintamu berdansa denganku. Kau bilang kau tidak jago berdansa."

Ah, upacara pernikahan. Donghyuck, dengan emas di wajahnya, menonjolkan tulang pipi serta batang hidungnya, serta lekukan di bibirnya, sayap-sayap emas membentang di sekitar matanya, mengikuti garis hitam di sana. Donghyuck dan tunik halusnya, dan rantai emas di sekitar lehernya, membelenggunya dalam hati Mark.

"Aku berbohong. Kau tampak... Kau tampak berharap kedua kakimu dipotong daripada harus berdansa denganku."

Donghyuck menekan belah bibirnya. Ia menarik celana Mark hingga pemuda itu mengangkat pinggul, lalu menariknya lepas.

"Lain kali kita harus berdansa, Donghyuck. Maukah kau berdansa denganku?"

Donghyuck menepis tangan Mark yang menggapai-gapai tak sadar, sebelum akhirnya menghela napas, bergerak mundur hingga ia membuka kedua kaki Mark. Ia menanggalkan selempang emas, jaket, dan kaus dari bahunya, melepasnya. Butuh beberapa saat untuk membuat Mark menyadari apa yang ia lakukan.

"Lain kali... kalau kau berlutut dan mengajakku berdansa, aku akan berkata ya," gumam Donghyuck, dan Mark mampu merasakan ujung mulutnya terangkat membentuk seringai puas. Ia menopang dirinya untuk bangkit, hingga dadanya bertemu dengan dada Donghyuck, ujung hidung saling bersentuhan.

"Di depan semua orang? Aku akan melakukannya untukmu."

Donghyuck tersenyum, dan mereka nyaris berciuman.

"Berisiko. Ayahmu tidak akan senang."

Mark menciumnya dengan lembut.

"Tapi apa kau akan senang?"

Sesuatu bersinar dalam manik Donghyuck, sesuatu yang tampak seperti ketakutan. Ia menutup mulut Mark dengan dua jarinya dan menggelengkan kepala.

"Kau tidak boleh minum lagi, Minhyung. Kau payah kalau mabuk. Kau bicara terlalu banyak, dan membicarakan hal-hal yang berbahaya." Ia menekan bibir Mark, membukanya dengan jari tengahnya. "Sangat naif, pangeranku yang bodoh. Istana ini akan memakanmu hidup-hidup dan meludahkan tulang-tulangmu."

Mark menggelengkan kepala dan memberi jilatan pada jemari Donghyuck, mengeluarkan geraman puas manakala aroma Donghyuck menajam.

"Aku bersumpah, kau tidak tertebak. Kenapa kau minum sebegitu banyak?"

Dan mungkin ia tidak benar-benar mengharap sebuah jawaban, tapi bagaiamanapun juga, Mark memberinya jawaban.

"Sebab kau tersenyum kepada pria lain dan aku... aku..." Ia tidak tahu apa yang ia rasakan, atau dalam posisi apa ia berada, atau juga sebanyak apa yang ia rasakan sebelumnya, namun perasaan itu tetaplah di sana, bagai jangkar di balik dadanya, menjaga jantungnya agar tak mengambang dalam gelembung wiskiㅡmembuatnya merasakan kantuk. "Apa kau masih menyukai Jaehyun? Katakan padaku... Aku akan menghajarnya kalau kau masih menyukainya, karena kau suamiku dan ini tidaklah adil, kau hanya boleh menyukaiku...."

Ia mengoceh dan meronta-ronta dalam pegangan Donghyuck, sebelum akhirnya jatuh telentang hingga Donghyuck menindihnya di atas ranjang. Kaki mereka saling bertaut, tangan Donghyuck beristirahat pada permukaan bantal di sisi-sisi kepala Mark, tubuh mereka terlampau dekat hingga ujung rambutnya mengusap kening Mark.

Mark memandang dengan kedua mata besarnya, yang melebar untuk menangkap ekspresi Donghyuck dalam kegelapan, dan di sekitar mereka, dunia berguncang, bersinar, dan kekelaman malam terbingkai oleh semburat emas, nyaris seolah Mark menghidupkan seluruh bayangan itu melalui gelembung putih di permukaan gelas bir yang manis, melalui adukan madu dan wiski.

"Kenapa kau begitu bodoh, Minhyung? Kau merasa cemburu sendiri, kau sakit hati sendiri... Kau jatuh terlalu dalam, tapi aku tidak... Kau tahu aku tidak begitu, aku pernah memberitahumu, aku tidak bisa. Tidakkah kau takut aku menghancurkan hatimu?"

