"Yah, ada apa?"
Erland bersuara memecah keheningan. Sejak beberapa menit yang lalu pertemuan mereka hanya didominasi dengan diam. Deru napas Erland yang berat serta pendek-pendeklah yang terdengar. Arlan menunggu putranya berkata jujur, sedangkan Erland sibuk menerka apa yang akan dibicarakan sang ayah.
"Apa ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan sama Ayah, A?" Arlan balik bertanya.
Erland memaksakan seulas senyum. "Ayah yang ngajak aku ketemu berdua aja di sini. Aku pikir ada hal penting yang mau Ayah bilang sama aku."
"Jangan bersikap seolah semuanya baik-baik aja, A. Mulut kamu bisa berkata bohong, sayangnya tubuh kamu berkata sebaliknya. Ayah pernah ada di posisi kamu ... dulu, tapi Ayah gagal. Dan sekarang Ayah yakin kalau kamu pun nggak akan berhasil membuat semua tetap terlihat baik-baik aja."
"Tentang apa sih, Yah? Aku baik-baik aja kok."
Arlan mengulurkan tangan. "Ini, ini, dan ini. Kamu nggak bisa bohong, A," kata Arlan sembari menyentuh beberapa bagian wajah putranya. Arlan baru benar-benar menyadari semuanya tatkala duduk berhadapan dengan Erland. Mata putranya itu tampak sayu, bibirnya putih pucat, dan gurat wajah yang semula tegas, kini terlihat kuyu. Rambut Erland yang sudah sedikit lebih panjang dari biasanya turut memperjelas menyusutnya berat badan lelaki itu.
Erland memilih kembali diam, seakan tak punya rangkaian kalimat yang tepat untuk berkilah dari pernyataan tegas sang ayah. Atau lebih tepatnya, ia enggan menjelaskan.
"Orang yang saat ini duduk di hadapan kamu adalah ayah kamu, A. Kalau orang-orang di rumah nggak bisa membuat kamu percaya untuk terbuka, Ayah bisa jadi pilihan pertama dan terakhir untuk kamu membagi luka."
Saluran napasnya terasa semakin menyempit. Sesaknya kian menjadi, bukan karena sakitnya, tapi karena ucapan ayahnya. Sejak dulu, meskipun terkesan dingin, tapi sang ayah memang paling mengerti dirinya. "Aku ... sakit, Yah," ujar Erland akhirnya dengan suara begitu lirih.
"Sakit apa?"
"Gastrointestinal stromal tumor."
Nama penyakit yang tertangkap indra pendengar Arlan, jelas bukan sakit yang main-main karena ia sadar kalau perubahan Erland tidak akan semenonjol ini jika penyakit itu tergolong ringan. Tumor memang tak selalu ganas, tapi kondisi Erland sekarang seolah menjawab semuanya. "Ayah akan menemani kamu melewati semuanya, A. Kalau waktu itu aja kamu berhasil kembali, sekarang kamu hanya perlu berjuang lebih keras untuk tetap bertahan." Arlan berusaha memberi ketenangan walaupun hatinya ketar-ketir.
"Yah, tapi Reina bilang nggak ada orang yang lolos dua kali dari maut."
"Dia hanya menakut-nakuti agar kamu hidup dengan baik."
Erland masih ingin bercakap-cakap lebih lama dengan sang ayah. Namun, rasa tak nyaman yang mengusiknya memaksa lelaki itu menunda keinginannya. "Yah, aku ke toilet sebentar," pamit Erland. Dengan tergesa ia bangkit dari duduknya kemudian melangkah cepat menuju toilet yang ada di kafe ini.
***
Tangan Renata gemetar membaca sepucuk surat yang di lempar seseorang ke dalam kamarnya. Bukan surat cinta atau apa pun itu yang berbau kebahagiaan, isi surat dalam genggamannya kini justru sebuah ancaman. Ancaman untuk Erland.
Orang yang bikin hidup gue menderita, nggak akan selamat.
-B-
Inisial huruf yang tertera di bagian paling bawah surat tersebut membuatnya teringat akan seseorang. Seseorang yang nyaris merampas nyawa Erland.
Bagas.
Tidak.
