Semu [Completed]

Autorstwa sajakgadis

55.8K 3.8K 150

"Ck. Kenapa sih setiap ketemu, selalu dalam kondisi memprihatinkan?" Suara itu, cukup membuatku mendongak mem... Więcej

Prolog
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14.
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
35
36
37
38
39
40
Epilog
Extra part

34

685 74 1
Autorstwa sajakgadis

Apa kata 'Teman Hidup' merupakan bentuk kepastian kepada masa depan?

♡♡♡

Aku menatapi pelataran jalan dengan hati riang. Bagai anak kecil memang, tapi siapa peduli? Sesorang yang jatuh hati memang tidak bisa disalahkan. Karena hati telah mendorongku lebih jauh untuk menerima kesempatan berbahagia.

Dibalik kaca mobil ini, aku hanya terus memalingkan wajah, menatap ekspresiku ketika mengulum senyum. Masih cantik. Aku terkekeh geli sendiri, karena penyakitku yang lama terpendam ini kumat lagi.

Dinginnya AC mobil pun juga tak mampu mendinginkan hatiku yang masih menghangat sejak aku memutuskan bangun tidur pagi tadi.

Karena takut menyakiti Aldi dengan makanan beracun yang hampir mirip dengan sianida itu pada beberapa hari lalu. Aku memutuskan membuat sandwich saja. Makanan termudah dipikiranku. Kalau Aldi menolak karena dalih tidak berupa nasi atau sejenisnya, maka aku akan tetap menjejalkan dalam mulut Aldi. Aku kembali tertawa kecil, karena hal itu sepertinya tidak mungkin.

Mana tega, melihat pangeran kodoknya burung merpati tersedak roti yang kujejalkan.

Padahal, aku sudah membiarkan Aldi keluar masuk kamar mandi setelah makan, makanan beracun buatanku.

Waktu itu, Bu Denok memerintahkanku untuk mengambil formulir daftar ulang untuk kenaikan di Ruang Tata Usaha pada saat jam istirahat kedua. Dengan hanya ditemani Anya, aku mengambilnya. Saat membagikan separuhnya pada Anya dan pergi ke ruang guru. Tanpa sengaja, dari arah lorong aku melihat Aldi berjalan cepat dengan wajah pucat.

Dengan alasan khawatir, aku segera meletakkan kertas yang kubawa pada Anya, tanpa pamit aku segera mencari Aldi.

Aku menengok kearah kanan, ternyata Aldi sedang menyandarkan kepalanya dan tubuhnya pada dinding toilet kamar mandi guru. Nafasnya terengah, dan banyak peluh menetes di pelipisnya. Tak lupa, aku memandang tangan Aldi yang memeras erat perutnya sendiri, seakan memperingati perut itu agar tidak menyakitinya.

Jantungku berdetak kencang, bukan debaran menyenangkan itu lagi. Lebih tepatnya, debaran nyeri.

Karena aku bisa mengartikan, sakit diperutnya itu karena aku. Karena masakanku. Dan Aldi menghabiskannya. Dan itu kesalahanku.

Setelah pintu terbuka, Aldi segera memasukinya. Aku tetap mematung ditempat, membawa perasaan bersalah dan khawatir. Lalu, aku merasakan sebuah tepukan dibahuku. Aku menoleh, Anya memandangku bingung.

"Aldi kenapa?"

"Buang Air besar dalam mode air deh kayaknya." Ucapku sedih tapi terkesan melantur.

"Ha? Lo ngomong apa sih?" Tanya Anya menggaruk rambutnya.

Aku menghela nafas, "Gue racunin Aldi." Ucapku dengan sangat bersalah.

Andai saja aku tidak memenuhi permintaanya, andai saja aku lebih pintar memasak.

Baru nyatain perasaan aja, udah nyakitin.

"Lo mau bu-bunuh Aldi?" Tanya Anya tak kalah melantur. Aku berdecak, kemudian menatap Anya sabar. Mengupayakan tidak menggunakan kata-kata yang mampu memunculkan ketidakwarasannya dalam mencerna ucapan.

"Gue masakin dia nasi goreng, rasanya asin pahit parah. Eh di abisin sama dia. Geblek kan dia?" Ucapku kesal sendiri.

