Our Apartment

By TaniaMs

414K 23.8K 787

NICOLE selalu menganggap JUSTIN adalah sahabatnya, karena mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Namun, Ju... More

Our Apartment
Our Apartment [1]
Our Apartment [2]
Our Apartment [3]
Our Apartment [4]
Our Apartment [5]
Our Apartment [6]
Our Apartment [8]
Our Apartment [9]
Our Apartment [10]
Our Apartment [11]
Our Apartment [12]
Our Apartment [13]
Our Apartment [14]
Our Apartment [15]
Our Apartment [16]
Our Apartment [17]
Our Apartment [18]
Our Apartment [19]
Our Apartment [20]
Our Apartment [21]
Our Apartment [22]
Our Apartment [23]
Our Apartment [24]
Our Apartment [25]
Our Apartment [26]
Our Apartment [27]
Our Apartment [28]
Our Apartment [29]
Our Apartment [30]
Our Apartment [31]
OUR APARTMENT AFTER STORY

Our Apartment [7]

13.2K 775 5
By TaniaMs

Hai! Selamat siang :)

Saya hadir dengan membawa Our Apartment setelah terakhir kali muncul dengan kata END pada The Half-blood Vampire After Story...

Tenang... kali ini tidak ada kata END di akhir part ini, hehehe

HAPPY READING!

AWAS TYPO!

oOoOoOoOo

Tok! Tok!

"Ya?" Nicole mengangkat kepalanya dari novel yang sedang di bacanya ketika pintu kamarnya di ketuk. Namun dia tidak bergerak sama sekali dari tempat tidurnya.

"Ada Justin di bawah, Nic."

Nicole mengerucutkan bibirnya. "Aku tidak mau bertemu dengannya, Mom."

"Sayang, kau tahu dia sedang..."

Nicole buru-buru bangkit dari tempat tidurnya, mengumpat keras ketika kakinya terbelit selimut. Tinggal selangkah lagi untuk sampai ke pintu hingga dia bisa mengunci pintu kamarnya ketika pintu kamarnya tersebut terbuka lebar.

Justin muncul di hadapannya dengan seringai lebar. Lisa—ibunya hanya bisa tersenyum pasrah. Nicole menatap keduanya dengan cemberut, lalu detik selanjutnya dia segara memutar tubuhnya dan kembali menuju tempat tidurnya. Melanjutkan bacaannya.

"Justin, kau mau cokelat panas?"

Justin memutar tubuhnya dan tersenyum manis pada Lisa. "Jika kau tidak keberatan, Lisa."

"Tentu tidak, Just." Lisa melirik putrinya yang terlihat tak acuh pada mereka berdua. "Nah, kusarankan agar kau hati-hati padanya," ujarnya sambil menunjuk Nicole dengan dagunya.

Justin tertawa kecil sambil mengangguk. Begitu Lisa meninggalkan mereka, Justin menutup pintu kamar Nicole.

Mengabaikan Nicole, Justin duduk pada sofa baca milik Nicole. Dan dia mengedarkan pandangan. Kamar Nicole tidak banyak berubah semenjak terakhir dia melihatnya. Mungkin hampir setahun dia tidak memasuki kamar Nicole. Terakhir dia masuk ketika menjenguk Nicole karena gadis itu demam, dan tidak mau di rawat di rumah sakit.

Satu sisi dinding kamar Nicole di isi dengan meja bacanya, dan di atasnya ada seperangkat komputer yang sudah jarang di gunakan semenjak Laptop mulai bertebaran. Di samping meja itu berdiri sebuah rak buku setinggi satu meter dan di penuhi oleh koleksi novel gadis itu. Meskipun penuh novel, jangan harap kau bisa menemukan debu disana. Bahkan setitik pun. Nicole benar-benar merawat koleksinya dengan baik. Disamping rak buku itu, ada lemari kaca yang isinya adalah tas dengan berbagai model maupun warna.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Nicole.

Justin tersentak, dan mendapati Nicole sudah berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. "Apa?"

Nicole mendengus. Dia bersidekap sebelum berkata, "Bukankah kau dengar? Aku tidak ingin bertemu denganmu, Tuan Bieber Yang Terhormat."

"Wah, sayang sekali. Padahal aku sangat ingin bertemu denganmu," balas Justin dengan wajah pura-pura terluka.

Nicole berdesis dan memukul kepala Justin dengan novel yang sedang di bacanya. "Aku sedang serius!"

Justin terkekeh dan ketika itulah Lisa masuk sambil membawa dua mug cokelat panas. Dia menatap putrinya itu dengan tatapan memperingatkan. "Nicole, berhentilah bersikap kasar! Kau mau melajang seumur hidupmu karena sifat bar-barmu itu?!"

