[✓] From 5317 Miles

Av Elfpath

70.2K 10.9K 996

Sebuah cerita sederhana antara Choi Seungcheol--seorang editor buku di perusahaan penerbit di Seoul, dengan Y... Mer

Prologue
Munich
Seoul
oktoberfest
Business Trip
First Meeting
Pretzel and Beer
Cold Pizza and Brandy
Kissing The Tipsy
Zweisamkeit
Like, Realizing Things
Ich liebe dich
Ich werde Sie vermissen
Home
Satan Temptation
A Wine of Advice
An Alley in Berlin
You Were Beautiful
Can't Lose What You Never Had
Lies
Won't You Say It
Standing Still
Umbrella
Last Chance
Epilogue
1/4 : Bonus Chapter
2/4 : Bonus Chapter
3/4 : Bonus Chapter
4/4

Answer

2.6K 374 62
Av Elfpath

Ia dapat merasakan sentuhan tangan sang editor terasa panas di setiap jengkal kulitnya. Sentuhan yang membahayakan untuk dirinya, yang sudah lama tidak ia rasakan dan ia rindukan. Salah satu tangan Choi Seungcheol turun ke pinggulnya, mengusap kulit yang tidak terbungkus sehelai benang yang membuatnya melenguh, menyebut nama lelaki itu dengan pelan.

Tubuhnya menangkap kehadiran Seungcheol dengan seluruh pori-pori dan sistem syarafnya, intensitas tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan dan kecupan sang editor buku membuatnya mencengkram punggung lelaki tersebut. Rasa yang berbeda dengan keadaan yang ia lakukan dengan orang lain.

"Jeonghan,"

Tubuhnya semakin gementar saat suara dalam nada rendah tersebut berbisik tepat di telinganya, yang kemudian menjatuhkan kecupan-kecupan singkat di leher jenjang tersebut.

"Don't go..."

Ia merasakan sakit yang tiba-tiba mendatanginya ketika lelaki itu berbisik di sela-sela ciuman, dan ia tersadar jika ia telah menjadi satu dengan Seungcheol sekali lagi.

Seungcheol dapat merasakan tubuh kurus lelaki berambut cokelat menegang sebentar, ia mendengarkan Jeonghan berteriak kecil dengan suara rendahnya. Ia merindukan suara yang Jeonghan buat, meskipun ia bukanlah satu-satunya yang pernah mendengarkan.

---x---

Sosok laki-laki dengan bulu mata indah terbangun dari tidurnya saat matahari menyerbu masuk dari balik tirai kamar yang terbuka setengah. Perlahan lelaki itu menggeliat dan mengarahkan tangannya ke samping, mencari sosok Yoon Jeonghan yang semalam tidur dalam pelukannya. Namun, saat ia merasakan bahwa tempat bekas Yoon Jeonghan tertidur terasa dingin, ia langsung terbelalak sempurna.

"Jeonghan?" ia memanggil, mendudukan dirinya di atas kasur dengan selimut yang jatuh ke pinggang dan menampakan tubuh tanpa pakaiannya.

Mendengar tidak ada jawaban dan merasakan keheningan yang tidak biasa di dalam apartemen kecil yang selalu berisik oleh suara televisi, Seungcheol bergegas beranjak bangun dan memakai pakaiannya yang tergeletak di lantai kamar.

Ia memperhatikan tidak ada yang aneh dari apartemen tersebut, semuanya terlihat sama seperti semalam kecuali lampu dapur yang menyala dan sebuah kertas tertempel di pintu kulkas.

Ia tertegun sesaat ketika menyadari mungkin kertas tersebut berisikan hal yang sangat ia tolak mentah-mentah, namun rasa penasaran mengalahkannya dan ia tarik kertas tersebut dari magnet yang menempel di kulkas.

Cheol, I'm sorry. i'm going. -J

"Brengsek." Seungcheol mendesis, mengepalkan kertas tersebut hingga tidak berbentuk dan membuangnya ke wastafel.

Ia segera kembali masuk ke dalam kamar tidur Yoon Jeonghan dan menghampiri lemari pakaian lelaki tersebut, membukanya dengan cepat dan menyadari bahwa jumlah pakaian yang ada di lemari yang selalu penuh tersebut berukrang, dan koper medium yang berada di bagian belakang lemari pun tidak ada.

Merasakan emosinya meninggi dan perasaan kesal berkecamuk di dalam dirinya, Seungcheol mendudukan diri di lantai, menghitung dari 1 hingga 10 untuk menenangkan diri--mengikuti saran Joshua untuk mengendalikan emosi.

Ia tidak mudah marah namun kelakuan Jeonghan kali ini sangat keterlaluan. Ia sudah memohon dan memberi peringatan terakhir bahwa mereka akan berakhir saat Jeonghan benar-benar kembali ke negara tersebut. Ia pikir saat Jeonghan melenguh di bawahnya kemarin, mereka sudah sepakat--untuk Jeonghan tidak akan pergi ke Jerman.

"Shit." Ia menggeram, merasakan kekesalannya masih belum menghilang.

Ia tidak mungkin bisa menghadapi Jeonghan jika lelaki tersebut akan seperti ini. Kabur ketika dihadapi oleh suatu masalah dan kenyataan, dan kembali seperti tidak terjadi apa pun. Ia pikir Jeonghan telah berubah namun pola pikir lelaki tersebut masih seperti Jeonghan beberapa tahun yang lalu.

Dengan segala rasa muak dan kesalnya, Seungcheol berdiri dan meraih dengan kasar jaket yang ia letakkan di atas meja kerja Yoon Jeonghan dan membuat beberapa benda yang ada di atas meja tersebut berjatuhan ke lantai, menimbulkan suara berisik yang semakin menjengkelkannya.

"Shit, shit."

---x---

Suara dengung halus mesin pesawat memekakan telinganya, ia tidak tahu sudah berapa lama berada di dalam pesawat yang akan mengantarkannya menuju Munich--namun, yang jelas memori bersama dengan Seungcheol kemarin malam masih teringat jelas. Ia masih ingat bagaimana lelaki itu memperlakukannya dengan sangat lembut, mengetahui hal kesukaannya tanpa perlu diberitahu dan memperlakukannya seperti pria pada umumnya.

Jeonghan menyerosotkan duduknya hingga kaki jengjangnya terjulur panjang dan membuat penumpang yang duduk di sampingnya melirik dengan tatapan tajam.

"Sorry, too much stress." ia bergumam dan membetulkan posisi duduknya, menyandarkan kepala ke jendela pesawat yang hanya menampilkan putih.

Saat seorang pramugari berjalan melewati barisan tempat duduknya, Jeonghan memanggil dengan pelan.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Saat ini pukul berapa?" ia bertanya, meskipun ia dapat melihat ponselnya tetapi kebiasaan mematikan ponsel secara total di dalam pesawat adalah kebiasaan--ia berpendapat airplane mode tidak selamanya aman.

"Sekarang pukul 4 sore, tuan."

Jeonghan terdiam sesaat. "Benarkah?"

Sang pramugari mengangguk.

"Boleh saya minta Bourbon? atau minuman beralkohol apa pun?"

"Kami hanya menyediakan cocktail dan whisky, Tuan."

Jeonghan mendengus. "Baiklah whisky, with ice."

Sang pramugari tersenyum. "Silahkan menunggu." sahutnya dan Jeonghan dengan pelan mengucapkan terima kasih lalu mengalihkan perhatiannya menuju sepatu sneakers yang ia kenakan.

Ia masih merasa sangat aneh mengetahui bahwa selama perjalanan lebih dari 10 jam di udara ia menghabiskan 8 jam untuk tertidur, karena biasanya ia tidak pernah tertidur selama itu di dalam pesawat.

Sejujurnya, ia sudah merencanakan untuk kabur ke Jerman sejak 2 hari yang lalu dan memberitahu Seungcheol kemarin malam berada di luar rencana--ia tidak pernah ingin menghubungi Seungcheol, ia ingin pergi diam-diam dan menenangkan pikiran lalu kembali saat sudah merasa lebih baik.

Persetan dengan rasa marah dan ancaman yang Seungcheol lontarkan kepada dirinya kemarin, ia sudah memutuskan dengan bulat dan Seungcheol tidak punya hak untuk melarangnya pergi. Meskipun merasa menyesal karena meninggalkan lelaki itu begitu saja di ranjang, setelah bercinta, tetapi ia tidak peduli--ia harus pergi ke Jerman, ia harus mengumpulkan lagi kewarasannya dan menghilangkan opini Joshua yang berputar dalam pikirannya.

Setan.

Persetan.

Jeonghan meremas tisu basah yang ia buka dari kemasan dengan erat, membuat air yang berada di dalam tisu tersebut keluar dan membasahi celana jeansnya--membuat bentuk bercak-bercak air yang terlihat menyedihkan.

"This fucking plane is slower than our sex activities." Jeonghan mengumpat, lututnya memantul-mantul di tempat, merasa sangat tidak sabar karena pengumuman pendaratan belum juga tiba.

Kedatangan pramugari yang membawakannya segelas whisky membantu pikirannya untuk lebih tenang, meskipun ia tidak berhenti mengoceh dalam bahasa inggris dan jerman yang bercampur, sambil berulang kali memandang ke arah jendela. Ponsel yang ia matikan membuatnya sangat gugup, ia membutuhkan ponsel untuk menanyakan ke Wendy jika pilihannya tepat.

Atau menanyai Axel.

Atau ia ingin menghubungi Choi Seungcheol dan menanyai lelaki tersebut jika mereka masih memiliki kesempatan yang lain.

---x---

"Terima kasih karena sudah menjemputku," kata Jeonghan kepada sosok wanita dengan rambut sebahu yang dicat berwarna hitam ketika baru saja tiba di flat milik wanita tersebut. "Aku benar-benar berhutang untukmu."

"The fuck, Hani? Since when you acted this way? All polite and not-like-you at all?" ujar Wendy dengan gelak tawa sambil melepas syal yang melingkari lehernya, cincin yang melingkar di jari manis tangan kanan menarik perhatian Jeonghan.

"Cincin dari siapa?"

"Oh ini," Wendy tersenyum memandangi cincinnya. "Ibuku, dia memberikanku cincin ini karena she thought i already grown up enough to have family most precious ring." sahutnya lalu merebahkan diri di samping Jeonghan yang bersandar di sofa.

Yoon Jeonghan baru saja tiba di flat baru Wendy yang berada di kawasan pinggiran Munich yang berada di kawasan Sendling Westpark, daerah yang jauh dari kesan modern dan urban yang sangat kontras dengan image Wendy Shon. Ia memperhatikan flat yang berukuran tidak jauh berbeda dengan flat yang pernah wanita itu tempat di Bonn, seluruh isi flat tertata dengan rapih meskipun sudut workspace Wendy masih sama berantakannya dengan yang ada di Bonn.

"Aku kira pemberian pacarmu."

Wendy menaikan kedua kakinya ke atas meja dan bersandr ke pundak Jeonghan. "Tidak ada waktu untuk romansa, Hani. Melihat kehidupan romansamu sudah membuatku cukup traumatis."

"Danke for the shade."

"Bercanda," sahut Wendy. Lalu ia terdiam dengan memandang langit-langit flat yang ia cat dengan warna kuning, dan bertanya. "Apa yang sebenarnya kau takutkan, Hani? Kamu mendapatkan laki-laki yang sangat baik dan sabar seperti Choi."

"Aku... mungkin aku sebenarnya meragukan diriku."

"Dirimu?"

Jeonghan bergumam. "Yeah, seperti yang aku sudah ceritakan lewat telepon tempo lalu. Aku tidak tahu apakah aku sepantas itu untuk mendapatkan sesuatu yang sangat sempurna seperti dia? Kau tahu setiap hal memiliki tanggal kadaluarsanya, termasuk cinta dan tinggal menunggu waktu sampai ia bosan denganku."

"Lalu kamu ingin sendiri selamanya?" Wendy bertanya, nada protes terdengar sangat kental di suara nyaring wanita itu.

"Tentu saja tidak."

Wendy membenarkan posisi duduknya, kini beringsut memutar badan ke samping dan menatap wajah Jeonghan dengan lekat. "Kau mencintainya?"

Jeonghan mengerutkan kening. "Tidak."

"Menyukainya?"

"Kinda, i like him. He's just perfect fit. Why?"

"Apa yang kau suka dari Choi?" Wendy bertanya, kedua manik matanya menunjukan rasa penasaran terhadap jawaban selanjutnya.

"Oh," Jeonghan tersenyum ketika mengingat sesuatu yang menggelitik ingatannya. "Aku pikir saat ia menjelaskan tentang Brandenburg ketika kami pergi ke Berlin, ia lebih mengetahui sejarah negara ini daripada aku."

"Hanya itu?"