Aku melihat Anya terkejut, kemudian tersenyum kecil, "Aldi gentle banget ya? Kayaknya dia beneran suka sama lo."

Belum sempat aku menjawab, aku mendengar suara pintu yang terbuka. Aku menarik Anya sedikit agar tidak terlihat. Wajah Aldi masih pucat dan terlihat lemas.

Aldi berjalan pelan sambil menyentuh perutnya, kurasa sakitnya belum reda. Disaat seperti ini aku ingin mengobati sekaligus memarahinya. Dia tidak perlu terlalu baik. Nanti hatiku terus dicuri.

Hal selanjutnya, membuatku dan Anya terkesiap. Aku membelalakkan mata melihat Aldi yang berlari kearah wastafel  didekatnya dan muntah sangat banyak.
Bel jam istirahat ke dua telah berakhir dua puluh menit lalu, sehingga tidak banyak orang yang memperhatikan Aldi, kecuali aku dan Anya tentu nya.

Disaat aku berpikir, untuk segera menghampiri Aldi, aku malah memlilih membeku ditempat. Sedangkan, aku mendengar langkah seseorang berlari. Aku menoleh dan melihat Anya berlari kebelakang, selanjutnya Anya memalak seorang culun, yang entah siapa namanya.

Anya kembali berlari kearahku sambil membawa sebotol air mineral. Anya menyerahkannya padaku cepat-cepat. "Nih, kasih Aldi! Mumpung belum sekarat."

Aku malah menjadi dungu di tempat, hanya memandang Anya dan botol itu bergantian.

"Astaga, geblek nya nanti aja. Kasih ini dulu, cepetan!" Anya menyerahkannya ke tanganku.

Aku tersenyum, "Thanks." Aku tidak tahu, dalam hal seperti ini. Anya lah yang lebih tanggap.

Aku segera berlari mendekat kearah Aldi. Aldi tengah berkumur dan sesekali terbatuk. Aku ingin sekali menangis dan menonjok wajah tampannya.

Aku menyentuh bahu Aldi dan membuat si empunya berbalik. Seketika, mataku berkaca-berkaca melihat wajah pucat Aldi yang nampak terlihat walau sudah dibasuh dengan air.

Aku mengulurkan botol yang kubawa. Aldi menatapnya sekilas, lalu kembali memandangku dengan teduh seakan mengatakan kalau dia tidak membutuhkannya.

Aku sedikit mendekat kearahnya, mengusap air yang menetes dipelipisnya. Aku melipat bibir kedalam dan menekan gigiku agar tidak menangis, walau sudah ketahuan dari mataku yang berkaca-kaca.

"Maaf ya." Ucapku lirih, Aldi tersenyum lemah. Menggetarkan hatiku, menuntun agar lebih sakit lagi. Benar saja, air mataku langsung menetes satu persatu. Tidak tega.

"Hey, nggak papa. Alda. Udah mendingan kok!" Jawabnya menenangkan, ikut cemas melihatku menangis. Dengan perlahan dia mengusap air mataku yang malahan terus keluar.

Aldi tertawa kecil, "Pinter banget pipinya kalau ngode minta diusap gini." Dia mengusap pipiku pelan.

"Ayo ke UKS!" Senggukku lirih persis anak kecil lalu menghapus air mata sendiri.

"Abis ini aku ulangan Fisika. Nggak-"

"Dasar batu nancep dikepala!"

Sebelum Aldi sempat menjawab, aku sudah berlari pergi ketempat aku dan Anya berdiri. Aku menarik Anya untuk segera pergi.

Jika aku mendengar jawaban Aldi, maka bendungannya akan jebol seketika itu. Tidak peduli sekali dengan kesehatan sendiri.

********

Perasaan, aku masih melamunkan Aldi. Tetapi, kenapa langsung buyar dan tergantikan dengan ketukan kecil di dahiku.

"Aduh." Aku semakin meringis karena ketukan yang terakhir lumayan keras.

Aku menoleh. Ah, aku lupa kalau aku masih didalam mobil dengan papa yang menyetir. Namun, mobil tidak terlihat jalan. Aku kembali menoleh kearah sebelumnya, dan aku tertawa kecil. Ternyata sudah sampai di sekolah.

"Hei, Alda." Papa kembali menyentil keningku, aku mengusapnya dan menatap papa cemberut.

