Prepossess

By Faradisme

3.6M 470K 73.6K

Ini tentang arti dari menemukan di antara banyak kemungkinan. Tentang sebuah keputusan, yang menjerat tanpa... More

INFO : REPUBLISH
First Of All.
Prolog
Prepossess - 1
Prepossess - 2
Prepossess - 4
Prepossess - 5
Prepossess - 6
Prepossess - 7
Prepossess - 8
Prepossess - 9
Prepossess - 10
Prepossess - 11
Prepossess - 12
Prepossess - 13
Prepossess - 14
Prepossess - 15
Prepossess - 16
Prepossess - 17
Prepossess - 18
Prepossess - 19
Prepossess - 20
Prepossess - 21
Prepossess - 22
Prepossess - 23
Prepossess - 24
Prepossess - 25
Prepossess - 26
Informasi!
Prepossess - 27
Prepossess - 28
Prepossess - 29
Prepossess - 30
Prepossess - 31
Prepossess - 32
Prepossess - 33
Prepossess - 34
Prepossess - 35
Prepossess - 36
Prepossess - 37
Prepossess - 38
Prepossess - 39
Prepossess - 40
Prepossess - 41
Prepossess - 42
Prepossess - Tamat
Info Prepossess - Extra Part
INFO TERBIT DAN CARA PEMESANAN (HARAP DIBACA)
EBOOK PREPOSSESS

Prepossess - 3

133K 15.8K 1.9K
By Faradisme

🔥

Cuaca mendung di pagi hari berikutnya. Jalanan sudah ramai dipadati para pejalan kaki yang sibuk dengan urusan masing-masing. Begitu juga Bella, yang sudah hampir satu jam berdiri di depan sebuah gedung berlantai dua puluh sambil menggenggam kotak berisi cincin.

Bella tidak tahu, apakah keputusannya ini benar atau tidak. Apakah harus dilakukannya atau tidak.
Atau, sebaiknya ia tidak harus memikirkan cara mengembalikan cincin berlian yang diberikan Robert kala mereka bertunangan dulu.

Bella bisa menjual cincin ini, dan ia tidak akan mengkhawatirkan finansialnya.

Tapi menyimpan kenangan pada sebuah benda, apalagi cukup mahal itu bukan kebiasannya. Bella akan menitipkan cincin itu pada resepsionis. Terserah dan tidak peduli, apakah Robert menerimanya atau tidak.

Bella membuka pintu kaca gedung itu, yang kemudian dengan cepat ditutupnya kembali. Ia segera berlari dan menyembunyikan diri di pepohonan dekat sana. Mengintip ke arah pintu masuk gedung.

Di sanalah laki-laki itu. Berdiri dengan setelan jas abu-abu mengkilat, memperhatikan jam di tangan. Tidak ada lagi hal menarik dari penampilan itu selain muak.

Tapi yang membuat Bella mencengkram batang pohon geram adalah, wanita yang berdiri di samping Robert. Wanita yang dicumbunya. Wanita penyebab kegagalan pertunangan mereka.

Ironisnya, Veronica yang sekarang sedang bergelayut manja pada Robert, dan Bella justru bersembunyi mengintip dari kejauhan.

Brengsek!

Bella berbalik dan berderap pergi ke arah berlawanan. Segala jenis umpatan mengendap di tenggorokan. Ia akan menjual cincin sialan ini dan membeli banyak sekali es krim untuk persedian berbulan-bulan.

Bella berhenti di persimpangan. Berdiri bersama dengan pejalan kaki lain menunggu lampu berubah merah. Di tengah kekesalannya itu, tiba-tiba perhatian Bella tersita oleh kemunculan seseorang.

Gaya berpakaian yang sama, dan tubuh yang tinggi membuat Bella bisa dengan mudah mengenali Romeo di seberang jalan.

Lampu jalan berubah merah. Orang-orang di sekitarnya juga mulai bergerak. Seharusnya Bella mengambil jalan lurus untuk menuju supermarket, mengisi kulkas kosongnya dengan makanan agar ia tidak kelaparan.