Renata tidak akan membiarkan lelaki itu menyentuh suaminya lagi. Cukup sudah masa muda Erland dipenuhi dengan berbagai teror dan kepahitan karena Bagas.
Dengan kepanikan yang sudah mencapai puncaknya, Renata buru-buru mencari nama seseorang dalam deretan kontaknya. Haikal. Dia pasti bisa menolongnya sekarang.
"Hallo, Bang. Tolong ...."
***
"Teteh ke mana, Rei?" tanya Erland begitu semua berkumpul di ruang keluarga. Bunda, adik, dan putranya ada, tapi Erland tak melihat tanda-tanda kehadiran istrinya. Apa Renata masih marah karena masalah kemarin?
"Teteh pergi. Udah lumayan lama sih."
Erland manggut-manggut. Malas juga memusingkan hal itu sekarang, dalam kondisi yang benar-benar buruk.
"A, coba lihat Bunda deh. Aa kok kelihatan makin tirus aja? Sakit?" Elena bertanya sembari mengangkat dagu putra sulungnya itu.
Erland menepis halus tangan ibundanya. "Perasaan Bunda aja," sahutnya, "oh, iya, Bun, aku titip Reka dulu, ya? Pengin tidur sebentar. Semalam banyak kerjaan jadi kurang tidur."
Arlan dan Reina sama-sama memusatkan perhatiannya pada Erland, seolah paham kalau kalimat barusan tipuan belaka. Sewaktu muda, Arlan yang sering melakukan itu, sekarang putranya.
"Sini, Reka sama Oma dulu, ya. Papanya mau istirahat," kata Elena sembari mengambil alih Reka dari gendongan putranya. Rasa lelah Erland tergambar jelas, membuatnya sedikit tak tega. Apalagi Elena tahu kalau sejak kecil Erland mudah sakit jika terlalu lelah.
***
"Kamu gila, Vin? Erland nyuruh orang buat mukulin Haikal? Sejak kapan kamu percaya tipuan kelas teri kayak gitu? Erland itu nggak akan berani nyentuh orang kecuali terdesak."
"Ya mungkin emang karena itu. Dia takut kalau Rena bakal diambil Haikal, makanya berani berbuat nekat."
"Kamu harusnya malu karena dulu dengan berani mengikrarkan kalau kamu sahabat dia, sementara kamu nggak pernah benar-benat tahu bagaimana sifat Erland. Kalau aku aja kecewa sama kesimpulan yang kamu buat, gimana Erland? Percaya sama aku, Vin, kalau pikiran buruk kamu sekarang cuma bakal buat kamu menyesal suatu saat nanti."
Hana melangkah meninggalkan suaminya. Rasa kecewanya kian hebat pada lelaki itu. Mungkin berlebihan dan ia pun terkesan terlalu memihak Erland, tapi di sini suaminya memang bersalah. Kalaupun tidak bisa membantu, setidaknya jangan ikut menyudutkan. Karena yang dibutuhkan seseorang ketika dalam masalah, paling tidak sebuah dukungan.
***
Karina menajamkan pandangannya melihat dua orang yang duduk di meja palibg pojok tengah saling berpegangan tangan. Bukan iri, tapi karena wajah perempuan itu seperti tak asing baginya. Karina merasa pernah melihat dia sebelumnya.
Sembari menyeruput secangkir green tea matcha latte, gadis itu berusaha mengingat.
"Istrinya Kak Erland?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur mulus dari mulutnya. Iya. Karina pernah melihatnya di ponsel Erland. Lagi pula, Erland pun tak segan memamerkan wajah cantik istrinya di hari terakhir dia menginap di rumah sakit.
Erland dan Karina memang memutuskan berteman. Itu juga setelah ayahnya memupus kebekuan dan rasa canggung di antara mereka. Karina yang semula bicara formal pun mulai mengakrabkan diri dengan pria itu. Alasan mengapa Karina mau, semula hanya karena merasa kasihan pada Erland. Dalam kondisi yang cukup parah, dia harus sendirian menghadapi semuanya.
Karina mengeluarkan ponselnya, lantas mengabadikan setiap adegan yang dirasa janggal antara dua orang itu. Takut-takut kalau suatu saat ia akan membutuhkannya.
Bersambung ...
***
Jangan lupa tinggalkan jejak :)