"Alda denger kali pa,"

"Denger apanya, di perjalanan tadi ketawa sendiri abis itu nglamun, terus ketawa lagi. Dipanggil papa juga nggak nyaut, itu namanya denger?" Papa mengusap rambutku, hal kecil papa yang sedari dulu menjadi favoritku.

"Jangan-jangan bener lagi kata mama, kamu punya Ayan?" Mata papa berkilat geli, dan aku merengut kesal namun selanjutnya aku tertawa.

"Memang papa percaya?"

"Awalnya nggak, tapi sekarang percaya." Ucap papa santai sambil mengedikkan bahu.

"Ihh. Papa.." Aku menatap papa gemas dengan mengulum senyum.

"Emang anak papa benar-benar udah besar." Papa mengusap rambutku penuh sayang, "Udah bisa suka sama cowok, udah bisa malu-malu sama cowok." Papa menatapku lembut.

Aku tersenyum, "Papa nggak usah goda-goda aku kayak mama ya!" Aku mengedipkan sebelah mata pada papa.

Papa masih menatapku lembut tanpa melepas tangan nya dari rambutku. Aku belum siap menerima sengatan malu dari papa. Aku melihat jam, 05.30. Memang masih terlalu pagi, sebabnya hanya karena aku terlalu semangat.

"Papa tau, Aldi bawa perubahan cukup besar bagi kamu juga kita. Dalam waktu sekejap, Aldi mampu mencuri hati banyak orang." Papa tersenyum tulus. Aku membenarkan ucapan papa dalam hati.

Pesona seorang Aldi memang tidak bisa ditolak. Aku sendiri saja tidak kebal. Bagaimana dengan kalian yang menemui Aldi nantinya?

"Aldi memang baik pa. Kami berteman cukup baik."

Pacaran maksudnya. Hehe

"Ah, kalian mengatasnamakan hubungan kalian hanya sebatas teman? Aldi takut ya pacaran sama kamu?" Papa terkekeh di akhir kalimatnya.

Aku memutar bola mata kesal, aku ingin sekali mengatakan pada papa, kalau Aldi begitu manis denganku dan kami sudah pacaran. Tapi, tidak mungkin. Rasanya pasti aneh sekaligus malu.

"Papa ih, nanti Alda nggak turun-turun." Rengekku manja.

"Ya kalau mau turun, turun aja lah!" Ucap papa, oh aku ingin sekali mencium pipi papa sampai habis.

Aku meraih tangan papa dan menciumnya lalu mengucapkan salam dan segera membuka pintu dengan kesal. Tapi, belum sampai kaki kiriku menapak pada tanah, papa mencekal tanganku. Menahan pergerakanku.

"Sekolah yang pinter, prioritaskan dulu pendidikan dan tata krama sebelum urusan percintaan. Kamu boleh suka sama Aldi, tapi jangan sampai ganggu sekolah kamu.

Jangan menyerah oleh sesuatu yang masih abu untuk di raih. Cari dulu kesempatan yang ada, lalu usahakan dengan niat. Kirim salam papa untuk Aldi, bilang sama Aldi biar tabah menghadapi kamu!" Untuk saat ini, aku tidak memilih kesal. Aku lebih memilih tersenyum lebar sambil mencium pipi papa berkali-kali.

Lihatlah lelaki paruh baya ini yang memiliki hatiku dan membawanya di setiap langkahnya. Mana bisa aku menghianatinya dengan menjadi anak durhaka?

"Papa tau, Alda sayang banget sama papa. Alda menikmati kebersamaan kita kemarin. Hati Alda jadi lebih ringan buat sekolah."

*******

Aku menatap kesal pada seseorang yang sedang menyengir lebar dan berdiri dihadapanku. Saat aku melihatnya duduk d kursi di depan kelasku, aku langsung menghampirinya dan berkacak pinggang. Seperti saat ini.

Yang ringan menjadi semakin ringan, namun bukan berarti aku harus bersikap lembut bukan? Sepertinya, aku juga akan terlihat menggemaskan di mata Aldi. Haha

"Ngapain disini?" Ketusku,

"Minta makan." Ucapnya terdengar, riang?

"Beli sana di warung depan!" Masih ketus. Tanpa mendengar jawabannya, aku segera masuk ke kelas, saat di depan pintu, aku mengulum senyum.