Mark berkedip, dan melalui bulu matanya, ia menangkap cahaya keperakan samar dari bintang-bintang. Pemandangan itu tetap di sana, terjebak, bagai capung di jaring laba-laba, dan wajah Donghyuck terlepas dari fokus, gravitasi serasa berat untuk dilawan.

"Ini adalah satu-satunya cara..." Mark menggumam, kata-kata itu lengket di rongga mulutnya, pasi dan manis. "Kau pikir aku bodoh? Harus kita buktikan, sunshine. Tidak ada...." Matanya bergerak menutup, dan Mark kesusahan menahan tarikan bumi, berusaha untuk membukanya kembali, meski hanya untuk melihat Donghyuck, sedikit saja. "Tidak ada seorang pun yang bisa bertahan tanpa hubungan, tidak dengan... ini, perasaan yang kurasakan untukmu. Aku sangat menyukaimu dan itu haruslah berarti sesuatu. Perasaan ini harus mengubah sesuatu, karena kesempatan apa yang kumiliki selain itu?"

"Tidak dengan cara seperti ini, sama sekali bukan begini."

Kegelapan malam mencium kelopak mata serta bibir Mark, namun ia terlalu lelah untuk sekadar memberi ciuman balasan.

Tidak ada yang tahu cara cinta bekerja, pikirnya, dan setelah itu, ia tidak memikirkan apa pun lagi.

***

Mark terbangun dengan rasa pahit yang bersarang di mulutnya. Keseluruhan tentara seolah menggenderangkan perang dalam kepala, diekori oleh rentetan bayang kejadian membingungkan dan memusingkan mengenai hal yang terjadi setelah ia bicara dengan Jaehyun malam sebelumnya. Sesuatu berdentum di ujung kesadarannya dan ia membutuhkan waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa itu hanyalah salah satu pelayan yang menyalakan perapian di ujung ruangan, suara yang melipat gandakan rasa sakitnya, memantul di dalam batok kepalanya bagai gema raksasa.

Ia berusaha memutar tubuh agar telentang, namun rasa sakit menghujam kepalanya, tajam dan melengking, dan ia mendengar suara tawa mengejek yang berasal dari pintu ke arah kamar mandi. Si pelayan pergi dan Donghyuck melangkah masuk, bertelanjang kaki dengan tubuh terbalut handuk bulu, rambutnya basah dan wajahnya menampilkan senyum dingin mengejek.

"Kau bangun," ucapnya. "Aku terkesan."

"Aku bisa saja mati," gumam Mark, meski beberapa kata itu membutuhkan usaha yang besar. Lidahnya melekat di langit-langit mulut, membuatnya kesusahan untuk sekadar bicara, dan Donghyuck yang menyadarinya pun menuangkan segelas air dari kendi di samping ranjang.

"Siapa yang membawaku kembali?" Mark bertanya, ketika mulutnya tak lagi terasa berat bagai tapak sepatu.

"Mengejutkannya, kau kembali seorang diri," jawab Donghyuck, dan Mark mengerang, berusaha mengingatnya, namun berakhir gagal. Otaknya memberat akibat sensasi dan pikiran-pikiran yang tak masuk akal.

"Aku tidak mengingat apa pun."

"Mungkin memang sebaiknya tidak. Itu adalah pertunjukan yang memalukan."

Apabila Mark merasa lebih baik, ia mungkin saja merasa malu atas kalimat tersebut, namun nyatanya tidak.

"Siapa yang melepas pakaianku?" ia lantas bertanya, menyadari dalaman yang ia kenakan, dengan kemeja yang setengah melekat di tangan-tangannya. Sisa-sisa pakaian tak lagi bisa ditemukan. Donghyuck memandangnya, senyum mencemooh menghias bibirnya.

"Kau melakukannya sendiri," jawabnya, dan Mark mengerutkan dahi, menciptakan rasa nyeri di pelipisnya.

"Kau seharusnya membantuku," ujarnya, berbisik.

"Kenapa juga aku harus melakukannya?"

Mark tak menjawabㅡtidak ada cara yang bisa ia lakukan untuk membalas Donghyuck apabila lelaki itu sedang dalam moda menyebalkanㅡhanya memperhatikan sang suami melepas handuk hingga meluncur ke lantai, dan meraih pakaian bersih yang sudah disiapkan di sisi ranjang. Lelaki itu punya janji temu dengan sang ratu, Mark ingat, dan Mark sendiri punya janji temu dengan sang rajaㅡdan dengan Jaehyun. Ini akan menjadi hari yang panjang bagi mereka berdua.