Tapi kakinya justru berbelok. Melewati beberapa pertokoan yang menjual barang mewah. Sampai punggung tegap berjaket kulit hitam itu kembali terlihat, barulah Bella mulai mengatur jarak.

Romeo tiba-tiba berhenti. Bella segera menyingkir dari jalan, bersembunyi di sela pertokoan. Laki-laki itu menunduk, kemudian berjongkok untuk mengikat tali sepatu lalu kembali berjalan.

Oleh rasa penasaran yang tidak bisa dijelaskan bagaimana bisa ada, Bella kembali mengikuti Romeo dari belakang, hingga laki-laki itu memasuki sebuah kafe di ujung jalan.

Bella ingat itu adalah kafe yang pernah didatanginya tempo hari saat patah hati. Ternyata nama tempat itu Paradisè. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk masuk ke sana lagi. Lagipula itu tempat umum. Romeo tidak harus curiga akan keberadaannya.

"Selamat datang di Paradisè," seruan itu hadir ketika Bella membuka pintu. Seorang laki-laki di belakang meja kasir tersenyum lebar. "Kau suka berdiri di sana? Tidak apa, tapi aku hanya khawatir kau akan menghalangi jalan."

Bella melangkah cepat masuk. "Maaf,"

"Tidak perlu minta maaf, kau pelanggan, dan pelanggan adalah raja. Dalam kasusmu, kau adalah ratu."

Bella terkekeh pelan. "Aku mengingatmu."

"Aku juga."

"Benarkah?"

"Siapa yang bisa melupakan wanita cantik namun sedih duduk berjam-jam di sebuah kafe sendirian?"

Bella meringis. Menyayangkan hal menyedihkan itu harus diingat orang lain.

"Aku tebak, kau pasti lupa siapa namaku?" laki-laki itu menutupi bagian dada sebelah kanan, di mana namanya tercetak.

Bella semakin merasa tidak enak. "Maafkan aku..."

Laki-laki itu tertawa. "Kau harus berhenti mengatakan hal itu. Aku Ronald. Pegawai paling tampan di kafe ini. Kebetulan aku juga belum tahu namamu."

"Aku Bella."

"Sangat cocok," ujar Ronald dengan kedipan mata.

"Aku belum berterima kasih. Waktu itu kau membiarkanku tidur di sini."

"Tidak masalah. Kami punya tempat kosong yang nyaman di belakang. Kau terlihat begitu nyenyak, dan kelelahan. Jadi, apa salahnya dengan sebuah bantuan."

Bella ingat ia hampir terkena serangan jantung karena terbangun keesokan paginya di tempat asing. Berbagai hal buruk sudah membayang, namun ternyata orang-orang di kafe ini justru membantunya.

"Tetap saja, aku berhutang budi padamu. Kau mempunyai alasan mengusirku, tapi kau tidak melakukannya."

"Kalau begitu, bagaimana dengan kau membeli segelas minuman di sini. Dan aku akan menganggap kita impas."

Bella tersenyum dan mengangguk senang. Tentu saja ia akan memesan minuman.

"Apa yang kau inginkan?" Ronald menekan-nekan layar sambil memberikan beberapa minuman rekomendasi.

"Aku ingin segelas Chamomile Tea."

"Sama seperti yang tempo hari?"

Bella mengangguk. "Sedikit gula."

"Baiklah. Minumanmu akan segera datang."

Ronald menyuruhnya menunggu. Dan waktu itulah yang digunakan Bella memperhatikan sekitar. Kafe itu hampir keseluruhannya barbahan kayu kecuali lantai. Lampu-lampu teduh di setiap sisi dan sudut yang pas membuat suasana menjadi hangat. Juga pajangan berbahan kayu, tanaman di dekat jendela di segala sisinya. Menambah kesan kafe ini seperti sebuah 'rumah'.