"Yee, udah pacaran. Masih galak aja." Gerutu Aldi lirih namun masih mampu kudengar.

Aku meletakkan tasku di meja. Membuka resleting depannya dan mengambil bekal dan sebotol susu disana. Aku tersenyum membayangkan reaksi Aldi, takut atau senang. Kalau Aldi sudah pergi, maka aku tidak akan sungkan menghampirinya ke kelas dan meminta maaf.

Aku melangkah keluar, dan sedikit terkejut melihat Aldi masih diluar dengan posisi yang sama. Jika aku tidak keluar, apa Aldi masih disana?

"Kok masih disini?" Tanyaku heran. Aldi melirik bekal yang kubawa sekilas.

"Bukannya yang pergi pasti akan kembali ya?" Ucapnya penuh arti. Aku memutar bola mata sambil menahan senyum.

"Dasar pede!"

Giliran Aldi yang tidak menjawabnya. Aldi langsung menarikku, "Eh, kemana?" Aku memperhatikan sekitar, untung saja masih sepi.

Tidak heran karena ini masih jam 06.00 pagi. Hanya beberapa siswa yang berlalu lalang.

"Mau makan lah." Aku mencebikkan bibir namun menurut.

Ah, ternyata Aldi membawaku ke taman belakang sekolah yang agak menjorok dari kantin. Aldi mengajakku duduk di kursi panjang dekat pohon. Tempatnya sejuk, seperti suasana hatiku.

Aldi menunjuk bekal yang kubawa dengan matanya. Aku tersenyum dan menyerahkan pada Aldi. Aldi membuka dan menatap lama.

"Kenapa? Nggak beracun kok. Bukan rasa air laut juga!" Seruku sebal. Melihat Aldi hanya memperhatikan sandwich itu membuatku kesal setengah mati.

Jika Aldi takut aku membuatnya sakit perut, ya jangan minta bawain bekal lagi.

"Tadinya aku mikir kamu bawain aku sarapan yang berat. Aku tetep bakal suka apapun rasanya. Bukan berarti kalau kamu hanya bawain roti aku nggak suka." Aldi menatapku sepenuhnya, menarik mataku untuk menelusuri matanya lebih dalam lagi.

"Tapi, kalau kamu bawa sarapan nasi lagi, berarti kamu mau belajar, nggak berkecil hati dan mau memperbaiki apa yang salah sebelumnya." Tiba-tiba saja Aldi mengusap rambutku. Aldi tersenyum meneduhkan, senyum itu sampai pada hatiku. Memberi getaran-getaran kecil yang menyenangkan.

"Alda, apapun masakan kamu. Bagaimanapun rasa nya, tetep aku makan. Cewek yang pinter masak, bisa menyenangkan cowoknya lho." Belum sempat aku menjawab ataupun memberi kesempatan untuk tersenyum malu-malu Aldi sudah mengambil sepotong roti dan mengunyah nya.

Aku ikut menyenderkan punggung di kursi. Menikmati angin yang sejuk dan mengulang kembali setiap ucapan Aldi yang manis. Aldi sangat mudah menarikku mendekat, hanya modal mata, senyum, perilaku dan ucapannya. Jika Aldi berbicara, aku akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menelusuri wajah dan matanya lebih banyak lagi.

Saat aku masih menikmati lamunanku tentang Aldi, aku melihat ada roti yang sudah di gigit dihadapkan di depan wajahku. Apa rotinya tidak enak?

"Kenapa nggak enak? Mau muntah? Atau-" Belum sempat aku mengomel kesal, Aldi sudah membekap mulutku dengan tangan hangatnya.

Aku melebarkan mata, Aldi mendekatkan jarak duduknya. Menyisakan jarak sejengkal diantara kami. Aku menahan nafas. Jantungku berdetak semakin keras.

"Prasangka nya buruk mulu. Nggak boleh, nanti jadi penyakit hati." Ucapnya  melepaskan bekapan tangan nya. Meninggalkan ku dengan jantung yang hampir sekarat karena memaksa keluar dari tempatnya.

"Aku cuma mau makan bareng. Nih," Aldi menyodorkan roti itu padaku. Dengan mulut gemetar aku menerima suapan dari Aldi. Aku menggigit sedikit karena ukurannya yang cukup besar.