"Kau akan mendapat pengawal baru mulai hari ini," Mark berujar, sambil Donghyuck mengenakan rompi biru pucat. Jemarinya menarik keliman-keliman kain, menyatukan kedua ujungnya. Mark mampu menangkap refleksi Donghyuck yang sedang menggigit bibir pada cermin besar di dinding, sambil berfokus mengeratkan kancing pakaian.

"Salah satu orangmu?" tanya Donghyuck, tanpa sadar.

"Tepatnya bukan. Dia Jaehyun dari keluarga Jung."

Mark menatap tajam refleksi Donghyuck sembari bicara, penasaran akan reaksinya. Jemari Donghyuck berhenti, berpangku di tenggorokanㅡdan Mark memiliki pandangan buram nan membingungkan bahwa jemari Donghyuck tengah berpangku di tenggorokannya, seiring dengan usaha melepas kancing-kancing kemeja Mark, yang mana sangat aneh, sebab Donghyuck berkata Mark melepas pakaiannya sendiri malam itu. Kedua mata Donghyuck melebar, mulut terbuka atas seruan yang ia tolak untuk lancarkan. Seluruh tubuhnya tampak tersapu ombak emosi, bagai sebuah batu dilempar ke arah pendiriannya yang jernih, mengguncang permukaannya dalam lingkaran demi lingkaran, sebelum ketenangan menguasai dirinya kembali. Mata mereka dengan cepat bertemu melalui cermin, dan ekspresi Donghyuck menajam.

"Dan apa pendapatmu tentang itu?" tanyanya, suara menegang, mata terbakar dalam keterdiaman yang menantang.

"Kurasa ayahku marah karena salah satu ksatria terbaiknya melanggar aturan demi dirimu, dan semakin marah karena aku menolak untuk menghukummu sesuai perintahnya," jawab Mark, "sehingga dia memutuskan untuk menempatkan kita berdua dalam pengawasan ketat."

"Dan kenapa dia harus menugaskan pahlawan nasional untukku? Jaehyun... Dia terlihat seperti orang baik malam kemarin. Sangat tampan, sangat memukau."

Mark mampu merasakan ekspresinya sendiri mengeras. Mereka akan bertengkar, ia dapat merasakannya. Ia tidak tahu mengapa, namun Donghyuck tampak sedang dalam suasana hati ingin bertengkar, dan Mark menyadari bahwa dirinya pun haus akan darah kala itu.

"Oh, memang," balasnya. Ia juga pemberani, pintar dan tampan, dan Donghyuck seharusnya tidak memberi pujian segampang itu, segamblang itu, nyaris seolah ia berusaha memancing sebuah pertengkaran. "Jaehyun adalah salah satu dari pemuda paling tampan dan menawan di seluruh kerajaan, tapi dia adalah ksatria milik raja, dan sangat setia. Dia akan melakukan apa pun yang raja perintahkan, dan raja akan memerintahnya untuk terus berada di sisimu, setiap hari, setiap waktu, tidak akan membiarkanmu lepas dari pengawasan sampai ksatria yang lain membebaskannya dari tugas. Dan dia akan melaporkan segala yang kaulakukan pada ayahku, segala yang kita lakukan."

Donghyuck mengerutkan alis dan memutar tubuh, duduk di samping Mark di atas ranjang yang berantakan. Ia tidak memutuskan kontak mata, dan Mark pun juga.

"Aku tidak punya satu pun hal untuk disembunyikan," ucap Donghyuck, perlahan. "Kalau dia mau memata-mataiku, kuharap dia bisa tahan. Jungwoo sudah pernah melakukannya, iya, kan? Dan melaporkanku padamu di penghujung hari."

"Ya, kau benar. Jungwoo melapor padaku, bukan ayahku. Apa kau tahu apa yang sang raja pikirkan tentangmu?"

"Oh, aku tahu," Donghyuck membalas melalui gigi yang merapat. "Dia selalu terang-terangan soal itu. Anak dalam perutku dan mulut yang berhenti mengoceh, atau sesuatu semacam itu, iya, kan? Atau, sebagaimana yang kaukatakan, tunduk dan patuh."

"Donghyuck!"