Nicole menatap Lisa tak percaya. "Mom?"

"Bagaimana kalau tidak ada laki-laki diluar sana yang mau denganmu, hah?! Kau bisa apa?!"

Nicole semakin melongo. "Mom! Kau bicara apa?"

Justin mengangkat tangan kanannya, meminta perhatian. "Lisa, kalau tidak ada laki-laki diluar sana yang mau dengan Nicole, aku rasa aku bersedia."

Nicole memutar kepalanya dengan cepat ke arah Justin. Dia melotot pada laki-laki itu. "Bisa tidak kau tutup mulut besarmu itu sedetik saja?!"

Lisa meletakkan nampan yang di bawanya ke atas meja, dan melayangkan sebuah pukulan tepat di puncak kepalanya putrinya itu. "Jaga ucapanmu, Nicole Athena Chance!" lalu dia beralih pada Justin, "Justin, dengar. Jangan terlalu lemah dengan Nicole. Kalau dia mengatakan hal-hal kasar padamu, kau bisa memukul kepalanya atau melakukan apapun asal dia menutup mulutnya itu! Mengerti?"

Justin tertawa kecil karena Lisa berpihak padanya. "Tentu saja, Lisa. Aku akan melakukan 'apapun' untuk menutup mulutnya. Kau tidak perlu cemas."

"Bagus." Lisa menepuk pundak Justin penuh sayang.

"Astaga, Mom! Kenapa kau berpihak padanya, hah? Kau lupa, aku ini putrimu!" seru Nicole dramatis.

Lisa berdecak dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Nicole. "Kau bahkan akan 24 tahun musim gugur nanti, tapi kau masih kekanakan."

"Aku tidak kekanakan," bantah Nicole.

"ya, kau gadis yang kekanakan dan bermulut kasar!" Lisa segera meninggalkan kamar Nicole sebelum semuanya bertambah kacau. Nicole benar-benar bisa menyulitkan semua orang kalau dia mau.

Nicole mendengus keras-keras. Dia mengipasi wajahnya sendiri dengan telapak tangannya. Seolah-olah keringat sedang menumpuk di wajahnya karena percakapannya dan Lisa barusan.

"Ah, ini benar-benar nikmat," decak Justin. "Nic, kau harus mencobanya."

Nicole menatap Justin sejenak, lalu berteriak keras. "Aaaaaakh!!!!!"

Justin terlonjak mendengar teriakan Nicole. Dia mengambil bantal sofa di dekatnya dan melemparnya tepat mengenai kepala Nicole, membuat gadis itu terdiam. "Kau mau membuatku tuli?"

Nicole mendengus keras, lalu menatap Justin dengan tatapan membunuh. "Kau mau mati?!" bentaknya sambil balik melempar bantal sofa pada Justin.

Justin terkekeh. "Lisa bilang, aku bisa melakukan apapun untuk menutup mulutmu itu. Apapun."

Mata nicole menyipit. "Simpan seringaimu, Sialan! Aku tahu kau sedang memikirkan hal kotor dengan otak mesummu itu!"

Justin semakin tertawa. "Kau mengerti diriku dengan baik, Nic. Kau pasti tahu kan, dengan apa aku akan menutup mulutmu? Jadi berhenti mengatakan kata-kata kasar."

"Cih!" Nicole mencibir dan kembali menuju tempat tidurnya. Dia meletakkan novel yang sempat di bacanya di atas nakas, lalu mengubur seluruh tubuhnya di balik selimut.

Justin menatap gundukan di tempat tidur. "Hei, Nic! Kau benar-benar akan tidur? Sekarang bahkan masih jam 11 pagi."

"Silahkan bicara sendiri, Tuan Bieber."

Justin tertawa, dan menghampiri tempat tidur. Dia duduk di sisi kosong yang tidak di tiduri Nicole. "Hei, aku serius. Aku penasaran kenapa kau tidak membalas pesan atau mengangkat teleponku sejak kemarin sore."

"Kau pikir saja sendiri," cetus Nicole dari balik selimut.

Justin mengulum senyum. "Aku sudah memikirkannya, dan kurasa tidak ada yang salah dengan ucapanku."

Nicole menurunkan selimutnya hingga sebatas leher. "Tidak ada yang salah katamu?!"

Justin mengangguk dengan polos.

"Yak Sialan! Kau—"

Cup!

Nicole melotot karena Justin baru saja mencuri ciuman darinya. "Sudah bosan hidup?!"

"Aku bisa memukul kepalamu atau melakukan apapun yang aku mau untuk menutup mulutmu ketika kau mengatakan hal-hal kasar. Dari pada memukul kepalamu, lebih baik aku menutup mulutmu itu, kan?" balas Justin sambil tersenyum manis.

Nicole menghembuskan napas keras. "Yang benar saja!" Nicole meletakkan tangannya di atas keningnya. "Dasar laki-laki! Dia benar-benar menjalankan otak mesumnya itu dengan baik," gerutunya.

"Kembali pada topik sebelumnya," ujar Justin. "Jadi kenapa kau mengabaikanku?"

Nicole menatap Justin tajam. "Kau mengatakan pada Bella, kalau kau menciumku. Dan Bella, pasti tidak akan menyimpan informasi itu sendiri. Semua orang di kantormu pasti sudah tahu, sekarang! Aku harus menyembunyikan wajahku dimana, hah?!"

Justin menatap Nicole jengah. "Hanya karena itu? Astaga! Kau ini berlebihan sekali. Aku pikir karena masalah apa," ujarnya tak acuh lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Nicole merubah posisinya menjadi duduk. "Ini masalah serius! Bagaimana mungkin aku bisa ke kantormu lagi tanpa merasa malu, hah?! Hei Justin! jangan pura-pura tidur!"

"Itu hanya ciuman, Nic. Tidak usah berlebihan," balas Justin. "Memangnya apa yang salah dengan ciuman? Bahkan bocah-bocah yang masih di sekolah menengah saja sudah melakukannya."

Nicole menjambak rambutnya putus asa. "Buanglah sikap tak acuhmu itu sedikit! Kau tidak memikirkan apa dampaknya terhadap reputasimu? Kau pemilik perusahaan!"

"Lalu kenapa?" tanya Justin jengah. Terkadang dia memang tidak dapat mengerti jalan pikiran Nicole. "Aku hanya bilang, aku menciummu. Bukan menidurimu. Itu bukan apa-apa." Justin merubah posisinya menjadi menyamping, hingga dia bisa menatap Nicole. "Lagipula, jika aku mengatakan kalau kita sudah tidur bersama, kenapa harus malu? Memangnya menidurimu sesuatu yang memalukan? Dan menciummu juga sesuatu yang memalukan?"

Nicole menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan emosinya. Namun ketika melihat seringai Justin, pertahanannya runtuh dan dalam sekejap dia sudah berada di atas tubuh Justin dengan tangan mencengkram leher Justin sekuat tenaga, hingga laki-laki itu tidak bisa bernapas. "Seharusnya kau yang menjaga mulutmu baik-baik, brengsek! Dan sekarang, enyahlah kau ke neraka!!" teriak Nicole penuh dendam.

oOoOoOoOo

Nicole menunggu dengan tegang. Saat ini, dia sedang berada di Seaton Elementary School, sebuah Sekolah Dasar yang cukup terkenal di daerah Washington DC, tidak jauh dari Rhode Island Avenue Northwest, sebelum akhirnya masuk ke 10th street northwest. Menghabiskan waktu 20 menit dari rumahnya karena dia harus terjebak macet. Dan setelah melihat GPS pada mobilnya, memang tidak ada jalan lain yang dapat di laluinya tanpa terjebak macet sama sekali.

Tentu saja dia tidak dalam rangka reuni ke sekolah dasar itu, meskipun dulu dia memang bersekolah disana. Kali ini, dia mendatangi bekas sekolahnya dalam rangka wawancara. Dia memang telah mengirimkan lamaran sekitar sebulan yang lalu, dan baru hari ini lah dia di panggil untuk wawancara. Panggilan wawancara ini datang kepadanya dalam bentuk surat elektronik yang baru dia terima sabtu kemarin.

Peminat untuk menempati guru seni di sekolah tersebut benar-benar di luar perkiraan Nicole. Dia pikir hanya ada segelintir orang, sepuluh paling banyak. Namun ternyata lebih dari itu, membuatnya sangat gugup.

Seorang laki-laki berusia awal 30-an keluar dari ruangan wawancara, dan Nicole merasakan tangannya semakin dingin. Gilirannya. Setelah seorang pegawai memanggil namanya untuk masuk, Nicolepun bangkit dari duduknya sambil memberikan sugesti pada dirinya sendiri.

Tepat ketika dia akan memegang gagang pintu, ponselnya berbunyi hingga dia sendiri terlonjak kaget. Sambil menahan umpatannya, Nicole melihat layar ponselnya dan menampilkan wajah Justin yang tengah tertidur di pesawat. Ingatkan aku untuk membuang foto laki-laki ini, batin Nicole geram. Tidak akan ada lagi foto di setiap kontak yang ada di ponselnya.

Dia memang punya masalah dengan kesabaran. Tapi anehnya, dia sangat menyukai anak-anak dan tidak bermasalah meskipun kebanyakan orang menganggap anak-anak menyebalkan. Karena itulah dia ingin menjadi guru sekolah dasar. Mungkin dia hanya mudah tersulut emosi pada orang-orang dewasa.

