Forbidden Color

By althearaa

30.7K 4.8K 790

Dalam surat wasiat Carla. Wanita tengah baya itu menginginkan putranya Eren untuk menikahi Mikasa, gadis yang... More

Prolog
Tokoh
BLACK 1
BLACK 2
GREEN 1
GREEN 2
BLUE 1
BLUE 2
MAGENTA 2
GREY 1
GREY 2
NAVY 1
NAVY 2
TOSCA 1
TOSCA 2
FELDGRAU 1
FELDGRAU 2
YELLOW 1
YELLOW 2
WHITE 1
WHITE 2
RED 1
RED 2
MAROON 1
MAROON 2
BROWN 1
BROWN 2
GOLD 1
GOLD 2

MAGENTA 1

890 188 11
By althearaa

BGM / Liszt; consolation no.3 by Rousseau

🌿


MAGENTA warna kanopi yang menaungi Mikasa dan Jean dari hujan.

                                Terlepas dari acara penerimaan mahasiswa baru mereka sepakat untuk pulang bersama. Tak lain dengan alasan karna rumah mereka satu arah. Hujan tidak lebat. Tapi disebut gerimis juga bukan. Tadinya Mikasa hendak menerobos rebas tersebut, namun Jean melarang. "Kamu bisa sakit," katanya. Mikasa hanya membuang napas, dia patuh. Apa boleh buat mereka sama-sama tidak membawa payung.

                Sambil menunggu hujan reda. Mereka berdiri di pinggiran jalan, tepat di depan bangunan tailor. Jean sesekali melirik ke belakang, nampak sebuah manekin berbusana wanita menyapa. Lamat-lamat deretan mesin jahit terlihat, bersama desing mesin yang juga terdengar olehnya.

                Mikasa melipat tangan di dada. Dia terdiam memandang lurus ke arah jalan. Jean memasukan kedua tangan ke dalam saku. Dia masih tidak percaya akan pertemuan mereka---hingga fakta mengejutkan bahwa mereka tinggal di gedung yang sama. Begitu pun sebaliknya, Mikasa juga terkejut. Namun dia mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja.

                Mikasa bergerak, mengaduk isi tas kecilnya. Mencari  sesuatu, Jean yang mengamati penasaran. Mikasa mengeluarkan ponsel berwarna rose gold dengan sepasang air-pods. Kemudian digantungkan benda itu ke telinganya, Mikasa memutuskan untuk memutar lagu sembari membunuh rasa bosan.

                "Apa yang kamu dengar?" Jean memalingkan wajah ke arah jalan.

                "Liszt, consolation no. 3," Mikasa masih terpaku ke layar ponsel. Jemarinya bergerak lincah.

                Mendengar itu, bibir Jean membuat simpul O terkagum-kagum. "Seleramu unik. Ternyata masih ada anak muda di abad 21 yang masih mendengarkannya."

                Sekejap Mikasa tersenyum jenaka. "Yang kamu maksud adalah seleraku kolot, begitu? Kamu meledekku?"

                "Haha ... Tidak. Bukan begitu maksudku," Jean terkekeh, ujaran Mikasa membuatnya terkesan sarkastik. "Aku tidak tahu banyak tentang musik klasik."

                "Aku suka Chopin. Aku juga mendengarkan Bach, Tchaikovsky, Schubert, Ludovico atau Ryuchi Sakamoto, maestro lokal yang tidak kalah brilian," Mikasa menjelaskan dengan tatapan masih kepada layar ponsel. Jean tetap terperangah. Lekuk indah di bibirnya melebar.

                "Yang kuingat hanya Mozart dan Beethoven saja. Kamu luar biasa." Mikasa sekilas melirik dengan tatapan tajam. Mengancam Jean untuk tidak kembali tertawa. "Sungguh. Itu pujian, aku sama sekali tidak meledekmu. Aku juga memiliki selera kuno. Aku menyimpan beberapa lagu The Beatles di ponselku."

                Mikasa berdeham. "Musik klasik tidak buruk. Bagus untuk menenangkan pikiran. Bahkan dapat membantu konsentrasi."

                Jean mengangguk. "Terima kasih atas saran dan rekomendasimu, nona. Lain waktu aku akan mencoba mendengarkannya."

                Mikasa menghela napas, dia melepas sebelah air-pods dari telinga kanan. Tanpa pikir panjang Mikasa mengulurkan benda kecil tersebut kehadapan Jean. "Kamu bisa mendengarkannya sekarang. Mau coba dengar?" tawaran Mikasa membuat pemuda itu menoleh. Menatap benda kecil yang digenggam Mikasa.

                "Dengan senang hati," Jean mengambil benda kecil tersebut, lalu dikenakan di telinga kanan. Sedetik kemudian terdengar suara piano mengalun lembut. Setiap tuts ditekan hati-hati sesuai pertitur, berirama lambat membentuk simfoni indah. Hujan kala itu seketika menjadi sejuk. Rebas air berjatuhan, menyiram jalan aspal dan kanopi tepat di atas mereka. Satu dua orang terbirit-birit menghindar hujan. Tidak ada angin. Tapi laju mobil di jalan membuat desau. Jean terdiam, menangkap sosok perempuan di sisinya.

                Berkemeja putih. Dibalut blazer serta rok pendek ketat berwarna hitam. Rambutnya sedikit basah, sebagian diselipkan ke belakang telinga. "Hey," seru Jean.

                "Hn?" Mikasa merespon tanpa menoleh.