Jeonghan mengerut, menatap wanita yang mengenakan dress terusan berwarna kelabu yang membuat kulit Wendy terlihat lebih pucat. "I'm not your story object, bitch."

"Kau bodoh terkadang." Wendy mendegus, bangkit berdiri dan berjalan menuju lemari penyimpanan yang terletak di antara dapur dan ruang televisi. "Kalau dia bosan denganmu, seharusnya ia sudah pergi meninggalkanmu sejak kau menyakitinya. Nobody but him can collect your ungrateful and messy ass."

Jeonghan ingin membalas perkataan tersebut namun kata-kata yang ingin keluar dari mulutnya berhenti ketika melihat Wendy mengeluarkan dua botol beer Märzen yang paling laku ketika oktoberfest menjelang dan melihat Märzen di awal tahun membuatnya mengerutkan kening.

"Sisa dari oktoberfest bulan lalu, masih bisa diminum." Wendy menyahut seakan mengetahui isi kepala Yoon Jonghan dan menyodorkan botor beer yang tutupnya telah terbuka.

"Prost! Euch ist bekannt was wir bedürfen, wir wollen starke Getränke schlürfen." Jeonghan berujar dengan senyum mengembang di bibirnya dan membenturkan secara pelan kedua botol beer hingga menimbulkan suara berdenting.

"Faust? You know Faust?"

Jeonghan tertawa. "That asshole pushed me to read Faust."

"An asshole you love?"

"Oh! Shut up!"

---x---

Choi Seungcheol melajukan sedan buatan KIA empat tahun yang lalu di sepanjang jalan menuju apartemennya yang berada di Itaewon, perasaannya bercampur aduk sejak ia keluar dari restauran tempat orangtuanya mengatur acara kencan buta. Ia tidak ingin mempermalukan kedua orangtuanya seperti tadi, namun bayangan Yoon Jeonghan di malam itu tidak dapat hilang dari pikirannya dan bagaimana hatinya terus berpaling dan tetap menginginkan sosok lelaki brengsek seperti Jeonghan.

Ia akan berurusan dengan ibunya nanti, tetapi ia tidak bisa untuk menahan perasaannya lebih lama ketika saat hidangan utama datang ia mendapatkan sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak ia kenal.

"Siapa?" ia bertanya, setelah meminta diri untuk permisi dan menjawab telepon.

Kedua matanya melebar saat orang yang berada di ujung panggilan menjawab dan selama itu pula ia tidak dapat memberikan balasan apa pun selain kata-kata 'ya' dan 'tentu' ketika orang itu terus mengoceh di panggilan masuk.

Sesekali ia melirik ke arah wanita yang terlihat sudah mulai memakan hidangan seafood yang terlihat sangat menggiurkan.

"Thank you, really." sahutnya kemudian sebelum memutuskan panggilan.

Kemudian saat ia kembali ke meja, seperti mendapat dorongan lain ia membuka suara dengan kata-kata sesopan mungkin berkata. "Sunghwa-ssi, terima kasih telah datang di makan malam ini."

"Saya juga berterima kasih, anda sangat baik melampaui ekspektasi yang Nyonya Choi ceritakan." perempuan dengan rambut panjang yang tergerai itu tersenyum.

"Tetapi, saya tidak dapat melanjutkan acara makan malam kali ini." ia berujar kembali. "Ada urusan penting yang harus saya selesaikan malam ini."

"Oh, benarkah?" raut wajah kecewa terlihat sangat jelas di wajah cantik tersebut.

"Untuk selanjutnya, mungkin kita bisa berteman karena saya sudah memiliki kekasih, Sunghwa-ssi." balas Seungcheol dengan senyum lembut lalu beranjak berdiri dan membungkuk sedikit sebagai tanda permintan maaf.

Dan saat ia belok ke kanan setelah lampu merah di perempatan yang selalu padat, Seungcheol melirik menatap beberapa lembar foto yang ada di dalam plastik bening di atas dashboard mobil. Cetakan-cetakan foto tersebut ia temukan di kamar tidur Jeonghan, sesaat setelah ia menjatuhkan barang-barang di meja kerja lelaki itu.

Awalnya ia tidak ingin berspekulasi terlalu banyak ketika menemukan foto-foto tersebut tetapi saat mendapatkan telepon di resturan tadi, mungkin ia memang tidak bisa untuk melepaskan Yoon Jeonghan. Mungkin, ia harus menjadi pihak yang selalu menarik Jeonghan tetap berada di akal pikirannya.

