The Last Blue

By Arasther

272K 23.7K 4.9K

Bagaimana jika identitas keluargamu ditentukan dari warna mata? Seperti... Pemilik mata hijau, YinYang di dun... More

Tempat Apa Ini?
Ada Seseorang
Bad Mood
Pesan
Orang Aneh dan Penguntit
Bukan Seseorang
Malam Pertama di Rumah Baru
Janji
Biru Kuadrat
Mata dan Identitas
Sejarah yang Hilang
Roh Jahat
Rumah Cermin Balfas
Malaikat Hitam Gallchother
Tanda
Lubang di Pohon
Saudara Perempuan
Potongan yang Diawetkan
Dress Biru
Pesta Abu-abu
Teka-teki
Tiga Bangsawan
Hantu Sekolah
Wujud Asli atau Palsu
Hari yang Panjang
Tukang Bohong
Teror Toilet Sekolah
Wilayah Para Ular
Tak Ada yang Abadi
Keluarga Svartelli
Selamanya Ganjil

Sejujurnya

5.9K 495 418
By Arasther

Konsentrasi
Siapa tau nemu sesuatu :}

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

-Blu-

Apa ini?

Mimpi buruk yang lain?

Kegelapannya, kepekatannya, dan kekosongannya terasa familiar.

Mungkinkah ... aku pernah kemari?

"Hahaha, tentu saja tidak. Memangnya kau sudah mati?" Suara dingin itu menggema sesaat.

Aku mengerjapkan mata perlahan, menjernihkan penglihatanku yang sedikit buram. Sosoknya perlahan-lahan terlihat dalam bentuk manusia yang menyala dalam gelap.

Atau mayat hidup. Manusia tak akan tampak sebegitu busuk kulitnya.

Wajahnya pucat kebiruan seperti orang kehabisan oksigen. Kedua lengannya penuh sayatan dan mengalirkan banyak darah. Bola mata putihnya sarat akan kematian.

"Jangan takut," bisiknya.

Tangannya menjulur ke arahku. Ia meremat lenganku pelan. Hawa dingin dari kulitnya langsung melekat dan membuatku merinding.

Aku menahan napas dengan tegang saat menyadari bahwa tangannya basah berdarah. Aku berteriak kuat. Namun, suaraku tertahan oleh bibirku yang mengatup rapat.

Dia sadar aku takut.

"Aku bisa menolongmu," ucapnya seraya melepas tangannya yang lengket menjijikkan. "Aku datang hanya untuk melakukan penawaran."

Ia menatapku intens dan tersenyum kalem, agak misterius. "Jangan khawatir. Aku memiliki penawaran yang sangat bagus."

"Apa ... kau ... Jane?"

Dia tersenyum dengan horor kepadaku. Tangannya terangkat tinggi, ia membuat rekayasa hujan darah melalui kelima jarinya. Lalu ia berbisik ke kegelapan, kata-katanya mendesis ke penjuru udara.

"Hantu ... yang terkenal karena kisah pilunya ... yang jiwanya dikurung oleh hantu Anna ... yang menulis dengan tinta darah di dinding sekolah. Ya, itu aku."

"Kau-- " Suaraku tercekat. Mataku mulai menggenang.

Aku hanya ingin berteriak. Menampar wajahnya, menyumpahinya, atau mendorongnya sampai terjungkir. Tetapi apa? Yang bisa kulakukan hanyalah duduk memandangnya dan menangis tak berdaya.

Dia hanya hantu.
Hantu yang sangat jahat.

"Kau iblis," rintihku dengan suara bergetar. "s-sebab itulah hantu Anna mengurung jiwamu ... karena kau iblis."

Sorot matanya berubah drastis. "Kau bicara persis seperti Anna. Tidak jelas."

"Dan kau jahat. Kepadaku ... korban lainnya ... dan hantu-- ". Ucapanku terputus oleh isak tangisku. "Anna."

Dia menggeram marah dan menarik seragamku hingga wajah kami berdekatan. Aku bisa melihat kerutan-kerutan wajahnya dan urat di bola mata putihnya dengan jelas. "Apa maksudmu?" desisnya. Napas kematiannya membawa suasana kuburan.

