Semu [Completed]

By sajakgadis

55.8K 3.8K 150

"Ck. Kenapa sih setiap ketemu, selalu dalam kondisi memprihatinkan?" Suara itu, cukup membuatku mendongak mem... More

Prolog
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14.
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Epilog
Extra part

27

738 66 1
By sajakgadis

Aku bisa meraih angan sesuka hatiku, karena aku berkeinginan menggapainya,
Namun kamu, banyak sekali yang harus kupertimbangkan untuk menggapaimu.

♡♡♡

Aku menenggelamkan wajahku diatas kedua tangan yang kulipat diatas meja, aku menyembunyikan wajahku bukan karena tidur ataupun menangis, tapi aku sedang menyembunyikan senyumanku agar tidak diketahui orang.

Aku tidak tahu kenapa bibir ini tidak dapat berhenti melengkung keatas setelah semalam. Sampai mama bahkan terus tanya ini dan itu tentang Aldi, aku tidak tahu banyak. Hanya nama panggilan, sekolah, kelas dan cerita masa kecilnya. Mungkin lain kali aku akan bertanya.

Dooorrrr

Aku terlonjak kaget sambil menyentuh dada karena mendengar suara debrakan keras pada mejaku, aku melotot kearah Anya dan Ica yang tertawa keras melihat ekspresiku. Bagaimana tidak, aku sangat terkejut.

"Wah kurang ajar lo berdua, untung jantung masih aman." Ujarku sengit pada mereka.

Anya dan Ica bertatapan sebentar, seperti heran. Seolah dapat membaca pikiran masing-masing, mereka serempak mengangguk.

"Tumben lo nggak marah sambil masang muka-" Anya menunjukkan ekspresi tajam, aku mengerutkan kening.

"Dan tumben juga lo nggak marah sambil masang muka-" Kini giliran Ica menunjukkan ekspresi datar padaku.

Oh, aku paham maksud mereka. Aku tertawa kecil, mereka malah semakin heran melihatku. Kini Anya dan Ica duduk dibangku mereka sambil menatapku meminta penjelasan.

"Emang kalian suka, gue pasang wajah kayak gitu. Bukannya cantik kayak gini ya?" Entah setan darimana mendorongku untuk menampilkan senyum menggoda dan mengedipkan sebelah mata pada mereka.

Anya dan Ica melotot hebat, kemudian raut Anya berubah menjadi panik.
"Sumpah gue nggak bohong, Alda kesurupan. Alda kesurupan sumpah."

Anya mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya sambil menunjukku dan melotot panik pada Ica. Ica hanya memandangku aneh, aku tertawa.

"Tuh anak kesurupan beneran." Ica tertawa setelah mengucapkannya.

Kenapa mereka tidak percaya kalau aku bisa tertawa dan tersenyum sesering ini.

"Kenapa nggak percaya banget sih?"

"Aneh aja. Dari awal lo kaku banget, cuek. Sekarang?" Ica menahan pertanyaannya. "Atau ini semua gara-gara Aldi?" Tanya Ica kemudian.

Aku menahan nafas, "Kenapa Aldi terus sih?" Aku berpura-berpura merengut, walaupun dalam hati membenarkannya pertanyaannya.

"Bisa diliat kali, dari mulai lo deket sama Aldi, lo sering senyum, gue jarang banget sekarang liat muka tembok lo. Emang bagus sih, tapi kita penasaran, beneran Aldi yang merubah lo?"

Sepertinya, kondisinya benar-benar tidak memungkinkanku untuk lolos. Kalau aku sudah percaya, pasti rasanya akan begitu mudah untuk bercerita. Mungkin memang ini waktunya,

Aku melihat jam dinding, masih menunjukkan pukul 06.27. Aku menghela nafas, "Gue bingung mau cerita dari mana." Ucapku pelan.

Anya menggenggam tanganku, "Kita nggak maksa, cerita bagian manapun yang pengen lo tumpahin! Kita sahabat lo Al!"