Nadanya terdengar tegang, terdengar lebih marah dibanding apa pun yang pernah Mark katakan pada Donghyuck selama beberapa minggu terakhir. Tatapan menantang yang ia dapat sebagai respons selayak tamparan bagi wajahnya, sebagai peringatan bahwa tak banyak yang berubah, terlepas dari seberapa besar usahanya. Tetapi, Mark terlalu pusing saat ini untuk berurusan dengan argumen jadul yang selalu Donghyuck gunakan manakala merasa terancam.

Donghyuck pastilah merasakan suasana hatinya pula, sebab lelaki itu bangkit, siap untuk pergi.

"Kuharap sang raja sudah siap untuk mendengar laporan-laporan yang membosankan. Aku akan jadi pangeran kecil tanpa cela."

"Bagaimana dengan latihan memanah?" Mark bertanya.

"Bagaimana dengan itu?" Donghyuck balas menyerang, dan Mark merasakan kekesalan yang kembali merangkak di sekujur tubuhnya. Bukankah Donghyuck yang tertangkap basah melakukan sesuatu yang ilegal?

"Aku hanya khawatir padamu, Donghyuck. Jangan terlalu mencuri perhatian, setidaknya untuk beberapa saat. Jangan mengendap-endap sendirian, jangan melakukan tindakan yang tidak pantas. Dan jangan memercayai Jaehyun. Dia tidak berada di pihakmu, tak peduli seberapa meyakinkannya dirimu, tak peduli sebenar apa pun alasanmu."

"Memangnya kapan aku pernah memercayai orang-orang di Lembah?" Donghyuck mendesis, suaranya bagai suling di tengah hutan.

"Tidak pernah," Mark menjawab dengan pahit. "Dan mungkin itulah masalahmu."

"Itu masalahnya, benarkah? Dengarkan kata-katamu, Yang Mulia. Kau bertingkah seperti bocah pencemburu."

"Donghyuck...."

"Aku terlambat, aku harus pergi."

Donghyuck meraih salah satu jaketㅡbukan jaket milik Mark, dan Mark harus menahan diri untuk tidak protes.

"Apa kau akan memberiku alasan apa pun untuk cemburu pada Jaehyun?" tanyanya, suaranya mengencang, dan ia mendengar Donghyuck mendengus, pendek dan penuh dendam, sebelum pintu terbanting menutup.

*

Dalam keheningan ruangan, dengan ketegangan yang masih tersisa selepas Donghyuck pergi, Mark mendesahkan napas dan menarik diri menyandar ke kepala ranjang. Ia menatap kedua kakinya yang telanjang, pada onggokan jaket di lantai, di samping selempang emas milik Donghyuck. Ia ingat memegang sulaman sutra di tangannya semalam. Ia ingat ucapan bahwa ia ingin berdansa bersama Donghyuck.

Karena itukah kau begitu marah pagi ini? pikirnya. Apa yang telah kukatakan semalam, yang membuatmu meledak-ledak seperti ini?

Donghyuck menyebutnya bocah pencemburu, tetapi Mark jauh lebih buruk. Ia adalah pria pencemburu. Seorang pria bodoh pencemburu.

Tidak ada yang tahu cara cinta bekerja, sunshine, pikirnya. Kata-kata itu terasa familier di mulutnya, bagai madu dan wiski, selayak bibir Donghyuck akan terasa manakala ia mabuk.

Mark bangkit dan berlari, bertelanjang kaki, dengan tubuh setengah telanjang, luar biasa tak pantas, melewati ruangan-ruangan di kamar mereka. Hal ini mengingatkannya pada kegiatan berlari yang lain, pengejaran yang lain, di koridor dekat ruang rapat; tubuh mengunci Donghyuck pada tembok, menyaksikannya menggeliat dalam kemarahan. Bukan dalam kemarahan, seingatnya, tidak apabila aku bisa menahannya. Ia bisa menahan kemarahan Donghyuck terhadapnya.

Mark meraih Donghyuck di tangga, beberapa langkah dari pintu kamar mereka.

"Tunggu," panggilnya. Donghyuck melihatnya dan memucat.

"Apa kau gila?" desisnya, dan Mark diam, bernapas, pusing, dan lantai keramik terasa dingin, bagai es yang tumbuh di bawah telapak kakinya.

"Mungkin, sedikit. Aku tidak pernah berpikir dengan benar apabila menyangkut dirimu."

Ia beruntung, sebab Donghyuck terlalu tercengang untuk sekadar kembali memarahinya.