Dengan berani, kutatap matanya tajam sama tajam. "Mengakulah, Jane! Mengakulah bahwa kaulah satu-satunya sosok antagonis dalam legenda Jeanna!"

"Cih!" Dia mendorongku kasar. "memangnya kau tahu apa?!"

Hening, tak satupun dari kami melanjutkan. Dunia roh bak ruang hampa udara ketika kami terdiam. Dia melihatku sekilas, lalu segera balik badan. Sekarang ia memunggungiku.

Diluar dugaanku, ia menangis. Hantu Jane yang jahat terisak dari balik punggungnya yang bergetar.

Aku begitu takut hingga kakiku ikut gemetaran. Aku ingin pergi dari sini sekarang juga, melindungi telingaku dari tangisan pilu yang mengerikan itu. Namun, sebagian hatiku merasa iba dan memohon untuk tetap tinggal. Layaknya manusia ketika melihat orang bersedih.

"Aku ... bisa sembuhkan lukamu, aku ... juga bisa urus para pem-bully itu untukmu," tukasnya dengan parau.

"U-Untuk apa?"

"Bisakah kau diam dan dengarkan aku?!" bentaknya. "kumohon."

Aku mengelap air mata terakhir yang mengalir di pipiku dan mencoba untuk mendengarkan. Dia berbalik ke arahku, menatapku langsung. Kilatan matanya sudah berbeda dari yang pertama kali kulihat. Kesengsaraanlah yang kini terpancar dari matanya.

Dia menangis darah. Tiap tetes dari air matanya menyala ketika jatuh. Warnanya sama seperti nyala badannya, kehijauan. Tiap kali air matanya terjatuh, rohnya nampak semakin terang. Oh, dia sungguh membuatku takut.

Aku mengambil posisi duduk yang agak jauh darinya. "Sebenarnya apa yang kau mau dariku?" ucapku pelan sekali.

"Aku ingin kau ceritakan kepada seluruh warga sekolah tentang isi legenda Jeanna yang sesungguhnya."

Mataku membelalak tak percaya. Jadi, cerita yang kudengar selama ini salah? Semua cerita itu dibuat-dibuat?

"A-Aku tak bisa, Jane," jawabku ragu.

Ia nampak kaget dengan jawabanku. "Kau ... tak mau menolongku? Kau mengecewakan, Blu."

"Aku tak tahu caranya, Jane. I-Itu tak akan mudah. Menyebarkan legenda yang sudah ada versinya sendiri di lingkungan sekolah? Aku tidak bisa."

"Tetapi kau punya empat orang teman untuk memulainya."

"Aku tidak cukup terkenal untuk ukuran tenar yang kau maksud."

Sesaat aku teringat Letra dan Beni, tetapi apa mungkin Letra tertarik dengan cerita mistis seperti Jeanna? Beni sudah pasti tidak mungkin. Masalahnya, hanya mereka orang tenar yang aku kenal.

"Kumohon," ucapnya memegang tanganku. "aku janji, ini terakhir dan pertama kalinya aku meminta bantuanmu. Kumohon, beri aku kesempatan."

Aku menarik tanganku dan merasa ngeri. "Kesempatan?" Yang benar saja. Dia bahkan sudah mati.

Kesempatan apa lagi yang kau harapkan, Jane?

"Aku akan berhenti mengganggumu," tambahnya.

Aku menggeleng pelan, hampir tidak kentara. "Dan jika aku tetap tidak mau, apakah kau akan terus menggangguku?"

Dia terdiam. Aku tahu persis jawaban apa yang ia simpan.

"Lihat? Semua ini takkan mengubah apapun," ucapku dengan nada keras. Mataku kembali menggenang. "terimalah kenyataan bahwa kau memang hantu yang jaha--"

"Bahkan ... orang yang paling bejat sekalipun masih diberi kesempatan untuk membela dirinya di depan pengadilan." Ia langsung memutus ucapanku. "apakah itu juga berlaku untukku?"