---x---

Setelah pulang dari acara pameran seni di Schwanthalerhöhe, sebuah distrik terpadat di Munich, yang diselenggarakan oleh tempat Wendy bekerja, Jeonghan kembali ke flat di Sendling Westpark tanpa menunggu Wendy untuk pulang bersama. Bangunan flat yang hanya terdiri dari 5 lantai dan setiap lantai hanya memiliki 3 kamar flat membuat bangunan tersebut seperti sebuah penginapan, ketimbang tempat tinggal untuk wanita berkarier seperti Wendy. Ia tidak menyukai suasana sepi di Sendling Westpark, terlalu damai.

Untuk pertama kalinya tinggal di suatu tempat, Jeonghan yang selama lima hari di Sendling Westpark tidak memiliki hasrat untuk mengeliling distirk tersebut. Daerah yang sangat menjemukan untuk seorang Yoon Jeonghan. Saat ia sudah sampai di depan pintu flat Wendy yang terdapat stiker bergambar kucing hitam dan ingin memutar knop pintu tersebut, kedua alisnya merengut.

Ia ingat kalau dia telah mengunci pintu flat.

Meskipun ia tahu kalau Wendy kembali lagi ke flat setelah ia berangkat, tetapi tidak mungkin Wendy yang sangat teliti dengan cerobohnya lupa mengunci pintu flat sendiri.

Dengan perasaan gugup dan was-was, Jeonghan melangkahkan kaki masuk ke dalam flat berukuran kecil tersebut dan seakan detak jantungnya berhenti, ia merasakan napasnya tercekat ketika melihat sosok yang berdiri di depan lemari penyimpanan beer milik Wendy Sohn.

"What are you doing here?" ia melontarkan kata-kata tersebut dengan nada yang cukup kasar dari yang seharusnya.

Lelaki dengan parka berwarna merah dan celana jeans hitam menengok ke arahnya, memamerkan senyum cerah yang mengembang tidak mempedulikan intonasi kasar yang diterimanya. "Hi, Jeonghan."

"Untuk apa kau kesini, Choi Seungcheol?" tanya Jeonghan lagi dengan suara mendesis.

Melihat Choi Seungcheol berdiri di depannya, dalam jarak beberapa langkah membuatnya merasa bingung. Ia tidak mengerti kenapa Choi Seungcheol berdiri di dalam flat milik Wendy Sohn, bagaimana laki-laki itu memutuskan untuk datang ke Jerman--ke negara yang sepertinya bukan menjadi kesukaannya.

"Menemuimu." sahut Seungcheol dengan enteng. "Aku merindukanmu, kau tahu itu?"

Kening Jeonghan berkerut. "Besok aku akan pulang, Seungcheol. Kau tidak perlu bersikap aku tidak akan kembali."

Seungcheol mendegus dengan senyum masih melekat di bibir, lalu berjalan menghampiri Jeonghan dan menarik lelaki yang tingginya tidak terlalu berbeda ke dalam pelukan dan memberikan kecupan di pelipis.

"Aku hanya merindukanmu, oke? kenapa kau harus selalu--selalu tidak mempercayai setiap perkataanku?"

Jeonghan tertawa dan perlahan mengangkat tangannya, membalas pelukan erat Seungcheol. "Kau tidak pernah mengatakannya lagi." katanya cepat. "Dulu... dulu kau sering mengatakan kau menyukaiku. Sekarang tidak lagi."

Seungcheol terdiam di tempat mendengarkan perkataan Jeonghan yang di luar dugaannya. Benar, ia sudah lama tidak pernah mengatakan kata-kata itu--ia tidak pernah yakin apakah Jeonghan memiliki perasaan yang sama dengannya.

"Aku tidak memaksamu tahu." Jeonghan berujar kembali, suaranya terdengar pelan.

"Tidak, aku tidak pernah merasa terpaksa karena aku benar-benar menyukaimu." Seungcheol menyahut dengan cepat. "Bagaimana denganmu?"

Lelaki berambut cokelat itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seungcheol, meninggalkan sebuah ciuman kecil sebelum berkata. "Aku... nyaman denganmu. Jangan paksa aku untuk mengatakan itu, tetapi aku ingin bersamamu."