Tapi dari semua itu, matanya tidak bisa menemukan keberadaan sosok Romeo. Padahal Bella sangat yakin jika melihat laki-laki itu masuk ke sana.

"Nah, ini pesananmu." Ronald menggeser gelas berpelindung kertas. "Apakah ada lagi yang kau inginkan?"

Di saat itu juga pintu sebelah kiri khusus karyawan kafe terbuka. Memunculkan sosok yang sejak tadi Bella cari, dan kali ini membuatnya menganga.

Romeo sudah tidak mengenakan jaket kulit dan T-shirt putihnya. Melainkan kemeja slim fit putih bersih dengan lengan digulung sampai siku, juga apron coklat melingkar di pinggang.

Rupanya Ronald mengikuti arah pandang Bella. "Oh, biar kutebak. Kedatanganmu sekarang karena mengikuti dia?"

Bella mengerjap, mematung beberapa saat sebelum menggeleng hebat. "Tidak!"

"Tidak? Syukurlah. Berarti kau pengecualian. Karena biasanya kebanyakan wanita cantik yang datang ke kafe kecil seperti ini alasannya cuma itu."

Bella segera merogoh tasnya, berpura mencari dompet ketika Romeo mendekat. Padahal laki-laki itu sama sekali tidak menatapnya.

"Kau terlambat lagi?" Kata Ronald.

"Aku tahu." Jawab Romeo datar. Tanpa rasa bersalah laki-laki itu mengambil gelas espresso di bagian bawah lemari lalu pergi ke deretan alat pembuat kopi.

"Itu bukan jawaban yang kuharapkan," Ronald kembali menghadap Bella. Menangkap basah dirinya yang memperhatikan punggung Romeo.

"Kau mengenalnya?" Ronald bertanya.

Bella berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu dan membayar minumannya.

"Terima kasih," Ronald membuka mesin kasir. "Jadi Bella, tidak peduli seberapa menawannya dia, Romeo tetaplah pegawai paling tampan nomor dua di kafe ini. Kau harus ingat itu." Kata Ronald mengerling padanya.

Bella tersenyum geli. "Sekali lagi terima kasih."

"Aku akan menunggu kedatanganmu lagi."

Bella berlalu dengan segelas teh di tangan. Membiarkan matanya menilik sedikit pada punggung Romeo di belakang.

Saat keluar dari Kafe dan menyusuri jalan, Bella mengusap lengannya yang tadi malam disentuh oleh Romeo.

Percayalah, Bella masih bisa mengingat hangatnya.

🔥

Bella membeli es krim vanilla. Dan juga kebutuhan yang lain. Dua kantong kertas di bawanya sekaligus saat turun dari taksi yang sampai di depan apartemen. Di sanalah ia melihat Petty juga datang dengan taksi lain.

"Hi, aku ingat kau! Kau penghuni baru di lantai lima, kan?" sapanya dengan senyum lebar. "Berikan satu padaku." Petty mengambil alih satu kantong kertas dan membantu membawakannya.

"Terima kasih."

"Bagaimana malam pertamamu di apartemen?" tanyanya. Mereka berjalan bersisian memasuki apartemen. "Kau tidur nyenyak?"

"Cukup baik."

"Apakah ada yang mengganggumu?"

"Tidak," Bella melangkah lebih dulu memasuki lift. "Hanya saja, tadi malam ada tikus di sana."

"Yang benar saja!" Petty menghadapnya. "Tempat itu harus segera dibersihkan. Aku tahu petugas yang bisa melakukannya."

"Tidak perlu," Bella menimang belanjaannya. "Romeo sudah menangkapnya."

Lift terbuka dan Bella langsung melangkah keluar, tapi Petty diam di dalam lift sampai Bella perlu menahannya dengan kaki agar tidak tertutup.

"Maksudmu, Romeo? Romeo membantumu?"

"Ya," Bella mengedikkan bahu. "Aku mengetuk pintu di sebelah, karena kupikir kau di sana. Kau ingat saat itu kau bilang kita bertetangga. Tapi ternyata itu milik Romeo."