Aku terdiam dengan mulut masih menganga, tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Kau mau mendengarkanku, kan?" pintanya.

Setitik air mata jatuh bersamaan di kedua pipiku, disusul dengan suaraku yang bergetar karena kesal. "Untuk kali ini saja."

Itulah pertama kalinya dalam hidupku, aku membantu sosok yang kubenci.

"Terima kasih," tukasnya kembali memegang tanganku, tetapi langsung kutolak. Aku sangat jijik dengan darah busuk, darah mayat. Ia melanjutkan, "jadi ... namaku Jane. Dulu aku bersekolah di Curtis High School ini. Aku hanya memiliki seseorang yang sudi menjadi temanku. Namanya Anna. Kami selalu sekelas."

"Sebentar," aku menghembuskan napas panjang dan memalingkan wajahku. "Tahun berapa kalian masuk sekolah?"

"1840. Empat puluh tahun yang lalu. Juli tahun itu adalah awal kami berjumpa. Anna orang yang sangat ramah, dia selalu menyapaku duluan. Walaupun yatim piatu, ia tak pernah malu untuk bergaul dengan semua orang. Terutama denganku. Dia bilang aku ini sakit."

"Sakit apa?" tanyaku dengan hati-hati, masih tanpa melihatnya.

"Apatis*."

"Apa itu jenis penyakit? Guru kewarganegaraan di sekolah lamaku bilang itu hanya suatu sifat," tukasku.

Ia menggeleng sembari melemparkan sorot mata tajam, "Tetapi itu sifat yang jelek."

Pandanganku langsung turun seketika. Aku tak berani menatap wajahnya, bekas air mata darahnya terlalu mengerikan untuk dilihat dari jarak sedekat ini.

"Selama berteman dengannya, sifat apatisku itu perlahan hilang. Dia benar-benar mengajariku arti peduli. Namun, suatu hari ... aku ... kumat."

Aku meremat beberapa helai rumput yang teraba tanganku. "Apa yang terjadi?"

"Kau tahu mengapa gedung kelas tiga di sekolah ini bertema terakota?"

Aku menggeleng sembari mengelap sisa air mata. "Apa itu ada maknanya?"

"Sebenarnya bukan makna. Gedung itu sebelumnya juga sama seperti gedung-gedung yang lain. Abu-abu dan jelek. Bedanya, itu gedung yang paling tua. Pemerintah sudah melarang kami menggunakannya sebagai tempat kegiatan belajar. Namun, Curtis High School tak punya pilihan. Pihak sekolah kekurangan dana untuk renovasi karena sebagian besar dana dipakai untuk pembangunan perpustakaan baru."

"Jadi, gedung itu dihancurkan?" tanyaku menebak-nebak.

"Tidak, gedung itu hancur dengan sendirinya. Sekaligus ... mengubur satu-satunya teman yang paling berharga dalam hidupku."

Aku menutup mulutku tak percaya. Mataku membelalak menatap Jane yang kembali menitikkan air mata merah. "Jangan diucapkan, Jane ...." ucapku dari balik tangan.

"Anna, hiks," isaknya.

"Jane, stop."

"Aku dengar retakan dari gedung itu ... lantai duanya nampak sedikit bergoyang. A-Aku kira itu hanya imajinasiku saja. Aku tak memedulikannya. Padahal, aku tahu ... di lantai bawah, Anna tertidur pulas menunggu remedial nilai. Sesaat setelah aku sampai di gerbang depan, orang-orang berteriak bersamaan dengan bunyi dentuman yang kuat. Gedung itu ambruk. Anna ada di dalam sana. Aku tak bisa menyelamatkannya, Blu. Dia mati karena aku!"

Aku meremat tangannya yang penuh darah. Rasa jijik yang sebelumnya menggangguku sudah tak kupedulikan lagi. Aku hanya ingin menenangkannya. "Aku tahu bagaimana rasanya, tetapi jangan menyalahkan dirimu, Jane. Itu sama sekali bukan salahmu," ucapku pelan.

"Hiks ... aku takkan pernah memaafkan diriku," suara paraunya bercampur dengan isak tangis.

"Aku yakin Anna pasti mengerti," aku mencoba meyakinkannya.

"Tolong ... saat kau bercerita pada teman-temanmu, tambahkan bahwa hantu Anna tidak mengurung jiwaku. Bilang pada mereka bahwa hantu Jane sangat menyesali perbuatannya. Aku minta maaf atas kelalaianku terhadap hantu Anna. Aku tak tahu harus minta tolong pada siapa lagi ... hanya kau yang bisa melihatku."

Aku mengernyitkan dahi sejenak, memikirkan bagaimana baiknya cerita itu kusampaikan. "Baiklah, Jane. Namun, aku rasa akan lebih bermakna jika kau sampaikan langsung permintaan maafmu pada hantu Anna. Dia ada, kan? M-Maksudku, dia masih gentayangan, kan?"

Ia menggeleng kuat, "Tidak, dia tidak akan mau menemuiku. Dia membenciku setengah mati."

Aku kembali menghembuskan napas panjang. "Hhah ... baiklah, Jane. Itu saja kan yang harus kusampaikan?"

"Ya. Terima kasih. Aku akan balas kebaikanmu mulai dari sekarang."

Jane meletakkan tangannya di atas kepalaku. Seberkas cahaya kehijauan muncul dari telapaknya. Aku merasakan aliran energi dari tangannya menembus masuk ke kepalaku. Darah dari tangannya mengalir membasahi tubuhku dalam bentuk cairan yang menyala kehijauan. Cairan itu terserap ke dalam kulitku. Setelah itu, aku merasa jauh lebih baik. Kepalaku berhenti berdenyut, perutku tidak lagi nyeri, dan aku merasa tubuhku menjadi lebih hangat.

Lalu, Jane tersenyum kalem seperti awal kami bertemu. Kali ini senyuman kalem yang bahagia. Tubuhnya menjadi transparan, tidak seperti sebelumnya. Ia melambaikan tangan padaku dan berterima kasih. Aku balas melambaikan tangan. Entah mengapa rasanya sedih. Seakan-akan inilah pertemuan terakhir kami.

Di detik-detik perpisahan kami, Jane sempat mengatakan sesuatu.

"Blu ... gedung itu dibangun kembali dan dicat warna terakota untuk menghormati arwah Anna. Itu warna kesukaannya." Begitu ucapnya.

Setelah itu, sosok Jane menghilang dalam sekejap. Pandanganku pun mulai berputar. Saat itu juga rohku seperti ditarik mundur.

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

SRET. SRET.

Aku terbangun karena rasa gatal yang tak tertahankan di wajahku. Ternyata ada seekor kadal menggosok-gosokkan ekornya ke hidungku. Yeiks. Menjijikkan.

Aku masih terbaring di markas tersembunyi Roz dan Grisel, dengan baju super kumal penuh debu tanah dan beberapa bercak darah. Ah, iya, hujan darah siang tadi.

Pertemuanku dengan hantu Jane terasa seperti mimpi sekejap. Antara nyata dan tidak nyata, seperti lucid dream. Aku masih menganggap pertemuan kami hanyalah mimpi sampai aku melihat lengan kiriku. Aku kaget sendiri. Di situ ada cap tangan berdarah bekas tangan hantu Jane. Dan ada juga di baju seragamku, diantara dua kancing baju teratas. Kedua punggung dan telapak tanganku juga penuh dengan darah. Aku ingat dia memegang tanganku dan aku juga memegang tangannya.

Berarti, aku sungguh pergi ke dunia roh tadi?

Aku mencoba membuktikannya lagi dengan berdiri tegak. Seperti keajaiban, badanku tidak sakit sama sekali. Hantu Jane benar-benar menyembuhkanku!

Aku harus segera ke kelas dan menceritakan legenda Jeanna kepada mereka-Ave, Beni, dan Shai.

Langit sudah begitu gelap sebelum aku menyadari bahwa sekolah telah berakhir dua jam yang lalu. Aku melewatkan pelajaran Bu Dornell.

"Diusir dari kelas musik. Pff, hahaha!" tawa seseorang saat aku berjalan melewati lorong kelas dua.

Aku menanggapi pemilik suara yang termasuk dalam daftar 'Orang-orang Paling Menyebalkan Dalam Hidupku' itu dengan tatapan sinis.

"Hey, kau melawak ya? Mengapa kalungnya tidak dilepas-lepas?" tambahnya sembari menyantolkan tali tasnya yang turun.

"Jaira," geramku. "ada orang berdarah-darah di sini. Bisa-bisanya kau tertawa?"

Ia memberiku satu 'hah' kaget dan akhirnya menyadari betapa kacaunya seragamku saat ini.

"Kau habis kecelakaan, ya?"

"Tidak. Jangan ganggu aku, Jai. Aku ingin cepat-cepat pulang." Aku berlalu meninggalkannya. Namun, ia menyusulku.

"Kau ingat kan nasihatku beberapa hari yang lalu? Apa kau masih bicara dengannya? Si Avena itu?"

Aku menghentikan langkahku dan menghadap ke arahnya. "Hentikan omong kosongmu itu, Jaira! Kau keterlaluan!" Aku mendorong pundaknya sedikit kuat hingga tali tasnya terlepas. "sejujurnya, aku lebih mencurigaimu dibanding Ave. Kau pernah bilang padaku untuk tidak berkeliaran sendirian sepulang sekolah, kan? Lalu, bisa kau jelaskan apa yang sedang kau lakukan jam segini? Sendirian? Sepulang sekolah?"

"Hah, santai saja, dong! Aku habis remedial sejarah kalau memang kau mau tahu."

"Baiklah, itu bisa diterima. Lalu, mengapa setiap kali kita bertemu kau selalu membahas Ave? Apa masalahmu?"

Dia menyunggingkan senyum miring yang tak dapat kuterjemahkan. "Masalahnya adalah dia sudah mati."

"Aku tak percaya kata-katamu," ucapku lantas hengkang dari hadapannya. Dia kembali mengikutiku.

"Jangan ikuti aku!" bentakku. "kalau kau berani, temui Ave besok pagi dan bilang ke seluruh murid kelasku bahwa dia hantu. Buktikan kalau perkataanmu itu benar."

"Apa?!"

"Mengapa? Kau takut dicemooh? Atau kau takut identitas aslimu terungkap?"

"Hah, memangnya aku sepengecut itu? Lihat saja besok!" Ia pun pergi mendahuluiku dan berlari secepatnya ke gerbang.

Aku mendengus kesal dan ikut mempercepat langkahku ke kelas. Barang-barangku masih berserakan di meja.

Aku membuka pintu kelas dan mendapati isinya kosong melompong. Hanya kursiku yang masih ada tasnya. Barang-barangku sudah dirapikan oleh seseorang. Ada secarik kertas di atas mejaku dengan tulisan Shai yang sangat kukenali.

Blu, maaf aku harus pulang duluan. Aku tidak bisa menunggu karena ayah menyuruhku untuk pulang cepat hari ini. Oh, iya, lihat ke kolong mejamu!

XOXO-Shaile

Aku melipat selembar surat itu ke dalam kantong seragamku dan mengikuti apa yang Shai suruh. Kuintip isi kolong meja itu, sebuah cermin genggam dengan secarik surat lagi. Aku membaca cuilan kertas yang diletakkan di atas cermin itu lalu memekik kesenangan.

"Demi sneakers! Cermin masa laluku sudah jadi!"

Tanpa menunggu lebih lama, aku pun segera membawa tasku dan pergi ke lapangan sekolah.

"Magia, magio, spegulo, montru al mi kion vi vidas! Tunjukkan saat aku pingsan."

Aku memegang gagang cermin itu erat-erat sambil menunggu kabut ungu dalam kacanya menghilang. Cerminnya sedang bereaksi. Sesaat setelah terdengar bunyi 'ZIING', pemandangan yang sama persis pun muncul di dalam cermin. Cermin itu jadi bolong! Aku bisa memasukkan tanganku ke dalamnya dan mengambil kerikil dari 'masa lalu'ku. Mengesankan! Aku bisa mencuri barang masa lalu!

"Nah, itu aku," tukasku sambil mengamati diriku dari jauh. Aku masih agak trauma terkena bola.

BUK!!

Dentuman dari bola dodge yang menghantam kepalaku terdengar begitu ngilu. Teriakan demi teriakan pun menyusul.

"Aaaa! Anak baru pingsan!!" teriak seseorang.

"Memalukan," gumamku menepuk wajah dari balik cermin. "sudah cukup, cermin."

Kaca cermin itu pun kembali berkabut ungu dan menjadi cermin biasa yang memantulkan refleksi wajahku.

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

Aku sampai di rumah sekitar pukul lima sore. Langit Ghostana Lent sudah mengerikan tidak karuan lagi. Dan aku benci itu.

Aku melirik ke semak-semak depan rumahku dengan waspada sambil berusaha membuka kunci pintu. Lagi-lagi terasa seperti ada mata yang mengawasiku.

"Nyihihihi."

Samar, terdengar suara tawa pendek yang berasal entah dari mana. Kulepaskan sepatuku di teras secara brutal lalu masuk ke rumah dan kukunci pintunya secepat kilat.

Aku berlari ke seluruh tempat lentera rumah bertengger dan menyalakan semuanya. Lilin-lilin yang ada pun semuanya kubakar. Tak peduli jika rumahku nanti kebakaran.

Jangan heran, keadaanku tiap sore memang begini. Ketakutan.

Setelah merasa baikan, aku pun beralih ke kamarku dan menyalakan lentera besar di kedua sisi kasurku. Aku selalu berdoa di kamar agar Lavina kembali. Atau setidaknya punya teman tetangga yang bisa kuajak main di sini. Aku benar-benar menyedihkan. Penghuni rumah sebelah pun aku tak tahu namanya.

Selesai berdoa, aku mengambil buku diary dari laci nomor dua meja belajarku. Aku ingin mencurahkan betapa mengerikannya hal yang kualami hari ini. Namun, saat aku tengah merogoh laci nomor satu untuk mencari pena emas pemberian Bu Dornell, aku tidak menemukannya. Padahal pena itu belum pernah kupakai sama sekali.

"Hupla!" sesosok bocah berambut emas menjatuhkan dirinya tepat di sampingku yang sontak membuatku terlompat kaget dari kasur.

"Lavina?!" pekikku tak percaya.

"Sanchez," cengirnya sambil menunjuk wajahnya.

Aku meremat kedua bahunya saking tak percayanya. "LA-VI-NA?!"

Ia tersenyum jahil. "Sanchez!!"

"Lavina Sanchez!" pekikku senang.

"Bravey Luciann my sissy!!" ia memelukku erat.

Aku berteriak histeris. Kami berpelukan erat dan jerit-jeritan seperti orang dan hantu gila. Seperti kakak dan adik yang tidak berjumpa selama belasan tahun.

"Aku merindukanmu setengah mati, huhuhu," ucapku masih memeluknya erat.

"Aku juga kangen Kak Blu setengah hidup."

Aku tergelak kecil sambil mengacak-acak rambut emasnya. "Dasar hantu aneh! Perasaanku rambutmu bertambah panjang, ya?"

"Tidak mungkin rambut hantu memanjang, Kak Blu!" Ia balas tertawa.

"Lavina, coba tebak, siapa yang punya cermin masa lalu?"

"Siapa?" ia menatapku dengan antusias.

"Aku!"

Kutunjukkan cermin itu padanya. Reaksinya norak sekali. Ia mengucap beribu takjub saat kuceritakan bagaimana aku memakainya di sekolah tadi.

TUK! TUK!

Kami menoleh ke suara ketukan dari jendela. Di luar sana ada Twen yang mencakari kaca jendela, mencoba untuk masuk ke kamarku.

"Lavina, mau mengobrol di balkon?" tawarku.

"Mau!"

Aku membuka jendela dan mempersilakan Twen untuk masuk. Sedangkan aku dan Lavina keluar melalui jalan yang sama. Pintu balkonnya sudah rusak jadi ini cara alternatif.