Aku tersenyum lembut, "Waktu gue masih kecil, gue punya temen cowok. Dia baik banget, menurut gue dia udah jadi sosok yang sempurna sejak dia kecil. Gue sering panggil dia mermaid man." Aku tertawa kecil membayangkannya, seolah aku masuk kedalam masa kecilku lagi.

"Kita terlalu sering sama-sama, mungkin dia udah bosen sama gue, sampai dia ninggalin gue, nggak kembali sampai sekarang." Anya dan Ica meremas kedua tanganku. Hanya genggaman seorang sahabat yang mampu menentramkan hati. Itu yang kurasakan saat ini.

"Lo tau dia pergi kemana?" Tanya Ica hati-hati. Aku menggeleng, "Sore itu kami masih main, setelah dia dijemput, sejak hari itu gue nggak pernah ketemu dia lagi." Aku menunduk, walau aku sudah menceritakan sebagiannya pada Aldi, masih saja aku merasakan tusukan kecil dihatiku.

Aku terus melanjutkan, "Sampai gue ketemu Aldi, matanya sama. Beberapa ucapannya juga ngingetin gue sama dia, gue kira itu dia, tapi bukan, Mereka nggak sama." Aku tersenyum pahit menyadari bahwa aku masih terus bertahan sampai saat ini. Bahkan, semua  ini hampir membuatku berpikir akan rasa yang tumbuh untuk Aldi.

"Terus lo suka sama Aldi karena merasa ada dia didalam diri Aldi?" Tanya Ica yang menatapku serius. Aku menatap sekitar, tidak ada yang memperhatikan kami.

"Bukan, Cara Aldi ngingetin gue, Semua ucapannya bikin gue sadar, segala penantian nggak akan ada yang sia-sia namun bisa berakhir, dan kalaupun tidak sesuai, Tuhan pasti memberi yang lebih baik." Aku menghela nafas panjang, melihat Anya dan Ica ragu sekaligus malu.
Ica menaikkan sebelah alisnya dan Anya yang melihatku untuk memintaku melanjutkan.

"Gue suka berdebar nggak jelas kalau deket dia, sebentar gue bakal kesel sama dia, tapi dia pengaruhi gue buat buka mulut, sekadar tersenyum. Caranya nggak mampu ditolak hati gue." Aku menyenderkan tubuh kekursi, tersenyum seperti mendongeng.

Sedetik kemudian, aku melihat mereka berdua sendu, "Gue takut kalau gue mulai suka sama Aldi. Gue takut, Aldi ninggalin gue sama persis kayak dia ninggalin gue gitu aja." Aku menunduk lirih,

berjuta kemungkinan selalu membayangiku sejak malam itu, membuatku takut untuk mengaku pada hatiku, bahwa aku menyukai Aldi dan memutuskan untuk berhenti mencari dia. Tidak ada keputusan yang tepat atau jawaban yang melegakan. Semuanya serba mengabur, saat aku merasa harus meraih bahagia yang telah disiapkan Tuhan, aku malah terhenti hanya karena kenangan pahit yang memang tidak akan hilang. Aku masih mencoba mengikhlaskannya.

"Gue tau Aldi, seperti yang gue bilang, lo sama Aldi cocok. Kalau lo bisa percaya dia, gue yakin dia nggak akan ngelepasin lo. Lo hanya perlu membuka pikiran lo, liat sikap Aldi ke lo selama ini!" Ucap Anya lirih sambil menggenggam tanganku.

"Tapi, Aldi pernah bilang. Kalau dia itu sayang gue, yang perlu gue lakuin adalah nunggu dia kembali. Aldi juga bilang, kalau dia juga punya temen kecil yang Aldi sayang. Menurut lo, pantes gue punya perasaan sama Aldi?"

"Lo tau, selama gue sekolah disini, gue nggak pernah tau Aldi deketin satu cewek barang cuma PDKT. Tapi liat, lo baru dateng Aldi udah ngasih perhatian beda ke lo." Sahut Ica bergantian.