Dengan kasar, Nicole menggerser layarnya ke arah tanda merah pada ponselnya. Sebelum Justin meneleponnya lagi, Nicole memutuskan untuk mematikan ponselnya. Aku bisa tenang sekarang, Nicole mengucap dalam hati dan melangkah memasuki ruang wawancara dengan lebih percaya diri.

30 menit kemudian, Nicole sudah berada dalam perjalanan menuju kantor Justin. Dia tidak sabar memberi tahu laki-laki itu bahwa dia sudah melakukan wawancara, dan pasti di terima. Bukannya dia terlalu percaya diri, hanya saja dia merasa bahwa dia melakukannya dengan baik. Lagipula, nilai-nilainya yang memuaskan tentu tidak akan dianggap angin lalu oleh para penyeleksi. Setidaknya dia juga punya pengalaman.

Ketika kembali berhenti karena terjebak macet, Nicole mengambil ponselnya. Mengerutkan kening karena Lisa tidak kunjung meneleponnya. Biasanya Ibunya itu suka tidak sabaran. Dan teringat kalau dia mematikan ponselnya sebelum masuk ke dalam ruang wawancara saat Justin menelepon.

Setelah memastikan kendaraan di depannya belum bergerak, Nicole menghidupkan ponselnya. Tidak terkejut ketika banyaknya voice mail dari Lisa, dan satu dari Justin. Aneh sekali laki-laki itu hanya menghubunginya sekali. Seingatnya Justin setipe dengan Ibunya. Mereka tidak akan berhenti mengirimkan voice mail hanya dalam satu kali. Mereka akan terus mencobanya, dan kalau seandainya operator telepon bisa marah, mereka berdua pasti sudah di damprat habis-habisan.

Nicole memilih pesan suara dari Justin. Sedetik kemudian, suara Justin menyambutnya.

"Hai Nic. Aku mengerti kau tidak mau bicara denganku,"

Nicole mengerutkan kening begitu mendengar kalimat pembuka dari Justin. Memangnya dia kenapa tidak mau bicara dengan laki-laki itu?

"Aku tahu kata-kataku kemarin siang keterlaluan. Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud berkata kasar dan mengungkit-ungkit masalah sampai menidurimu dan semua kekacauan lainnya. Aku benar-benar minta. Kau tahu, aku hanya bercanda."

Nicole mengerti sekarang. Dia ingat kejadian kemarin siang. Setelah Justin bicara omong kosong tentang masalah tidur dan mencium, dia benar-benar menerjang laki-laki itu dan mencekik lehernya. Begitu Justin megap-megap tidak bisa bernapas, dia menjauhkan tangannya, dan langsung mengusir laki-laki itu sambil mengatakan bahwa dia tidak akan bicara dengan Justin di sepanjang sisa hidupnya.

Nicole tertawa kecil. Laki-laki itu seperti tidak mengenal dirinya saja. Dia memang marah saat itu. Tapi hanya di sepanjang hari itu. Begitu malam tiba, dan berganti dengan pagi, dia sudah melupakannya. Lagipula, bagaimana mungkin dia tidak bicara dengan Justin di sepanjang sisa hidupnya?

"Aku tahu ini terdengar seperti sogokan, tapi kalau kau mau memaafkanku, datanglah ke Old Ebbitt Grill. Kita makan disana. Aku traktir."

Nicole meletakkan ponselnya di tempat ponsel yang ada di mobilnya dan mulai menjalankan mobilnya. Lima menit sebelum jam istirahat kantor untuk makan siang. Masih 10 menit lagi sebelum sampai di kantor Justin. Jadi begitu terlepas dari kemacetan, dia segera berbelok ke arah kanan. Memutar arah. Menuju restoran yang disebutkan Justin.

"Dia tidak main-main," gumam Nicole sambil menyeringai. Restoran yang di sebutkan Justin merupakan restoran yang cukup terkenal. Terkenal karena makanannya sangat lezat, dan juga mahal. Old Ebbitt Grill berada tidak jauh dari gedung putih. Dari lantai dua, kita bisa melihat halaman gedung putih yang luas. "Aku akan membuatnya bangkrut dalam sekali makan," ujarnya penuh tekad.

oOoOoOoOo

18-08-2014

11:34

Please, Vote and Comment

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 44.1K 21
#2 ARCHER SERIES Tentang kisah cinta seorang bintang musik klasik terkenal dan seorang mantan atlet panjat tebing dari latar belakang keluarga konglo...
238K 2.3K 9
Jangan lupa follow yah _______________________ Dari sekian banyak hal, ada hal yang tidak pernah sekalipun di ketahui oleh seorang pria yang bernama...
400K 29.5K 39
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
1.7M 65K 96
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...