Kami bersandar di pagar balkon yang lapuk, tetapi masih cukup kukuh untuk menahan berat badanku.

Lavina menunjuk ke siluet hitam dan putih yang lalu lalang di jalanan. "Lihat, para travelers sudah muncul!" tukasnya.

Aku menoleh ke bawah dan mengamati bayangan-bayangan yang menyala remang itu. "Travelers? Apa itu sebutan mereka?"

"Iya, aku yang membuatnya!"

"Hmm." Kepalaku bergerak mengikuti salah satu siluet putih yang terlihat sangat-sangat familiar. Demi sneakers. Itu, Beni versi anak kecil?

Aku segera menarik tangan Lavina dan mengarahkannya ke sosok itu. "Lavina, itu cinta pertamamu!" godaku.

Ia melompat kegirangan "Hai, Eloy Beltran!! Apa kabar?" Teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan seperti orang gila.

"Haha, hey, dia cuma bayanga- eh?"

Bayangan Pangeran Eloy itu keluar dari barisan traveler dan berbelok menghampiri halaman rumahku. Dia tak menampilkan ekspresi apapun, hanya mendongak menatap Lavina.

Pipi Lavina begitu merah dan senyum semringah menghiasi wajahnya, seakan-akan itu pertama kalinya ia melihat sang pangeran. Dan jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Dadah!" teriaknya lagi. Bayangan putih itu pun kembali ke barisannya di jalanan.

"Barusan ... dia mendengarmu? Bukannya itu hanya bayangan rohnya saja?" tanyaku.

"Mereka akan datang kalau dipanggil, cobalah panggil aku."

"Tetapi kau kan di sini."

"Coba saja!"

Aku mengernyitkan dahi untuk mencari bayangan Lavina di jalan. Namun, terlalu banyak bayangan hitam dan putih di sana. Mereka melayang dan saling menembus.

"Aku tak bisa menemukanmu," ungkapku pasrah.

"Panggil saja! Bayanganku pasti datang."

"Um, Lavina Sanchez!!"

Mataku celingukan ke kedua sisi jalan, menunggu bayangan Lavina datang. Bayangannya pun muncul dari kerumunan travelers dengan wajah yang sama datarnya dengan bayangan Pangeran Eloy.

"Mengapa bayanganmu hitam?" tanyaku, mengamati siluet Lavina yang tampak sama persis dengan lawan bicaraku.

"Itu karena aku masih gentayangan," ucapnya memamerkan senyum semringahnya.

"Wow, Ghostana Lent memang aneh," gumamku. "lalu ke mana mereka pergi?"

Lavina melayang lalu duduk di atas pagar balkon. "Ke tempat yang pernah mereka kunjungi semasa hidup."

Aku mengangguk dalam diam.

"Lavina, aku punya misi yang harus kuselesaikan sebelum kita menguak siapa pembunuhmu," tukasku tiba-tiba.

"Boleh aku bergabung di misi itu?"

Aku menatapnya intens, "Apa kau yakin? Misinya akan kujalankan malam ini."

"Tentu! Aku bisa melindungi Kak Blu dari serangan musuh, PEW PEW SHUCKA!!" Ia memeragakan seorang penembak sedang menembaki musuhnya.

Aku merangkulnya dengan gemas, "Har har! Baiklah kau di timku!"

"Yey! Aku juga mau buat jurnal petualangan kita!" Ia menarik-narik ujung rambutku.

Aku melepaskan tangan usilnya dari rambutku sambil menimbang-nimbang ide anehnya itu. "Jurnal ... kalau begitu judulnya apa?"

"Sissy Adventure!"

Aku menggeleng keras. "No, no, no. The Ordinary Girl and The Dead Princess Adventure lebih baik."

"Tetapi, itu menekankan sekali kalau aku sudah mati!" rengeknya.

Aku mencubit pipinya dengan gemas. "Justru itu yang membuatnya unik, tahu!"

"Uh, ya, sudah! Tetapi kalau jurnalnya penuh, jurnal kedua harus pakai judulku, ya!"