                "Kita tidak akan sampai ke tujuan jika hanya diam menunggu. Bagaimana jika hujan tidak akan berhenti hingga besok? Menunggu hanya membuang-buang waktu, terkadang menerobos hujan juga ada benarnya. Tidak peduli besok terserang demam. Aku harus bergerak mengambil keputusan, atau mengigil kedinginan di sini. Tunggu sebentar, aku akan mencari mini market untuk membeli payung," tukas Jean melepaskan air-pods-nya cepat. Kemudian berlari meninggalkan wajah meyakinkan. Sesaat lelaki itu menjauh darinya, hati Mikasa bergetar. Dia menyeringai. Andai lelaki itu tahu, bahwa kalimatnya barusan membuat Mikasa terpukul.

                Secara tidak sadar ... andai dia tahu ...

                "Ah ..." Mikasa mengehela napas berat. Kemudian kembali memandang jalan dengan tatapan kosong. Sekelibat, nama Eren terlintas di kepalanya. "Apa kabar orang itu?" seringai Mikasa kian terasa getir. Mikasa meringis, eufoni Liszt---Consolation no.3 terus mengiringinya selama menunggu Jean kembali. Apa benar yang dia tunggu adalah Jean? Hati Mikasa meneriakan kata bukan dengan lantang.

                Pangeran berkuda putih? Bukan! Limousine mewah menjemputnya? Juga bukan! Lantas apa?

                Mikasa diam-diam teringat akan cinta pertamanya yang berakhir tragis. Air mata muncul dari ekor mata. Sakit. Sekuat tenaga Mikasa seka lecap di matanya. Meredam rasa yang mendadak berkecamuk, berusaha untuk tetap terlihat normal. Mikasa tidak mau Jean datang melihatnya menangis, pasti dia akan heran.

                Oleh sebab itu, sampai langkah kaki Jean terdengar jelas mendekatinya Mikasa harus tetap tegar, membuat raut wajah seolah tidak terjadi apa pun. Selang beberapa menit, suara lelaki menegurnya sembari membawa payung bersemu transparan.

                "Nona cantik yang di sana. Mohon maaf di mini market hanya tersisa satu payung, mau kah kamu berjalan dengan satu payung denganku?" senyum teduh lelaki itu seperti penyakit menular bagi Mikasa. Terbukti, dia ikut tersenyum.

                "Saya keberatan, tapi apa boleh buat. Seperti yang kamu bilang, berdiam diri tidak akan membawa kita sampai ke tujuan. Bagai mana jika hujan akan terus turun sampai besok? Aku tidak rela menggigil kedinginan di sini. Aku bersedia," imbuh Mikasa berlari-lari kecil menghampiri Jean.

                "Padahal aku saja yang menghampirimu. Dasar tidak sabaran," Jean membuat nada gerutu, tapi Mikasa tidak ambil pusing, dia tahu Jean mengajaknya bercanda.

                Mikasa yang berjalan di sisi kiri bersebelahan dengan jalan raya. Jean alihkan Mikasa di sisi kanan, menggantikan posisinya. Jean hanya tersenyum saat merengkuh pundak Mikasa. Perempuan itu terpaku memandang wajah Jean, Mikasa paham maksud Jean. Melindunginya.

                "Ayo jalan," lisan Jean hingga sang pemilik payung menaikan kedua halis. Sekilas, Mikasa mengangguk.




                Kemudian mereka berjalan beriringan di bawah payung yang sama. Satu tangan Jean yang memegangi payung tersebut. Mikasa terdiam menjaga jarak dengan Jean agar tidak terlalu berdekatan. Sepatu mereka mulai basah dan terasa dingin. Suara riak hujan masih setia menemani sepanjang jalan. Bagi orang asing yang melihat, mereka seperti sepasang kekasih. Padahal kenyataannya, mereka berjalan dilingkupi rasa kecanggungan.

                Hingga tiba di gedung apartemen. Mereka banyak berdiam, mulai dari berjalan melewati pintu lobby, bergerak menuju elevator, melangkah menuju unit. Mereka tenggelam dalam diam. Hanya Jean yang sesekali mencuri pandang. Ketika Mikasa berada di pintu unit 804, sontak kaki Mikasa berhenti.

                "Aku masuk dulu. Terima kasih," singkat Mikasa berhadapan dengan lelaki itu. Jean mengiyakan.

                "Sampai nanti. Aku di unit 805 semoga kamu tidak lupa." Mata Mikasa berputar malas. Ayo lah, lelaki itu masih mengajaknya bergurau.

                Saat hendak menghilang di balik pintu, Jean seketika menahan pintu tersebut agar tidak tertutup. Menarik gagang pintu dengan cepat. "Tunggu!" sergahnya. "Apa sebaiknya kita mulai bertukar nomer atau id media sosial untuk berkomunikasi?" entah ide dari mana. Mulut serta anatomi tubuh Jean bergerak dengan sendirinya. Jean meruntuk dalam batin, menyadari apa yang dia perbuat. Argh, Jean merasa malu.

                "Tidak masalah. Lagi pula kita bertetangga."

                Jean terbelalak. Dia pikir Mikasa akan menolak permintaanya mentah-mentah. Akibat efek magis miserius, muncul senyuman menghias di bibir Jean.






Sudah lama gak nulis, berasa kaku banget tulisan. Aneehh 😭😭 vomment yg banyak ya! Luvvv

Continue Reading

You'll Also Like

470K 46.9K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
77.5K 7.7K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
98.4K 17.7K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
127K 9.1K 57
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote