Semu [Completed]

By sajakgadis

55.8K 3.8K 150

"Ck. Kenapa sih setiap ketemu, selalu dalam kondisi memprihatinkan?" Suara itu, cukup membuatku mendongak mem... More

Prolog
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14.
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
36
37
38
39
40
Epilog
Extra part

35

811 72 2
By sajakgadis

Alasan?
Alasan itu menguap atau yang sebenarnya, memang tidak pernah ada?
Mereka menanyakan, mengapa aku jatuh hati padamu, Aldi.

♡♡♡

Aku mengumpulkan kertas ulangan dadakan yang dibuat oleh Bu Denok dengan perasaan riang. Bukannya mengeluh seperti sebagian siswa lelaki disini. Sementara yang sudah selesai bisa menikmati jam istirahat lebih awal.

"Alda. Tolong besok kamu bawa Fotocopy Kartu keluarga sebanyak tiga rangkap. Nanti letakkan di meja saya!" Titah Bu Denok sembari melihat jawaban dari ulanganku.

"Baik bu." Aku mengangguk sambil tersenyum. "Semakin hari, perkembangan nilai kamu terus meningkat. Kembangkan! Siapa tahu kamu bisa lolos SNMPTN." Tambah Bu Denok lagi. Oh, jangan lupakan raut datarnya.

"Aamiin, Terimakasih bu." Bu Denok hanya mengangguk dan aku langsung pamit keluar. Tujuan utamaku yaitu kantin.

Sesaat perasaanku membaik. Walaupun masih sedikit kesal jika mengingat insiden pagi tadi. Dimana Aldi hanya diam saja melihatku diseret, malah memberi jalan untuk mempermudah seretan Affan terhadapku.

"Pak, batagornya satu porsi makan sini nggak pakai kubis ya? Sama es teh nya ini, Alda ngambil satu."

"Siap neng."

Aku mencari tempat duduk bagian pinggir barisan kiri. Memudahkanku kembali jika nanti mulai ramai, sehingga tidak perlu berdesakan. Aku mengucap terimakasih sesaat setelah pesananku datang.

Aku memakannya dengan khidmat, tidak membawa smartphoneku sama sekali. Tidak menginginkan ketenangan yang kuciptakan terganggu. Yah, walaupun aku tidak yakin ada yang menghubungiku.

Aku mendengar suara pergerakan dihadapanku. Aku memandang lurus, sedetik kemudian aku memutar bola mata malas melihat siapa yang duduk dihadapanku. Affan. Dia sudah menyelesaikan ulangannya.

"Kayak jelangkung aja." Gumamku mengejeknya. Aku bersyukur karena Affan mendengarnya.

"Ini kan tempat umum, boleh-boleh aja dong duduk disini." Affan mengedikkan bahu, aku menaikkan sebelah alis.

Ternyata Affan emang geblek!

"Emang siapa yang nglarang lo sih?" Aku tersenyum penuh kemenangan menatap Affan. Yang ditatap seperti itu malah mendengus.

Keheningan timbul disekitar kami, aku memilih melanjutkan makanku membiarkan Affan saja yang memulai percakapan ini.

"Lo nggak makan?" Aku yang tidak tahan, segera bertanya untuk memecah keheningan ini. Dengan Aldi aku bisa tenang jika hening, kenapa tidak dengan Affan? Eh, kenapa aku membandingkan mereka? Jelas saja tidak sama.

"Udah kenyang."

Aku mengangguk tidak bertanya lagi, dan terus melanjutkan makanku. Tapi, kenapa aku merasa Affan memperhatikanku-memandangku-?

Huh, Affan memang memandangi semua cewek.

"Alda.."

"Ya?" Aku menatap Affan masih dengan mengunyah.

"Bener yang Aldi bilang tadi, kalian udah pacaran?"

Aku terdiam sebentar, "Iya."

"Kemarin, siapa yang beresin buku-buku gue?"

Aku terdiam sejenak. Kurasa memang tidak ada salahnya aku jujur. "Ica."

Affan tertawa pelan, "Udah gue duga."

Aku menatap Affan sepenuhnya, apa maksud Affan, Ica memang terbiasa melakukan hal seperti itu? Aku menjadi semakin penasaran, bagaimana hubungan mereka sebelumnya. Lebih tepatnya sejak mereka SMP.

Tidak mungkin rasanya, jika Affan tidak mengetahui perasaan Ica. Pasti nya Ica memberikan sinyal-sinyal yang pastinya bisa ditangkap Affan.

"Emang Ica sering nglakuin itu ya?" Tanyaku penasaran.

Affan bersidekap sambil menatap kearah lain, seperti menemukan kilasan peristiwa yang dianggapnya biasa.

"Sejak kelas satu SMP, Ica udah sering nglakuin hal-hal sederhana kayak gitu. Bawain cemilan, beresin tas, kasih contekan. " Affan mengulum senyum di sela ceritanya, dan aku menjadi pendengar yang baik, "Makanya, gue betah temenan sama dia. Dia nggak ribet, asik, dewasa, juga cantik." Kini Affan menatapku, seolah menilai respon apa yang akan kuberikan.

Aku tersenyum simpul, "Lo bener. Gue juga nyaman temenan sama mereka, nggak kayak sebelumnya." Aku terdiam sejenak, inilah yang ingin kutanyakan sejak tadi.

"Kayaknya lo juga perhatiin Ica. Lo suka ya?" Aku tersenyum jahil sambil menunjuk Affan dengan sendokku.

Affan terkekeh, "Gue tau lo mau bilang apa. Gue tau, Ica suka gue." Affan tersenyum penuh arti dengan pandangan kosong.

Aku tergugu ditempat, memang benar dugaanku. Jika seorang cewek menunjukkan perhatiannya secara terang-terangan kepada cowok atau sebaliknya tidak mungkin cowok atau cewek tersebut tidak peka, hanya saja cowok atau cewek itu berlagak seperti itu. Mungkin karena beberapa alasan tertentu. Setidaknya itu teori ku.

Dan jika benar, kemungkinan besar perasaannya Ica pasti terbalas. Jika ditelisik dari raut wajah Affan saat ini. Seorang cowok dan cewek, tidak akan mampu melaksanakan persahabatan dengan benar, jika sebelah pihak mempunyai rasa yang lebih besar dari itu sendiri. Dan yang lebih menguntungkan, jika rasa itu semakin mampu menguatkan persahabatan didalam sebuah hubungan.

Hubungan dan persahabatan itu sejatinya saling tarik menarik bukan? Persahabatan adalah hubungan.
Hubungan adalah persahabatan.
Persahabatan membutuhkan hubungan dan hubungan membutuhkan persahabatan.

"Dan lo? Lo juga suka Ica?"

"Gue suka Ica." Jawab Affan mantap. Aku bersorak senang dalam hati sekaligus terkejut dari luar, "Tapi rasa yang kita punya beda." Sambung Affan selanjutnya membuatku mengernyit.

Aku menyingkirkan piring batagor ke sisi kananku. Aku melipat tangan dan sedikit mencondong ke arah Affan untuk memastikan.

"Beda gimana?"

"Ica suka gue sebagai cowok dan gue suka Ica sebagai sahabat. Gue nggak bisa kasih rasa lebih dari itu."

Secara reflek, wajahku meluntur dan aku memundurkan tubuhku. Tiba-tiba saja jantungku berdetak dengan keras saat mendapati jawaban yang terlontar dari Affan.

Kini aku paham, Ica bukannya tidak mau mengungkapkan. Tapi, Ica sudah mengerti kalau Affan hanya menganggapnya sebagai sahabat. Astaga, mungkin Affan tidak pernah mengatakannya, namun Ica pasti paham walaupun tidak dikatakan.

Jika Ica mendengar nya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesakitan Ica. Atau Ica sudah terbiasa dipandang sebagai sahabat?

"Hei, ngomongin apa sih?" Aku terjungkal kaget karena mendengar gebrakan tiba-tiba di meja.

Aku mengelus jantungku saking terkejutnya. Disampingku, aku melihat orang yang tengah kubahas sedang menyeruput es teh ku.

Ya Tuhan, Apa Ica dengar?

"Gila lo, gue kan belum puas nyontek, udah pergi aja. Nggak nunggu lagi." Ica menyenggol siku ku sambil menyeringai geli kearahku yang masih nampak terkejut.

Aku menghela nafas, "Sori, tadi laper banget. Anya mana?"

"Tuh, lagi malak Mami." Tunjuk Ica pada stand paling ujung sebelah kiri. Disana terlihat Anya sedang memesan sesuatu dengan bibir berkomat-kamit tanpa jeda.

"Lagi ngomongin apa sih? Perasaan tegang banget." Ica melihatku dan Affan bergantian sambil meminta penjelasan.

Affan mendekatkan tubuhnya ke arah Ica, "Biasa urusan perasaan." Affan mengedipkan sebelah mata, lalu menoleh kearahku. "Iya kan, dada ayam?"

Aku melongo mendengar julukannya. Tangan ku sudah gatal ingin menjitaknya.

"Aduh." Aku mendengar ringisan Affan.

Seketika aku melihat tanganku. Aku belum menjitak Affan, lantas? Aku menoleh pada Ica yang menyeringai puas dan Affan yang menatap Ica kesal sambil mengusap keningnya.

Oh, Ica. Setelah ini aku harus berterimakasih.

"Sembarangan lo ngatain si Alda dada ayam. Alda itu lebih dari-"

"Icaaa..." Geramku terlihat seperti merengek. Aku tahu apa yang akan diucapkan Ica. Astaga, mau ditaruh dimana wajahku nanti nya?

Ica tertawa keras. Sambil meminta ampun padaku yang memukuli lengannya. Tiba-tiba pergerakanku terhenti karena kedatangan seseorang.

Ah, Aldi.

"Hei Aldi." Sapa Ica ramah dengan senyum manisnya saat melihatku hanya diam saja. Pandangan Aldi beralih ke Ica, "Hai Ica.. Affan." Lalu mengalihkan pandangannya pada Affan.

Affan tersenyum ramah sambil menganggukkan kepalanya. Aldi kembali memandangku. "Mau ikut bentar?"

Aku masih sedikit kesal mengingat kejadian tadi pagi, "Kemana?"

"Kamu lupa hari ini hari apa?"

"Hari jum'at?" Tanyaku bingung, bersamaan dengan, "Hari kalian jadian?"
Tanya Affan dengan tawa walaupun terdengar penasaran.

Aku dan Affan bertatapan sejenak,
"Kita jadiannya kemarin hari rabu." Aldi mengulum senyum menatapku, aku juga mengulum senyum sedikit tersipu.

"Oh, mau ngrayain?"

"Orang pacaran biasanya ngapain?" Ucapku tanpa sadar seraya terkekeh, melupakan batas bicaraku didepan umum.

Aku tersadar ketika tiba-tiba mendapat tepukan dibahuku. "Aduh, ketinggalan apa nih gue?" Tanya Anya dengan sedikit keras sambil meletakkan nasi ayamnya di meja.

"Nggak papa, bentar ya." Pamitku segera menarik Aldi. Malunya.

******

Seperti biasa, jika mengobrol dengan Aldi aku akan memilih tempat-tempat rindang dan tidak banyak anak yang kemari. Tetap ada namun hanya beberapa.

Taman belakang, di kursi panjang dekat pohon. Memangnya dimana lagi?

"Aku lupa." Aku masih memikirkan ada apa dengan hari jumat sambil menerawang ke depan dan menggaruk keningku.

Aku terkejut saat melihat coklat bantal isi almond dengan selai madu. Yang hanya ada di kedai nuty tepat di depan wajahku. Seketika wajahku berbinar melihat coklat super itu.

"Ah, hari kamu kasih coklat." Aku mengambil coklat itu. Dan membolak-balikkan dengan berminat.

"Kalau mau makan, makan aja sekarang!" Seru Aldi menatap coklat yang ada ditanganku kemudian menatapku.

"Mau makan bareng?"

Aldi menggelengkan kepalanya, "Nggak usah. Aku takut." Aldi mencebikkan bibirnya seakan benar-benar tidak mau.

"Takut sakit gigi ya? Idih, cemen." Aku menjulurkan lidah kearahnya yang membalas dengan kekehannya.

"Bukan, takut tambah manis. Nanti kamu tambah suka lagi." Aldi tertawa lebih kencang saat aku mengerut segera muntah. Aku ikut tertawa sambil mencubit pipinya gemas.

Duh Gusti, akhirnya kesampaian jugaaa. Ingetin biar ga cuci tangan setahunn

jika Toni yang mengucapkannya itu memang sudah biasa terdengar di telingaku. Namun jika Aldi? Entah, mengapa itu terdengar menggelikan di telingaku dan menggelitik perutku menimbulkan sensasi aneh yang berlebihan.

"Aldi." Panggilku pelan setelah tawa kami mereda. Aldi hanya menoleh.

Aku menghembuskan nafas pelan dan menatap lurus pada gazebo yang diletakkan di tengah-tengah taman.

"Makasih buat hadir kamu dalam hidup aku juga keluargaku." Kini tidak ada rasa takut lagi ketika aku hendak mengucapkan sesuatu yang melibatkannya ataupun hatiku.

Seperti yang kubilang, kami lebih dari itu.

Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan. Melegakannya seperti menghilangkan sesak. Dan selalu menunggu bagaimana reaksi ataupun kata-kata manisnya yang terlontar.

"Mama dan Papa seneng kamu mampir kerumah, mereka suka kamu." Aku tersenyum ketika mengingat ucapan mama semalam dan Papa pagi ini.

Tentunya, aku tidak akan mengungkapkan tentang godaan mama dan papa.

"Sama kayak aku yang suka sama kamu dong." Aldi menaikkan sebelah alis matanya menerus dan menatapku dengan seringai jahilnya.

Aku tersenyum malu sambil mengeratkan gigi agar tidak berteriak. "Aldi serius." Ketika mendapat pengendalian diri, aku menatap jengkel pada Aldi.

Setelah Aldi meredakan tawanya, Aldi melihatku serius. Aku mengambil nafas, berkonsentrasi agar tidak terpengaruh pada matanya,

"Kamu ingat temen aku dulu?" Aldi mengangguk, "Semenjak dia pergi, hubungan papa dan mamaku sedikit merenggang dan aku benar-benar menyadarinya sejak lima tahun lalu." Aku menghela nafas lelah.

Aku melihat Aldi yang nampak terkejut, "Sejak teman kamu pergi?"

Aku mengangguk, "Aku nggak tau, itu cuma kebetulan atau berhubungan. Aku hanya diam sampai sekarang. Waktu kejadian di pasar malam itu aku juga terpukul hebat dan mereka terus merenggang."

Aldi mengambil sebelah tanganku untuk digenggamnya dengan erat. Kehangatan genggamannya seolah menambah energi dalam tubuhku untuk kembali menyelesaikan.

"Kalau nggak bisa jangan dipaksa." Ucap Aldi dengan lembut sambil terus membelai tanganku. Aku tersenyum sambil menggeleng.

"Tapi, apa kemarin kamu nggak lihat bagaimana tawa yang kamu bawa untuk papa dan mamaku? Mereka bisa bercanda bersama kembali. Dan saat itu, aku melihat keluargaku hidup lagi." Aku balas menggenggam tangannya menumpukan tanganku yang bebas diatas tangannya, "Dan lagi-lagi itu karna kamu Al. Aku nggak tau kamu pakai pelet apa. Tapi, makasih. Makasih buat segala perubahan yang kamu ciptakan." Ucapku sangat tulus.

Aku yakin setengah mati pada hatiku. Aku sudah sangat jatuh hati pada Aldi. Aku sudah sangat jauh melangkah menujunya. Dan aku berharap, perasaan ini tidak akan kembali membelengguku dengan rasa sakit teramat pada akhirnya. Jangan lagi.

Kurasakan Aldi mengusap rambutku lembut, hal yang biasanya dilakukan papa. Juga ku ikhlaskan untuk dilakukan Aldi padaku. Karena, aku menyukainya.
Menyukai segala yang dilakukan Aldi.

"Bukan aku yang merubah segalanya, tapi diri kamu sendiri Al. Seseorang membutuhkan seseorang bahkan bisa menjadi alasan untuk melakukan perubahan. Aku sama sekali nggak berbangga dengan itu, aku malah bersyukur bisa jadi perantara kebahagiaan kalian.

Kamu tau, kamu itu cewek paling kuat, paling bandel sekaligus paling manis. Aku selalu sadar. Kalau aku suka sama kamu berulang kali." Aldi tersenyum manis, memamerkan iris hitamnya yang memenangkan dan meneduhkan pandanganku.

Seketika aku menunduk, menyembunyikan semburat merah yang selalu datang jika Aldi sudah mengegas kata-kata manisnya. Bagaimana aku tidak jatuh berulang kali, jika aku sendiri membiarkan diriku jatuh, dan selalu pada tempat yang sama.

"Oh ya, kamu kenal papa dari mana?" Tanyaku penasaran mengingat papa yang sangat akrab pada Aldi kemudian juga pengalihan dari rasa maluku.

"Hari kita di pasar malam. Waktu aku pinjam hp kamu, waktu itu juga aku inget-inget nomor ponsel papa kamu. Yah, sejak itu aku mengenalkan diri sama papa kamu." Aldi mengedikkan bahunya seolah itu pekara mudah.

Jelas saja. Sudah selama itu.

Entah kenapa disaat seperti ini, aku mengingat pertemuanku beberapa bulan lalu dengan papa Dika, di Gramedia.

Astaga, bahkan aku hampir melupakan pertemuan itu. Aku juga tidak merasa khawatir sama sekali, malah terlihat tidak begitu antusias lagi.

Mungkin saja, karena aku sudah mempercayakan pada mama yang akan mencari tahu informasinya. Atau mungkin aku sudah melupakan mereka?

Secepat itu? Dan lagi-lagi karena Aldi?

"Aldi." Aku kembali memulai bertanya, kembali memancing perhatian Aldi dari pandangannya yang nampak kosong beberapa saat.

Aldi menoleh, "Kalau temanku kembali gimana?" Tanyaku dengan serius dan menanti jawaban Aldi dengan berdebar keras.

"Bersyukur, aku ikut seneng." Aldi tersenyum tanpa melepaskan genggaman tangannya pada tanganku.

Aku menatap tanpa ekspresi pada gazebo disana. Memang apa yang kuharapkan? Aldi akan bersikap possesive padaku? Tentu tidak, Aldi terlalu baik untuk melakukan hal seperti itu.

Tadinya aku sempat mengira jika Aldi akan memberi ultimatum agar aku tidak melupakannya atau semacam larangan lainnya ketika seorang cowok tengah cemburu. Namun, Aldi tetaplah Aldi. Berbeda dengan kebanyakan. Bahkan aku tidak yakin Aldi punya sifat pencemburu.

"Asalkan jangan merubah perasaan kamu ke aku. Aku juga bisa cemburu."

Deg

********

"Seriusan lo pindah lagi kesini?" Tanyaku pelan pada Affan yang sudah nangkring dengan nyamannya di bangkunya.

Gurunya memang belum datang, namun aku menghindari jika Ica mendengar ucapanku. Ica kini sedang memeriksa tugasnya di laptop dengan Anya yang turut membantu.

"Emang bangku gue kan disini."

"Berarti lo udah nggak marah dong?"

"Nggak, gue cuma nggak mau lo jadi santapan amarah gue." Affan mengedikkan bahunya tidak perduli dan memainkan ponselnya.

"Lo pindah aja, gue tetep jadi santapan amarah lo." Aku berdecih sinis menatapnya.

Affan tertawa kecil. "Deretan sini banyak orang pinter."

"Tapi, jujur gue nggak mau bikin Ica tambah sakit. Gue jadi nggak enak hati." Ucapku begitu lirih hingga hanya aku dan Affan yang dapat mendengarnya.

Affan terdiam sejenak, lalu menghembuskan nafas pelan. Affan menatapku sepenuhnya, "Gue bisa kasih perhatian balik ke Ica kalau itu yang lo mau." Affan menjeda sejenak, "Tapi, gue nggak bisa ngasih lebih. Jadi, kalau Ica merasa sakit sama perhatian gue, itu bukan salah gue." Balas Affan terlampaui lirih namun bisa kudengar.

Aku tercengang mendengar penuturan Affan. Aku dapat menangkap maksudnya, Affan bisa saja memberi perhatian pada Ica, namun hanya sebatas teman tidak lebih. Dan jika Affan terus memberi perhatian nya, Ica akan semakin tersakiti karena terus berharap. Namun, jika hanya Ica. Aku tau, itulah yang lebih sakit.

Apalagi dengan badan kami yang saling mencondong dan berhadapan sekaligus berbisik.

Ternyata kejadian tersebut, juga tidak luput dari perhatian seseorang yang menatap gerik tubuh kami dari layar laptop.

********

Aku menghela nafas berulang kali. Kali ini, aku keluar kelas lebih lambat setengah jam karena tugas yang ingin kuselesaikan sekaligus di sekolah.
Aku berjalan cepat-cepat keluar kelas agar tidak tertinggal angkutan umum. Karena ini sudah mendekati petang.

Aku melihat sekeliling yang nampak sepi dan hanya sedikit yang berlalu lalang hanya untuk kegiatan ekstra maupun organisasi.

Aku berbelok arah menuju koridor kamar mandi yang memang sepi. Aku memutuskan untuk mencuci mukaku terlebih dahulu karena merasa gerah.

Setelah selesai aku segera bergegas. Namun baru beberapa langkah, langkahku terhenti karena ada yang mencekal tanganku dengan erat.
Aku memekik terkejut dan berbalik melihat siapa pelakunya.

Sial, Joshua?

Kulihat Joshua menyeringai padaku. Seringai tidak baik yang membangkitkan alarm pada otakku untuk segera melangkah pergi dari sini.
Namun, cekalan di tanganku membuatku sulit untuk menentukan langkah.

Akhirnya aku hanya menatap Joshua dengan sangat tajam, "Lepasin!"

Joshua terkekeh kecil namun meremehkan, "Kenapa? Takut?"

Aku berdecih malas, "Takut sama lo? Kurang kerjaan!" Aku masih menatapnya tajam dan memuntirkan tanganku agar terlepas.

Sekaligus aku menahan ringisan karena usahaku membuat Joshua semakin mempererat genggaman tangannya. Ya Tuhan, aku berharap ada yang melangkah kesini. Membantuku, karena jika berteriak, aku akan menemukan sesuatu yang lebih berbahaya.

"Lo nggak takut? Wow, kalau gue macem-macem disini, lo juga nggak takut?" Joshua bertanya lirih dan menuntun langkahku untuk mundur dan menghimpitku di tembok. Masih dengan jarak dua jengkal dengan dua tangan Joshua yang mengurung kedua tanganku masing-masing di sisi kepala.

Aku membelalakkan mataku dan menambah seringai lebar dimulutnya. "Gue jadi penasaran, apa sih yang spesial dari lo, sampai buat mereka suka sama lo?"

Mata kurang ajar Joshua sengaja menilai tubuhku dari atas ke bawah. Aku ingin membunuhnya saat ini karena berani kurang ajar, "Lepasin gue!"

Aku memberontak, hanya tanganku tidak dengan yang lainnya. Aku tidak ingin terlihat takut di matanya. Hingga dia akan menambah derajat kesintingannya dan kepuasannya. Joshua mempererat genggaman tangannya, aku yakin akan membekas nantinya.

"Sok jual mahal, yah.. punya body oke juga sih." Joshua semakin mengeratkan genggamannya dan sedikit maju ke depan, menipiskan jarak menjadi satu jengkal.

Aku menatap semakin tajam padanya dan semakin memberontak. "Lepasin gue! Najis gue, lo pegang!"

"Secara nggak sadar, lo udah buat mereka bego! Coba lo tau yang sebenarnya, gimana ya reaksi lo?" Ucap Joshua kembali membuatku merengut bingung. Aku tahu Joshua berusaha memancingku, dan memang aku terpancing.

"Mereka?"

"Apa lo tau sesuatu tentang sahabat lo Anya? Apa lo tau siapa Aldi?" Joshua tersenyum miring, benar-benar persis setan ketika melihat tubuhku menegang.

Posisi ini benar-benar membuatku tidak nyaman, "Maksud lo?" Tanyaku lirih.

Anya? Aldi? Kenapa dengan mereka?

"Nggak secepet itu, lagian gue masih bingung, kenapa mereka bisa suka sama lo?" Kemudian, mata Joshua terpaku pada leherku yang terbuka karena rambutku ku kuncir atas, atau terpaku pada bulir air-keringat yang menetes di leherku?

Jantungku berdetak keras tanda tidak nyaman dengan situasi dimana Joshua semakin mendekatkan tubuhnya dan sedikit menunduk ke arah leherku. Aku bergetar ketakutan, sekarang kaki ku juga tidak bisa menendang sesuatu karena di injak oleh Joshua, menimbulkan sakit yang bukan dirasakan oleh tanganku saja.

"Le-lepasin gue!" Ucapku masih berusaha memberontak. Joshua tidak menghiraukannya, walaupun jarak wajahnya dengan leherku belum begitu dekat,

Namun, "Lo wangi banget.. Anya, Aldi, Affan...." Selanjutnya aku memejamkan mata dan bergetar semakin ketakutan. Aku ingin teriak tapi, tidak bisa.

Ya Tuhan.

Buuggh

Kemudian aku terduduk lemas saat Joshua sudah memundurkan langkahnya dan aku mendengarkan suara pukulan. Dengan wajah gemetar aku melihat disana

Affan.

Tengah menghajar Joshua habis-habisan. Rahang kirinya sudah mengeluarkan warna merah dengan bibir yang sudah berdarah. Joshua terduduk seketika saat Affan menghentikan hajarannya.

"Anjing lo! Lo ngapain Alda bangsat!!! Temen Anjing lo!" Affan mencengkram kerah Joshua dengan nafas yang memburu kencang. Aku mencoba berdiri walaupun dengan kaki gemetar.

"Lo hajar gue demi cewek murah-" Aku menutup mulut untuk meredam teriakanku saat aku melihat Affan kembali menghantam rahang Joshua dan menendangi perut Joshua. Joshua sama sekali tidak melawan hanya tersenyum sinis di tengah pukulan yang terus dilayangkan oleh Affan.

"Affan, berhenti." Ucapku lemah berusaha menghentikan usaha Affan menghajar Joshua.

Dan benar saja, Affan berhenti namun tidak menoleh kearahku. "Pergi Anjing!" Affan berteriak dihadapan Joshua dan melepas cengkraman di kerah seragamnya dengan kasar.

Joshua terbatuk sambil menyentuh perut nya, tidak ada ringis kesakitan. Namun, aku yakin kalau Joshua benar-benar menahannya.

"Lo mengabaikan perasaan orang lain demi dia. Sejak awal, Fan!! Dan gue diam aja dia lebih perhatiin lo!" Setelah mengucapkan itu, Joshua benar-benar pergi meninggalkan Affan yang termangu.

Beberapa saat, Affan langsung menoleh kearahku, mendekatiku sehingga membuatku memundurkan langkah dan kembali lagi pada posisiku dengan Joshua tadi, namun kali ini dengan Affan. Aku beringsut mundur, karena melihat tatapan tajam nan dingin Affan. Kali ini lebih menyeramkan, sampai jantungku berdetak ketakutan.

"Kenapa lo nggak teriak? Kenapa nggak lo tendang aja anunya Joshua? Kalau nggak ada yang dateng gimana?" Affan berteriak didepanku membuatku makin bergetar.

Aku ingin melakukan apa yang ditanyakan Affan, namun tidak bisa kulakukan. Aku hanya bisa menatap takut-takut pada Affan.

"Makasih." Cicitku yang mampu kuucapkan untuk membalas ucapan Affan. Affan menghela nafas kasar. Lalu Affan menatapku lembut dan melangkah mendekatiku. Aku menahan nafas ketika Affan mengusap keningku yang berkeringat dingin karena ketakutan. Merangkum wajahku dengan kedua tangannya, menipiskan jarak wajah kami.

"Lain kali hati-hati! Lo nggak tau, gue khawatir setengah mampus saat liat Joshua mau.. arrggh lupain," Affan menggelengkan kepalanya lemah kemudian menatapku dalam, "Gue suka sama lo Alda! Gue suka, gimana kalau lo kenapa-napa?" Bisiknya sangat lirih.

Aku mematung ketika Affan memundurkan tubuhnya lalu menilai reaksiku. Sedetik kemudian, Affan membalikkan tubuhnya meninggalkanku yang masih terpaku akan kata-katanya. Hingga mampu membuatku lupa akan ucapan Joshua sebelumnya.

Ya Tuhan, Affan menyukaiku. Dia suka denganku?

Ini lebih berat dari pada sebiji kuaci sekalipun. Lantas, bagaimana dengan Ica. Benar yang dikatakannya kala di kedai es krim itu. Kemungkinan Affan menyukaiku memang benar.

Aku bersandar lemas dengan menempelkan kepala ke tembok. Benar-benar tidak menginginkan situasi ini terjadi. Tanpa sengaja aku menolehkan kepala ke kiri, dan mendapati diriku membelalak terkejut.

Disana ada Aldi, yang entah sejak kapan sudah bersender santai seraya memasukkan sebelah tangannya disaku. Dadaku bergemuruh tidak karuan, seketika rasa sesak menyelimuti relung hatiku. Aku menatap sayu pada Aldi, dan Aldi menghampiriku.

Saat Aldi dihadapanku, aku hanya terdiam dengan nafas tidak teratur. Ditatap sedemikian teduh oleh Aldi membuat rasa lelah dan takut membaur semakin terasa.

"Itu juga alasan kenapa aku nggak nahan kamu saat Affan narik kamu. Kita nggak pernah tau kapan perasaan bisa datang dan pergi atau dengan siapa kita menghabiskan perasaan kita." Aldi mengusap pipiku dan tersenyum lembut.

"Affan juga nggak marah saat tahu aku suka kamu. Perasaan seseorang nggak bisa disalahkan. Lihat, seberapa besar rasa khawatir yang Affan ciptakan buat kamu."

"Dari kapan kamu berdiri disana?" Tanyaku lirih. Hanya itu yang mampu untuk ku utarakan, karena ucapan Aldi mengoyak sesuatu disana untuk melemparku pada suatu fakta.

"Sejak Joshua mendekati kamu."

Grep

Benar. Aldi datang, tetapi tidak berminat menolongku. Tapi, kenapa? Apa Aldi akan menolong ketika Joshua melewati batasnya? Semua pertanyaan berkelelabat di kepalaku tanpa bisa kujawab sendiri. Hanya yang memiliki jawaban itu sendiri yang dapat.

"Kenapa selama itu?" Bibirku gemetar karena sesak yang makin membesar hadirnya.

Aku tahu satu hal, Aldi tidak benar-benar perduli.

Aldi hanya akan melindungi dan menjaga teman kecil-nya.

Dan, aku akan-

Aldi menggeleng lantas memelukku. Mengusap punggungku yang bergetar. Dan tangisku meledak disana, aku menyembunyikan wajahku pada dada Aldi, merasa marah, takut, dan lelah menjadi satu, memukuli punggungnya merupakan satu-satunya cara untuk memberinya pelajaran. Kenapa Aldi seperti ini?

"Karena Affan berhak menjaga kamu sebagai bentuk penyampaian rasa sukanya."

Tangan Aldi yang bebas beralih menuju puncak kepalaku sedang yang lain masih setia membelai punggungku untuk sekedar menenangkan.

"Dan Aldi janji, Aldi akan jaga Alda.. dengan cara berbeda, sebagai bentuk rasa sayangnya."

_______________________

Holaaaa adakah yang rindu?
Maaf lama update, paketan habis :"(

Siapa yang sangka, lima part lagi sudah ending, InsyaAllah..

Bocoran....

Segala bentuk ending, bukanlah akhir dari segalanya, merupakan awal dari kisah baru.

Jangan lupa vote dan comment nya ya😊

Kalau bersedia, juga bisa follow ig aku,

Ig : novitas33

Continue Reading

You'll Also Like

38.2K 3.9K 44
- Akibat terlalu pandai mendebet rasa tanpa mengkredit gengsi - Bagi Keandra, Kirana adalah poros dunianya. Induk singa tergalak dengan ucapan pedas...
108K 4.6K 31
Karna gue punya komitmen buat nggak sama lo lagi -Derlan Erlanino. Please love me again, im sorry -Difa Maharani. Percaya atau tidak, sesuatu yang di...
170K 10.3K 38
{BOOK 2 OF LIMBAD SERIES} Hara, adalah gadis yang terlahir sebagai anak tunanetra, sebuah penyakit yang ia derita menghambat kedua matanya dan menyeb...
6K 1.7K 43
[FOLLOW SEBELUM BACA] • Spin off Ketos Vs Sekretaris OSIS • Bisa dibaca terpisah ____ Vino Bramantio. Cowok ceria, berisik, dan memiliki kepercayaan...