Petty kembali melebarkan senyum. "Astaga! Rupanya kau salah paham. Ini salahku sudah membuatmu bingung. Romeo yang tinggal di sebelahmu. Aku mengatakan kita bertentangga, karena apartemenku ada di lantai bawah. Secara tidak langsung kita memang bertetangga, bukan?"

Bella memutar kunci pintunya. "Tidak apa-apa."

"Apakah Romeo membantumu begitu saja?"

Bella membuka pintu yang masih saja sulit. Ia meletakkan kantong belanjaan di lantai dan mengerahkan kekuatan mengangkat sedikit pintu dan mendorongnya. "Ya. Dia membantuku."

Petty mengikutinya masuk. "Apakah Romeo menyulitkanmu?"

Bella kembali teringat kejadian tadi malam. Rasa malunya masih tersisa sampai sekarang. "Sebenarnya tidak. Hanya saja, dia sangat dingin saat bicara."

"Dia bicara?" Lagi-lagi Petty tampak terkejut. "Maksudku, dia bicara padamu?"

"Tentu saja. Memangnya bagaimana lagi caranya untuk berkomunikasi?"

Petty meletakkan kantong belanjaannya di atas meja dapur. "Sebenarnya, Romeo sangat pendiam. Dia bisa diam selama seminggu tanpa bicara kepada siapa pun," Petty memutar matanya. "Hanya orang yang dianugerahi kesabaran berlebih yang bisa tahan bersamanya. Makanya aku cukup terkejut saat kau bilang dia bicara."

Bella mengangkat bahu. "Mungkin karena dia kesal padaku karena aku mengganggunya."

Tapi cara Petty memandangnya seolah dirinya telah melakukan sesuatu bersama Romeo. "Petty, apakah kau tahu seseorang yang bisa membantuku mengatasi serangga di sini? Aku hanya ingin memastikan jika tidak ada tikus atau yang lainnya lagi."

"Aku akan memanggilkan Mr. Wilson. Dia adalah tenaga kebersihan paling terpercaya di apartemen ini. Aku akan menelponnya untukmu."

Bella tersenyum lega. "Terima kasih."

Petty melakukan panggilan di ponselnya. Sementara itu Bella membereskan barang belanjaannya dan memasukkannya ke dalam kulkas.

"Mr. Wilson akan datang sore ini. Dia bilang untuk menyuruhmu jangan khawatir."

Bella sangat lega mendengarnya. "Terima kasih, Petty. Aku sangat tertolong."

"Aku mulai lelah karena kau selalu berterima kasih." Ujarnya. "Aku harus kembali. Ada saudaraku yang datang malam ini. Kita sudah bertukar nomor telpon. Kapan pun kau butuh, jangan ragu memanggilku."

Bella sudah akan mengatakan terima kasih, tapi digantikannya dengan senyum lebar serta anggukan.

Menjelang sore hampir malam, barulah Mr. Wilson datang dan meminta maaf atas keterlambatannya. Laki-laki bertubuh gempal namun sangat murah senyum itu langsung mempersiapkan alat-alatnya.

"Kurasa kau harus menunggu di luar." ujarnya. "Aku menggunakan obat berbau sangat menyengat."

Tanpa diminta pun Bella akan melakukannya. "Baiklah. Aku ada di luar jika kau sudah selesai."

Bella duduk bersila menghadap pintu apartemennya. Ketika suara lift berdenting dan langkah kaki datang mendekat ke arahnya. Sosok yang tiba-tiba sulit dilupa itu muncul dan langsung bertemu mata dengan Bella.

Karena tidak tahu untuk berekpresi bagaimana, Bella memalingkan wajahnya ke depan. Romeo pun tidak menyapa. Laki-laki itu langsung membuka kunci. Tapi anehnya, laki-laki itu membiarkan pintu apartemennya terbuka.