"Kamu jadi mudah gugup ya, kenapa? Apa karna status kita sekarang?" Lirih Aldi di akhir kalimat. Aku hanya diam, malu mengakui.

Aldi menggoyangkan roti yang baru ku gigit, Aldi semacam memperhatikannya?

"Gigi ku anti kuman, Al." Ucapku malas. Seketika rasa gugup dan berdebar lenyap tertimpa kata.

Aldi masih memperhatikan roti itu, "Ini masih ngepasin bekas bibir kamu tadi, sama bibir aku." Aldi tertawa kecil lalu segera memakannya.

Jantungku berhenti berdetak seketika, aku hanya menatap Aldi bodoh. Apa Aldi baru saja mencuri- 

"Hei!" Aldi mengusap wajahku dan aku terjungkal seketika. Aldi tertawa dan jantungku juga ikut, seakan memberi sorak betapa bodohnya aku.

"Mikir jorok nih," Aku tersenyum miring sambil memukul lengannya keras-keras. "Kamu tadi yang jorok." Ucapku kesal.

"Tau aja." Aldi tersenyum menggoda.

Aduh, saat seperti ini aku membutuhkan kulkas secepatnya. Aku hampir meleleh di bawah tatapan Aldi ditambah dengan sinar mentari pagi yang mulai sedikit naik. Menawarkan sinar sehatnya.

Dengan begitu cepat wajahku memerah karena gugup dan malu. Tetapi aku lebih memilih menyalahkan mentari yang menerpa wajahku dari pada mengakui kalau aku memerah untuk dan karena Aldi.

Sungguh aku ingin menampar pipi Aldi, disaat tangan nya yang kurang ajar membelai pipiku penuh kelembutan. Entah apa alasan nya. Kedekatan kami ini, membuat segalanya menjadi pudar. Matanya dan mataku yang tidak bisa lepas satu sama lain.

Nyatanya, aku selalu menyukai saat matanya menghujami mataku dengan lembut. Maka dari itu, Aku akan selalu kalah.

"Wajah kamu merah, sayang." Bisik Aldi menelusuri wajahku. Tak lupa senyum manis yang menghiasi wajahnya.

Nafas! Kedip! Nafas! Kedip! Nafas! Kedip!

Namun, hal tersebut juga tidak kulakukan, karena aku tidak tahu caranya. Entah, bagaimana bisa aku sudah bisa menarik nafas-terkejut- lebih tepatnya.

Sejurus kemudian, Aku merasakan tangan lain yang menarik lenganku keras dan membawaku berdiri tidak mengindahkan ringisan yang kubawa saat tangan besarnya masih mencengkram lengan kecilku.

Aku menatap tidak percaya dengan Affan yang menatapku dengan sedikit terengah, dapat kulihat jika keningnya sedikit memerah, seolah matahari telah mendidihkan isi kepalanya.

"Ikut gue!" Ucapnya datar. Merasa tidak peduli akan hal yang baru saja diciptakannya. Seketika aku menatap tajam, "Ngapain? Lepasin gue!" Ucapku tajam.

"Lo.. Bantuin gue ngerjain PR, sekarang! Disuruh Bu Dina."

Aku menatap Affan tidak percaya, menarikku cukup keras hanya untuk membantunya mengerjakan PR? Dan aku yakin, keningnya memerah pasti karena Bu Dina yang membuat Affan seolah terpaksa meminta bantuan padaku.

"Ribet banget, di kelas juga bisa!" Seruku sedikit keras. Affan setia menatapku datar.

"Sekarang!" Sejurus kemudian, Affan menarik kembali lenganku dan memaksaku mengikutinya. Aku mencubit kecil tangannya yang menarikku, tapi tidak ada ringisan kesakitan. Aku hanya melihat rahangnya   menegang.

"Affan!" Seru Aldi dibelakangku.

Ah, pangeran kodok. Aku tersenyum penuh kemenangan saat tahu pasti kalau Aldi pasti akan membantuku. Affan berbalik dan menaikkan sebelah alisnya. Dasar songong!

"Jangan terlalu erat megangnya, nanti tangan cewek gue sakit." Aldi tersenyum lebar, senyum yang mampu melunturkan senyumku. Aldi tidak membantuku.