Aku menatap mereka berdua dengan serius, "Lo berhak bahagia, dan itu ada sama Aldi." Anya mengucapkannya dengan tulus. Aku balas menggenggam tangannya dengan erat.

Andai tidak ada meja yang terbentang diantara kami, aku sudah pasti memeluk mereka begitu erat. Menyalurkan perasaan bahwa mereka sahabat yang paling baik yang pernah kukenal selama aku hidup.

"Jangan cuma gue yang harus percaya kalian, tapi kalian juga harus percaya gue. Kita bagi duka bersama, karna dari duka kita bisa menemukan suka. Gue percaya kalau kita sahabat."

Sesaat setelah mengucapkannya aku melihat mereka seperti terperangah, namun keterperangahan itu segera berubah menjadi senyum paling tulus yang pernah kulihat selain dari milik Aldi dan Mama.

Dan dengan mereka, aku tidak lagi akan menjadi pihak yang selalu mendengarkan, namun juga didengarkan.

*******

"Ica dengan Lidya, Angel dengan Dita, Anya dengan Toni." Aku tertawa kecil mendengar pekikan Anya yang sekarang menatap kesal pada Toni yang kini memberi cium jauh.

"Dan terakhir, Alda dengan Affan. Baik silahkan pelajari materi yang telah saya berikan. Pertemuan selanjutnya kita presentasi."

Hanya lamat-lamat ku dengar seruan guru ekonomiku itu. Sial, tak henti-hentinya aku mengeluh kesal, bukan karena materinya, tapi karena siapa pasanganku kali ini untuk menyampaikan materi.

Padahal tadinya aku sudah membayangkan kalau aku akan bersama cewek jika menurut absen, tapi kali ini dipasangkan secara acak dan rasanya pasti akan sangat canggung. Aku mencoba melihat bagaimana raut Affan. Oh, dan seperti biasa Affan di dalam kelas, dia akan tidur dengan membenamkan wajah di lipatan tangannya.

Aku ragu apa aku harus memberitahunya, sisa waktu pelajaran masih 8 menit dan guru ekonomi juga belum keluar. Aku bisa mati jengkel hanya karena penasaran. Akhirnya, aku memutuskan menghampiri Affan dan mencolek bahunya. Affan mengangkat wajahnya, tidak ada raut mengantuk sedikitpun, malah ada senyum dimatanya walau bibirnya memunculkan garis tipis.

"Kita satu kelompok ekonomi materi kurs, lo tidur makanya gue bilangin. Hari Rabu kita siapin materi."

Affan berdecak pelan kemudian berdiri membuatku harus mendongak ke arahnya,

"Siapa yang tidur? Orang lagi bahagia." Ucapnya datar lalu berjalan meninggalkanku dan keluar kelas begitu di izinkan oleh guru.

********

"Mau kekantin?"  Aku menghentikan tawaku dan berbalik melihat siapa yang berbisik di telingaku. Aku menyempatkan diri untuk terkejut melihat wajah yang hampir dekat dengan wajahku.

"Aldi, kamu ngagetin."

"Hah?" Bukan Aldi yang menyahutnya, namun Anya dan Ica. Aku lupa kalau mereka masih disini. Seketika wajahku merona.

"Hai," Sapa Aldi pada mereka yang dibalas kikuk dan senyum paksa. Aku mengulum senyum, kini Aldi memandangku.

"Kamu mau ke kantin?" Ucapnya lagi, aku semakin merona, pasalnya ada Anya dan Ica disini. Siapa yang tidak berpikir nantinya, hubungan hanya sebatas teman namun panggilannya terdengar begitu manis.

Aku mengangguk, aku melanjutkan perjalanan dengan Aldi yang mengekor dibelakangku. Aku berhenti dan membalikkan tubuh,
"Ka-kamu juga mau ke kantin?" Aldi hanya mengangguk.