Yang diharapkan Bella hanya agar Mr. Wilson segera menyelesaikan pekerjaannya sehingga ia tidak harus menahan diri untuk mengintip ke tempat Romeo. Kenapa laki-laki itu tidak menutup pintu?

Bella bisa dengan mudah mendengar suara-suara yang dibuat Romeo dari dalam apartemennya hingga langkah kaki laki-laki itu. Kemudian sebuah instrumen akustik terdengar.

Bella menyandarkan kepalanya. Ia menyukai instrumen menenangkan dengan petikan gitar seperti ini. Ia sering mendengarkannya ketika membaca buku, atau minum chamomile tea kesukaannya.

Bella tidak mengira jika Romeo akan keluar lagi. Dengan pakaian berbeda, tapi tetap senada dengan sebelumnya. Laki-laki itu mengenakan serba hitam sampai sepatu bootsnya juga.

Romeo menutup pintu tapi tidak menguncinya. Bella pun tidak berusaha mengajak bicara. Tapi ia tidak menyangka ketika Romeo justru berjalan mendekatinya.

Bella menarik napas tertahan, ketika Romeo menunduk dan meletakkan gelas berlogo Kafe di hadapannya. Dari aromanya saja Bella sudah tahu itu adalah chamomile tea.

Setelah meletakkan itu Romeo masih tidak mengatakan apa-apa. Bella mendongak, menatap Romeo yang juga menatapnya.

Entah ada apa di dalam tatapan itu tapi keduanya terdiam beberapa saat.

"Ini untukku?" tanya Bella.

Romeo kemudian berlutut di depannya. Aroma tubuh laki-laki itu langsung menyerbu masuk indera penciuman Bella. Ia terlena, oleh sorot mata tajam yang saat ini menusuknya.

"Pintuku tidak terkunci." ucap Romeo setelahnya lalu beranjak berdiri dan pergi menuju lift.

Saat denting lift menyatakan telah membawa Romeo turun, Bella baru mengambil gelas itu dan merasakan kehangatannya. Menghirup aroma teh yang menenangkan membuatnya refleks tersenyum.

Romeo sengaja tidak mengunci pintunya, yang secara tidak langsung menawarkan Bella menunggu di sana.

Mungkin ini sedikit gila, bahkan tidak masuk akal. Tapi Bella juga akan mempercayai ini.

Jika Romeo sengaja tidak mematikan musik instrumen yang masih bisa didengar Bella dari tempat duduknya.

Untuk menemaninya.

🔥

Haloo... ehehe

Maaf updatenya lama. Maaf juga up jam segini karena memang ngeditnya baru selesai.

TMI, aku memang sekarang nulisnya cuma malem. Kalo siang nggak bisa sama sekali biar dipaksain gimanapun ehehe.

Anw, gimana cerita ini?

Di awal-awal aku ngerasa banyak narasi. Dan memang bener begitu karena sua tokoh utama masih belum kenal terlalu dalam. Tapi aku berusaha bikin narasinya tidak bikin kalian bosen ya 😂

Gimana kabar kalian?
Semoga baik-baik dan terus bisa bertahan.
Selalu bahagia juga, ya. Mulai syukuri hal-hal kecil, seperti bisa bangun lagi besok pagi, dan bertemu dengan orang terkasih.
Aamiin

Faradita
Penulis amatir, di sini WITA dan sudah jam 01.27.
Selamat malam 💜

Ps. Sepertinya akan banyak typo
Ps.2 karena ngeditnya lewat hp
Ps.3 yuk abis ini bobo

Ehehe!



Revisi : 21 agustus 2021

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 129K 25
Tentang mereka yang berusaha untuk saling menjauh, dan tentang mereka yang berusaha untuk saling melupakan. Copyright © 2016 by YustikaM
1.7M 24.2K 41
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
6.1K 349 42
"Fahri, nama lu jelek banget!" "Wah ini cewek.." "Coba nama lu yang bagus-bagus dikit, biar kayak cogan wattpad gitu laah.." "Heh, Turunan Kunti, lu...
1.1M 110K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...