"Bagaimana kalau seseorang melihatmu?" lelaki itu berusaha berujar, namun Mark menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Kau benar, aku sangat cemburu hingga rasanya sulit untuk bernapas. Aku tidak bisa berpikir jernih. Hanya dengan bayangan Yoonoh Jung di sisimu, sepanjang waktu, sudah cukup untuk membuatku ingin menghajar seseorang. Apakah itu yang ingin kau dengar?"

Eskpresi Donghyuck menegang di balik telapak tangan Mark, dan sekarang pemuda itu ketakutan.

"Mark!" bisiknya.

"Aku tidak bisa menahannya! Kau pasanganku, Donghyuck, meski kau tidak menginginkanku. Aku menginginkanmu, dan ayahku memilih Jaehyun karena dia mau aku menderita dan...."

Donghyuck mendorongnya sehingga Mark melepaskan tangan darinya.

"Bisakah kau diam?" jeritnya tertahan. Ia meraih lengan Mark dengan erat, dan menariknya kembali ke dalam kamar mereka, menutup pintu lalu mendorong Mark bersandar pada bidang tersebut.

"Tentu saja ayahmu ingin kau menderita! Kau menantang kekuasaannya, lebih dari sekali, hanya demi melindungi permaisuri asingmu... Dia jelas murka sekarang!" Donghyuck bergerak semakin dekat, membiarkan Mark merasakan kelembapan dari rambutnya, beraroma lavendel sebagaimana yang lelaki itu suka. "Putranya yang manis dan penurut, yang tidak pernah mengatakan tidak, yang selalu menuruti apa yang dia perintahkan... kini membangkang, dan untuk apa? Untuk siapa? Tidakkah kau mengerti?"

"Tentu saja aku mengerti, aku tidak bodohㅡ"

"Kau bodoh! Kalau kau bertingkah seperti ini, sama saja kau mengikuti permainannya! Bagaimana kalau ada pelayan yang melihatmu? Ada berpasang-pasang mata dalam tembok istanamu, bagaimana apabila seseorang melapor pada sang raja bahwa kau mengejarku dalam..." Tatapan Donghyuck bergerak turun, bertemu dengan dada telanjang Mark, dan Mark melihat telinganya memerah. Ia sangat marah, namun aromanya tercium manis, nyaris senang.

"Kau memainkan permainan yang berbahaya, dan kau memainkannya dengan sangat ceroboh! Kau tidak bisa seperti ini, Mark, karena semakin sering kau mengekspos dirimu padaku, dia akan jadi semakin marah!"

"Maka jelaskan padaku!"

"Aku juga tidak tahu!" Donghyuck membentak, kemudian tersadar, sebab ia bergerak menutup mulut dengan kedua tangan. "Aku tidak tahu," ulangnya, kali ini dalam bisikan. "Aku sudah melakukan segala hal yang kubisa untuk membuat segalanya mudah bagiku, bagi kita... Dan kau malah merusak segalanya, sejak awal! Kau seharusnya menyetubuhiku di malam pertama, kita seharusnya tetap membenci satu sama lain! Kau seharusnya membuat satu atau dua anak bersamaku sesegera mungkin... Dan kemudian kau bisa kembali menjalani hidupmu, menjadi putra yang sempurna, dan aku akan menjadi permaisuri jauhmu, dan ayahmu tidak akan sampai memulai permainan balas dendam menyedihkan melawan kita berdua!"

Donghyuck menunduk, memegang kepala seolah kesakitan. Ia juga punya banyak hal yang harus dipikirkan semalam, Mark ingat, dengan benturan penyesalan, dan lelaki itu pasti berpikir sama menyedihkannya saat ini. Ia sangat pandai dalam menyembunyikan perasaan, si Donghyuck itu, hingga pada titik bahwa terkadang sangat mudah untuknya lupa bahwa ia telah melihat delapan belas matahari. Namun kini, terdapat ketawaran dalam dirinya, sebuah ujung yang kasarㅡtopeng emasnya tersingkap dan menampilkan bocah laki-laki yang ketakutan di baliknya.

"Aku sudah tahu, malam itu," ucap Donghyuck, suaranya memelan dan terus memelan, dan Mark mendapati diri menarik Donghyuck ke dalam dekapan demi mendengar kata-katanya. "Aku sudah tahu bahwa kau akan jadi yang pertama jatuh begitu dalam, begitu cepat, tanpa pertimbangan. Inilah mengapa aku tidak mau kau jatuh cinta padaku...."