"Nggak sama temen kamu?"

"Kamu kan temen aku."

Deg

Aduh, Aku malu, aku mengerti namun maksudku bukan seperti itu. Aku melihat Aldi yang tertawa kecil, "Paham, nggak boleh bareng kan?"

Aku melongo kaget mendengar pertanyaannya, "Boleh kok." Seru Anya nyaring.

Aldi kembali tertawa kecil dan tersenyum kemenangan. Kini Aldi mengajak Anya dan Ica untuk ke kantin. Meninggalkan ku yang sekarang melongo cengoh. Aku menghentak kesal sepatuku kini berganti aku yang berada dibelakang mereka dengan Aldi yang ditengah Anya dan Ica.

Ya seperti biasa, dikantin yang sebesar tiga kali ukuran kelas ini memang selalu ramai di jam-jam istirahat pertama maupun kedua, tiap-tiap stand makanan akan selalu laris karena memang menyediakan makanan dengan cita rasa khas yang mampu menggetarkan lidah.

Kami memilih bangku agak pojok ke belakang, dengan aku yang ditengah antara Anya dan Ica dan Aldi yang disebrangku tengah menatap ponselnya.  Batagor dan es teh yang kami pesan juga telah disajikan, namun tidak ada satu diantara kami yang menyentuhnya.

Aldi memasukkan ponselnya kedalam kantung celananya sambil menghela nafas berat. Aku menunduk ketika Aldi akan menaikkan kepala nya.

"Kenapa nggak dimakan?" Aku menaikkan kepala kearah Aldi, aku menoleh pada Anya dan Ica seakan bertanya siapa yang tengah diajak Aldi berbicara,

"Tanya kalian semua." Astaga, aku lupa kalau Aldi itu cenayang.

"Ini mau dimakan." Sahut Anya yang kini mulai menyendok batagornya. Sedetik kemudian Anya tersedak setelah,

"Gak usah gugup gitu ngomong sama gue, pede aja kalau ngomong sama cogan." Tutur Aldi seraya tertawa geli. Ica menatap Aldi seolah Aldi tidak waras dan aku yang memutar bola mata kesal. Caper nih ceritanya.

"Wah, ternyata cowok sekalem lo punya tingkat pede yang menggelikan." Ica tertawa sambil bergedik geli, Anya tertawa menyutujui.

Lihatlah bagaimana Aldi membuat suasana hangat untuk Anya dan Ica, seperti itu juga dia menghangatkan hatiku, dengan cara luar biasa sederhana yang dimiliki olehnya.

Lihatlah bagaimana Aldi membuat sebagian cewek dikantin ini menjadikannya pusat perhatian, seperti itu juga dia membuat perhatianku hanya terpusat untuknya, dengan modal tawa yang dia bagi untuk setiap orang.

Lihatlah bagaimana, nyamannya Anya dan Ica bergurau dengan Aldi, seperti itu juga rasa nyaman yang Aldi hantarkan untukku.

Jika dalam hati tersenyum, diluar itu mataku serasa memanas, aku menguatkan hatiku untuk menghalau dan menguburnya sedalam mungkin. Aku terus menguatkan hatiku yang terluka, bukan karena dia tak kunjung kembali, namun karena aku menghianati dia dan diriku sendiri,

Dengan memiliki perasaan untuk Aldi,

Dengan menyukai Aldi,

Dengan begitu nyamannya dengan Aldi.

Dengan kini fokusku hanya Aldi.

Dan dengan sialnya, kini porosku beralih pada Aldi.

Harusnya aku bahagia, tetapi tidak ketika aku merasa terikat pada seseorang yang menjatuhkanku begitu dalam, yang meninggalkanku tanpa iba, yang membuatku terpuruk.

Tapi, Aldi datang membantuku, merengkuhku, menyadarkanku dan membantuku bangkit. Membuatku diam-diam meletakkan namanya dihatiku.