Tapi, bukannya mengendurkan cekalannya. Affan malah mengeratkannya, membuatku melihat rahangnya yang mengeras. Selanjutnya, Affan kembali menarik paksa diriku

Aku melongo sekaligus memelas menatap Aldi juga tidak percaya, Ah entahlah. Yang hanya dibalas dengan senyum untukku bersabar. Semuanya terasa menyebalkan. Aldi dan Affan? Sama saja.

*******

Aku mendelik sebal pada Affan yang baru saja memaksa Lidya untuk pindah ke bangku asalnya. Anya dan Ica pun menatap kami berdua bingung. Bagaimana tidak, aku yang masuk kelas dengan wajah kesal dan Affan dengan seringai samarnya.

"Idih, kata dapet peringkat. Kerjain tugas kayak gini aja nggak bisa, PR juga nyontek. Peringkat abal-abal!" Aku terus menggerutu sambil melihat soal yang diberikan pada Bu Dina untuk Aldi. Guru Sosiologi.

"Itu namanya gue nggak sombong."

"Idih, nge-sok. Lagian ngapain sih, pindah kesini lagi?" Tanyaku sebal.

Sudah hampir aku menemukan ketenangan karena acara pindahan Affan yah, walaupun aku sedikit merasa kehilangan. Jika Affan duduk lagi di sebelahku, tidak akan leluasa membuat Affan menyadari perhatian Ica padanya.

"UDD." Aku melirik sadis Affan yang menirukan kata-kata singkatku.  Urusan diri-diri.

Aku memberikan penjelasan dari buku untuk Affan dan meminta Affan untuk mengerjakannya sendiri. Dari yang kulihat, Affan cepat menguasai dan mengerjakannya dengan tepat. Ini membuatku yakin jika ini Alibi Affan semata. Apalagi kalau tidak menyukai Aldi?

Tidak terasa bel masuk sudah berbunyi bersamaan dengan selesainya Affan mengerjakan soal terakhir nya.

"Lo tuh, pinter-pinter geblek. Dasar keong racun!" Anya menyerukan keras-keras mengejek Affan.

Affan mendelik, "Lo ayam kampung!"

"Udah deh, masih pagi juga. Jangan pada  demo harga kuaci. Indonesia lagi mengalami masa paceklik." Sahut Anya semakin ngawur. Aku tertawa kecil.

Affan manggut-manggut, "Kalau udah panen, bilang sama yang produksi! Pisahin kulit sama isinya. Gue beli kulitnya, buat makan si Anya!" Affan tersenyum miring membalas delikkan Anya.

"Dan lo, makan plastiknya! Biar tau rasa tuh lambung!" Sahut Anya tak mau kalah.   Ica tertawa sambil menggelengkan kepalanya, "Udah deh, nanti jodoh tau rasa hidup lo!"

Anya berhasil ingin muntah, dan Affan menoleh pada Ica seraya melontarkan kalimat yang membuatku dan Ica mematung,

"Ogah, mending lo yang jadi jodoh gue dari pada tuh kerdil." Affan menunjuk Anya dengan bibirnya. Anya menggeram setengah mati.

Namun bukan itu, Ica nampak mematung dengan wajah merona. Dan aku yang dalam hati tengah tersenyum karena menurutku, itu adalah kode dari Affan.

Mungkin saja Affan sedang salah tingkah, dilihat dari Affan yang kini sibuk mengabrik tasnya padahal aku yakin tidak ada yang dicarinya.

Ah, Affan berharap Ica lah yang berjodoh dengannya begitu pula sebaliknya. Tinggal sedikit lagi, cerita ini akan usai.

_________________________

Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan comment nya😊😁

Ig: novitas33

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

47.7K 4.4K 41
Dimas lelah berpura-pura bahagia. Namun, ia lebih muak menahan kerinduan pada sosok yang tak mampu dilihatnya lagi. Ameta Briliana. Dimas ingin berte...
109K 5.1K 35
Bersama dengannya, adalah suatu ketidakmungkinan. 📍31082018
57.8K 7.3K 57
[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang...
1.6K 297 26
Omar itu alergi strawberry, sedangkan Nada sangat senang dengan strawberry. "Lo yakin nggak mau cobain cake ini?" Laki-laki ini menggeleng cepat, "ng...