Mendengarkan perkataan Jeonghan yang terdengar sangat jujur dan rapuh--tangan kurus itu mencengkram parkanya dengan erat, Seungcheol hanya bisa menghela napas dan mengangguk--ia sudah dapat menebak Jeonghan akan bereaksi seperti ini. Mungkin, ia memang tidak bisa semudah itu untuk membuat Jeonghan membalas perasaannya melalui perkataan, tetapi dari cara lelaki itu memandang dan memeluknya ia tahu betul mereka memiliki perasaan yang sama.

"Seperti ini saja sudah cukup." Ia tersenyum saat mengatakannya dan merasakan sesuatu yang hangat menjalar di sekujur tubuhnya, inikah yang disebut kebahagiaan?

Jeonghan mengangguk dan melepaskan pelukannya, memandang Seungcheol yang menatap lurus ke arahnya--lalu ia berjinjing sedikit sebelum memberikan sebuah kecupan kecil di bibir Choi Seungcheol.

"Kau.. bisa meminta yang lain, Seungcheol." Jeonghan berujar, menjawab pertanyaan yang tidak Seungcheol katakan kepadanya tetapi dapat terbaca jelas di raut wajah lelaki tersebut. "Aku tidak akan pergi lagi."

"Kalau kau tidak keberatan, bolehkan aku menemanimu selamanya?" tanya Seungcheol dengan suara berbisik setelah membalas ciuman kecil yang Jeonghan berikan. "Aku ingin menadi satu-satunya orang yang membuatmu nyaman."

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Jeonghan merasa tidak keberatan dengan apa pun yang laki-laki ini katakan. Mungkin perkataan Wendy dan Axel tempo hari menyadarkannya, atau mungkin ia sudah merasa lelah dengan permainan yang ia buat sendiri.

"Boleh, aku memiliki siapa pun untuk menggantikanmu." Ia berkata, menyatakan kesediannya dan melihat senyum lebar mengembang di bibir Seungcheol hingga tertarik ke mata, sebuah ekspresi yang baru pertama kali ia lihat.

"Baiklah." Seungcheol berujar dan memberikan ciuman di bibir tersebut kali ini Jeonghan mengeratkan ciuman mereka lebih lama, menarik bibir bawah lelaki dengan bulu mata indah tersebut sebelum menghentikan ciuman mereka. "Aku baru saja melamarmu Jeonghan, dan kau bersedia? Ini bukan mimpi kan?"

Mendengarkan pertanyaan tersebut membuatnya meringis dalam hati, bagaimana Seungcheol terdengar seperti pernah memimpikan melamar dirinya.

'You only live once, Jeonghan. Take it or break it.'

Suara Axel terngiang di kepalanya dan mungkin itu lah dasar dari kenapa ia memilih untuk berdamai dengan keadaan, dan menerima sesuatu yang telah tersedia di hadapannya.

Jeonghan tersenyum meyakinkan, sesuatu yang terlihat sangat di luar karakter dirinya tetapi seperti kata Axel you only live once, take it or break it.

"Seungcheol, kau harus memberikanku cincin setelah ini."

  ------------------- TAMAT -------------------


2690 words

Halo semuanya!

Akhirnya sampai juga di penghujung cerita ini~ aku emang sudah merencanakan untuk mengakhiri di chapter ke - 25 ini dan dengan ending yang seperti ini semoga kalian puas ya. Harus puas lah ya ;D

Silahkan untuk saran dan kritik serta pertanyaannya~

Mohon maaf jika cerita ini masih banyak kekurangan, plot hole dan kalimat-kalimat yang tidak berkenan di hati kalian. Sampai jumpa di cerita selanjutnya dan terima kasih telah mengikuti cerita ini sampai akhir.

Love you.

xoxo

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

89.5K 16.2K 41
[COMPLETED] 'Listen to your heart' adalah sebuah program radio favorit yang kini tengah digemari oleh banyak orang. Sebuah program radio yang bukan h...
905K 75.4K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
140K 19.7K 103
[Selesai] Metanoia (n.) The journey of changing one's mind, heart, self, or way of life. Kita hidup dengan melalui banyak perjalanan, setiap langkah...
38.2K 5.1K 9
Jatuh cinta pada sahabatmu sendiri memang tidak mudah. Apalagi ketika sahabatmu bukanlah orang yang peka dan seringkali menyakitimu tanpa sengaja de...