Kini aku menatap dalam mata Aldi yang masih berbincang dengan Anya dan Ica, aku menyerah menutupi hatiku, aku akan mengakuinya namun tetap membungkam mulutku.

Kini lihat aku, begitu sempurnanya perasaanku yang hanya mampu kututup rapat tanpa mau membukanya.

Iris mata gelap Aldi kini menatapku dalam, itupun tak mampu membuatku mengalihkan pandangan, "Kamu nggak makan?" Aku masih diam.

"Aduh, kamu nya ngegas banget." Sahut Ica bercanda, aku masih diam. "Kode aduh, si putri Solo nggak ngeh." Kini giliran Anya yang menambahi, disusul tawa Ica dan Aldi.

"Jangan keras-keras, nanti dia nggak sanggup nerima." Sahut Aldi masih menatapku dan tersenyum jahil, aku masih diam.

Aldi sempat mengernyit menatapku, mungkin Aldi heran menatapku yang melihat dalam matanya namun terlihat melamun. Aldi menyentuh tanganku sekilas, untuk mendapat perhatianku. Aku mengerjap mematapnya, kemudian memejamkan mata sebentar.

Gejolak ini harus kuselesaikan sendiri, karena aku berani menanggungnya. Aldi menatapku teduh,

Jangan menatapku seperti itu! Kamu benar aku nggak sanggup menerimanya. Aku udah suka sama kamu.

Hanya akan didalam hati aku menumpahkannya, tidak secara lisan maupun perbuatan.

Aku berdiri, "Aku ketoilet dulu." Sejurus kemudian, aku berbalik melangkahi kursi dan berjalan cepat dengan mata memanas.

Dulu aku menemukan arahku, lalu tersesat begitu saja. Kemudian Tuhan berbaik hati memberi arah padaku, namun aku masih takut kalau nanti aku akan tersesat, lagi.

******

Aku menangis kencang tanpa suara, meredam tangis dengan membekap keras tanganku dimulut. Aku mendengar suara pintu yang dibuka, aku berada di toilet bagian ganti, setelah memastikan aman dan sepi baru aku menangis sejadinya,

Aku menunduk sambil berpura membenahi pakaianku, aku merasakan bahuku dibalik. Disana ada Anya yang menatapku khawatir,

Anya memejamkan matanya, "Lo kenapa?" Anya menghapus air mataku. Aku segera menghambur ke pelukannya.

"Gue suka sama Aldi Nya, gue suka Aldi." Ucapku tersedu, hancur sudah. Aku benar-benar penghianat.

Aku hanya mendapat usapan lembut dipunggungku dan aku mendengar jantung Anya yang berdetak keras. Aku mendongakkan kepala, aku benar-benar kaget melihat Anya.

Anya meneteskan air matanya, "Lo kenapa?" Kini giliran aku yang bertanya, menatap khawatir pada Anya.

"Gue baper bego," Anya kembali memelukku, "Lo kenapa nangis coba?"

Aku melepas pelukannya, "Itu sama aja ngehianatin dia." Anya menggeleng, menatap tajam padaku.

"Stop, lo nggak boleh gini terus! Lo boleh menoleh kebelakang saat lo melangkah ke depan. Buat itu sebagai pelajaran, jangan dibuat sebagai hambatan untuk lo maju!

Kalau dia perduli, dia pasti udah cari lo, minta maaf sama lo. Lagian kalian cuma sahabatan, mungkin aja perasaan lo sama dia cuma sayang sebatas sahabat, beda sama Aldi. Buka mata lo, keliatan banget Aldi juga suka sama lo! Lo tau, Aldi nyuruh gue ngejar lo, dia minta gue nenangin lo" Tutur Anya panjang lebar dengan nafas menggebu.

Aku hanya mendengar beberapa kata-kata Anya. Tapi perhatian ku terpusat pada ucapan Anya yang menyadarkan perasaan yang kumiliku untuk dia.