"Iya, iya! Sepakat!"

Malam itu pun bergulir lebih lama dari biasanya. Kami mengobrolkan banyak hal. Aku menceritakannya tragedi pem-bully-an tadi siang, pertemuanku dengan hantu Jane di dunia roh, juga Jaira si tukang tuduh itu.

Kami mengobrol hingga lupa waktu. Sambil ditemani Twen dan cahaya remang dari para travelers, kami bersenda gurau di balkon kumuh itu. Sesekali kami berdebat karena hal sepele, lalu tertawa geli di akhir permbicaraan.

Sesekali aku mengikutinya duduk di atas pagar balkon, yang mana itu sangat berbahaya, aku tahu. Lalu, sambil duduk dan mengayunkan kaki, aku menoleh ke bawah dan bergidik ngeri karena tingginya lantai dua rumahku. Aku melihat sepasang sepatu kulit tersusun rapi di sebelah sneakers yang kulempar secara brutal di teras bawah.

"Lavina, itu sepatu kulit siapa ya?" tanyaku. Rasanya saat aku pulang tadi tidak ada di situ.

"Entah, aku tidak melihat ada sepatu tadi."

Aku menggandeng tangan Lavina dan mengisyaratkannya untuk hening. "Lavina, kau dengar sesuatu?"

Suara ladam kuda yang terdengar semakin dekat membuatku berdiri tegak. Itu pasti Mama dan Papa. Mereka sebentar lagi sampai.

"Blu! Ya ampun! Apa yang kau lakukan di atas sana?!" teriak Mama di kejauhan. Matanya yang jeli sudah memergokiku dari jarak enam meter sebelum rumah. Kusir yang sedang membawa mereka tersentak kaget dengan ekspresi lucu.

Aku segera membuka jendela dan lari ke atas kasur. Kami berdua tertawa terbahak-bahak.

"Tunggu sampai Mama dan Papa tidur, lalu kita kabur, okay?"

"Hihihi okay, misi apa yang akan kita selesaikan nanti?" bisik Lavina.

"Misi mencari kebenaran dari kematian keluarga Svartelli."

Kita lihat saja nanti, Jaira. Akan kubuktikan kalau semua perkataanmu itu salah. Akan kubuktikan kalau Ave tidak mati dalam kebakaran itu.

"Jadiii kita begadang?" bisiknya lagi.

Aku mengangguk karena takut Mama atau Papa mendengarku mengobrol. "Iya. Besok aku bolos," balasku dengan berbisik.

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

*apatis : sikap acuh tak acuh, masa bodoh.

Gimana? Ada yang menemukan sesuatu?
Ayo tulis di sini (^o^)/

THOR ASKS
#Kepada seluruh readers dimohon untuk menjawab 2 pertanyaan di bawah ini. Yg belum pernah berkomentar ria nda papa muncul sekali ini aja :}
(Cuma jawab kanan / kiri aja kok)

QUESTION 1

Kalian baca The Last Blue sejak covernya yg mana?

QUESTION 2

Foto profil Author yang pertama kali kalian kenali yg mana?  

Yooo dijawab ya!

^Arasther^

Continue Reading

You'll Also Like

69.2K 19.3K 200
"Aku tidak terlahir sebagai orang yang beruntung, aku terlalu kuat." Dalam perjalanan pulang larut malam, Xiao Li menemukan surat permintaan bantuan...
49.1K 3.7K 164
[ BL TERJEMAHAN ] RAW TRANSLATE!! NO EDIT!! di terjemahkan dengan Google Translate Judul Asli : 風水大佬穿成豪門假少爺後 Penulis: 飲爾 Status: Complete (155 + 5 ex...
230K 15K 29
Daisy tidak percaya hantu, hingga salah satu dari mereka mengusik Daisy di kamar barunya. Dibantu paman tirinya-Rylan-yang merupakan seorang indigo...
1M 56.8K 106
SEDANG TAHAP REVISI seorang namja cantik dan manis yg kehidupannya sangat menyedihkan karna di jual oleh ayah nya sendiri semata mata hanya demi mend...