"Oh, ini alasannya sekarang?" tanya Mark. "Tidak ada omong kosong tentang cinta pertamamu lagi?"

Donghyuck mendongak, melotot. "Apa yang kau pikir telah terjadi dengan cinta pertamaku? Seseorang tidak bisa menjaga pikirannya tetap jernih, seseorang tidak bisa berpikir rasional, dan dua orang harus merasakan sakit. Semua itu terjadi dengan gamblang dan berantakan, berlangsung dalam waktu yang sangat, sangat lama. Dan aku harus melihatnya, setiap hari, sebab kau tidak bisa hanya...." Ia menggelengkan kepala, menatap Mark seolah hendak menamparnya. "Orang-orang dengan posisi seperti kita tidak bisa jatuh cinta, Mark."

Ia memukul dada telanjang Mark, mendorongnya ke pintu. "Orang-orang seperti kita harus tetap berpikiran jernih," ucapnya, dan tangannya kembali mendorong dada Mark, mempertegas kata-katanya dengan dorongan cukup kuat yang membuat punggung Mark menabrak permukaan kayu lagi dan lagi, "bukan malah berkeliaran dengan penis ke mana-mana! Kau bodoh, tidak punya otak...."

Mark menciumnya, cepat dan tanggas, cukup untuk membuat lelaki itu terkejut.

"Sudah terlambat, kau tahu? Kau luar biasa untukku, kau selalu luar biasa untukku, Donghyuck dari Pulau Selatan."

Donghyuck terlihat seperti akan mulai menangis tak lama lagi, mugkin karena frustrasi, atau karena ia bisa merasakan perasaan Mark melalui Ikatan mereka, secara tak terkendali dan berlebihan, sehingga Mark menciumnya lagi. Bahkan meski ia tak menjawab, bahkan meski punggungnya menegang dalam pegangan Mark, Mark mencium mulut dan rahangnya, memiringkan kepala untuk mengecup satu titik di bawah telinganyaㅡdan sesuatu bergerak dalam tenggorokan Donghyuck, laik ia lebih baik tercekik daripada mengutarakannya. Bibir Mark berhenti di kelenjar aromanya dan kemarahan Donghyuck pun meleleh, aromanya menjadi lebih jernih, tubuhnya memanas.

"Cumbu aku," ucap Mark. "Biarkan aku mencumbumu juga."

"Apa?"

"Aku tidak bisa berpikir dengan benar apabila kau tidak beraroma sepertiku dan aku tidak beraroma sepertimu."

"Markㅡ" Donghyuck berucap, memohon, menggelengkan kepala, merasa putus asa, bagai bintang yang berada di ujung tanduk peleburan diri, dan Mark dengan suka rela membiarkannya jatuh dalam lubang hitam yang tersisa.

"Aku akan bersikap baik, aku janji. Aku akan membiarkanmu menggoda Jaehyun, apabila itu yang ayahku ingin lihat, aku akan bersikap seolah tak peduli. Aku tahu kau tidak memercayaiku. Aku tahu kau tidak bisa mencintaiku. Tak apa, aku akan melakukannya demi kita berdua. Aku bisa melakukan semuanya, tapi aku membutuhkanmu... Aku butuh kau untuk...."

"Tidak dengan cara seperti ini," ucap Donghyuck, dan kata-katanya membawa sesuatu kembali, sepercik ingatan, madu dan wiski. "Sama sekali bukan begini."

Mungkin bukan kegelapan malam yang mengecup mata Mark, mungkin bukan kegelapan malam pula yang mengecup bibir Mark. Mark tidak akan pernah tahu, namun ia sangat sadar saat iniㅡia tidak akan melupakan saat ini.

"Tidak ada yang tahu cara cinta bekerja, sunshine," ujarnya.

"Diam, Minhyung, diam!"

Kali ini, ketika Donghyuck menciumnya, ia bisa memberi ciuman balasan.[]

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

78.4K 6.7K 16
[ RION KENZO MIKAZUKI ] adalah ketua mafia dari Mikazuki AV Rion kenzo Mikazuki mafia Italia, ia terkenal dengan kekejamannya terhadap musuh maupun...
688K 43.1K 31
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
57.2K 3.1K 7
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)πŸ”ž+++
86.7K 4K 22
[ 18+ Mature Content ] Gerald Adiswara diam diam mencintai anak dari istri barunya, Fazzala Berliano. Katherine Binerva mempunyai seorang anak manis...