Sayang? Ya, bisa saja perasaan yang kumiliki hanya sayang sebatas sahabat dan itu berbeda dengan Aldi. Entah bagaimana menjabarkannya, tapi perasaan itu berbeda.

Sedetik kemudian aku tersenyum bodoh, Anya menatapku ngeri. "Gue bodoh amat ya, padahal kan gue sama dia cuma sahabatan tapi, kenapa seolah-olah gue merasa terikat?." Aku menepuk jidatku.

Anya mendengus sangat kesal, "Maka dari itu, masa lalu nggak perlu lo caci terlalu jauh, tanpa masa lalu, lo nggak akan bisa menempuh masa depan."

"Kok lo pinter sih?" Aku menyengir lebar sambil mengusap air mata yang masih tersisa. Anya mengibaskan rambutnya.

"Gue mengalami masa-masa dimana gue harus mampu melapangkan dada untuk sesuatu yang jauh di luar ekspektasi gue."

Aku mengerutkan kening, bingung dengan ucapan Anya yang kini berubah serius. Aku hendak ingin bertanya namun, "Ayo balik ke kelas aja." Titahnya yang kujawab dengan anggukan.

Baru beberapa langkah aku terhenti, aku mengingat sesuatu, "Waktu itu Aldi bilang, kalau gue harus yakin dan nunggu dia kembali."

Anya ikut berhenti dan mendengus kesal padaku, "Ih, namanya siapa sih?"

"Dika."

Ya, dia adalah Dika. Teman kecilku yang sudah mencuri perhatianku sejak kecil. Namanya Dika, teman lelaki yang sejak aku kecil sudah menjadikannya poros.

"Sekali lagi gue bilang, Dika cuma 'sahabat' lo, ya kalau Aldi bilang suruh nunggu Dika balik, ya tungguin aja. Orang dia cuma 'sahabat' lo." Ucap Anya sengit, sambil menekankan kata sahabat padaku.  Mungkin berusaha menjelaskan sejelasnya.

"Hehe, iya ya, kan cuma sahabat." Cengirku tidak jelas. Anya memunculkan bogemannya sebagai jawaban.

Kami kembali melangkah keluar dari toilet. Aku kembali menghentikan langlahku, membuat Anya menggeram keras. Aku menahan diriku sendiri agar tidak tertawa keras, aku hanya pura-pura bodoh sedari tadi. Alasannya hanya karena aku suka melihat wajah kesal Anya.

"Tapi, Aldi juga bilang dia juga nungguin temen kecilnya." Anya terus menepuk jidatnya bahkan membenturkan pelan kepalanya ke tembok setelah itu memelototi tembok tersebut.

Anya melotot padaku, membuat sudut bibirku bergetar tak kuasa menahan tawa. Anya menggeram tepat di muka ku, lantas meninggalkanku dengan,

"Teman, teman, teman, Ya Tuhan kenapa semuanya harus berawal dari Temaannn." Anya mendongak sambil menengadahkan kedua tangannya, semacam berkeluh kesah pada Tuhan dengan keras.

Anya berhenti seketika saat mendengar suara tawaku,

"Tau rasa lo ya, kalau dari teman tetap jadi teman." Setelah aku diam, Anya tertawa setan.

_________________________


Jangan lupa vote dan comment ya😊

Follow ig aku juga ya.

Ig : novitas33

Continue Reading

You'll Also Like

KAMI | ✔ By nea

Teen Fiction

12.9K 1.9K 11
Cerita para ABG (Anak-anak Bunda Ghea) penyuka keributan. *** Kisah kami bermula saat kelas sebelas. Saat itu hubungan kami benar-benar tak bisa dika...
47.7K 4.4K 41
Dimas lelah berpura-pura bahagia. Namun, ia lebih muak menahan kerinduan pada sosok yang tak mampu dilihatnya lagi. Ameta Briliana. Dimas ingin berte...
2.3M 125K 61
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
760K 53.4K 33
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...