Semu [Completed]

By sajakgadis

55.8K 3.8K 150

"Ck. Kenapa sih setiap ketemu, selalu dalam kondisi memprihatinkan?" Suara itu, cukup membuatku mendongak mem... More

Prolog
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Epilog
Extra part

14.

865 74 0
By sajakgadis

Aku iri pada ayahmu.
Lelaki paling beruntung di dunia.

~ Aldi

Aku berjalan menuju meja makan dengan langkah yang sedikit tergesa karena aku melihat seseorang yang kurindukan tengah duduk disana. Aku mengenyahkan pikiranku dari percakapan mama kemarin dengan dit, yang entah siapa itu. Aku akan bertanya, tetapi nanti ketika aku membutuhkan jawaban.

Aku memandang papa dengan senyum merekah, melupakan kejengkelan ku karena papa seolah hilang tanpa kabar. Benar-benar bang Toyyib.

"Pagi papaku sayang yang always ganteng." Aku memeluk papa yang sedang duduk dimeja. Melingkarkan lengan dan menyenderkan kepala dibahunya.

Papa tertawa, aku melepaskan pelukan ketika papa mengacak rambutku. Membuatku cemberut namun sedetik kemudian tersenyum manis.

Aku mempunyai tekad, membuat papa terpikat dengan senyum mempesonaku jika senyum manis mama tak dapat memikatnya. Hal ini aku lakukan untuk menjerat papa agar betah dirumah.

"Gimana sekolah kamu?" Papa bertanya sambil memakan roti isinya.

"Tumben tanya. Hehe."

"Alda, kamu ya!" Aku menoleh pada mama yang menggeram sambil memelototiku. Aku membalasnya dengan cengiran kuda khas tak merasa bersalah.

Sebenarnya, disamping itu aku mencoba menyindir halus papa. Agar papa peka, atau sebenarnya peka tetapi berusaha terlihat tidak peka?

Papa mengajak kami pindah, tetapi sedari dulu papa jarang ada dirumah. Aku memahaminya sejak aku kecil, sejak teman kecilku pergi barulah hubungan papa dan mama sedikit merenggang.

Aku merasakannya, waktu itu papa menatapku sangat lembut sedangkan ketika menatap mama wajahnya nyaris tidak berekspresi. Papa juga jarang mengajak kami liburan kembali atau sekadar nonton TV bersama.

Aku semakin kesepian saja, aku hanya bersama mama sepanjang hari kalau beruntung sesekali papa akan menelpon, tetapi hanya untuk berbicara denganku.

Saat papa pulang, papa juga tidak banyak bicara. Tetapi, pada suatu malam ketika aku hanya memejamkan mata, aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Aku tidak membuka mata, masih terpejam. Lalu aku merasakan ranjangku semakin memberat karena beban disampingku.

Tangannya membelai wajah dan rambutku waktu itu, aku masih terpejam. Aku mendengar ucapan lirih permintaan maaf lalu aku mendengar isakan pelan. Aku tahu itu suara papa. Kenapa papa menangis? Apa yang membuatnya menangis? Aku masih memejamkan mata.

Belaian lembut di rambutku, lama kelamaan membuatku terlelap. Ketika pagi aku tidak mendapati papa disampingku. Setelah itu aku tidak pernah bertanya lagi.

Yang aku kecewakan sampai saat ini, mereka tidak menyelesaikan masalah mereka secara kekeluargaan. Bukannya suatu komunikasi itu penting dalam suatu hubungan? Kenapa mereka tidak melakukan itu?
Kenapa malah menghindar dan tidak menuntaskannya? Dan sekarang apa, anaklah yang menjadi korbannya.

Inilah yang menjadi kekacauan yang semakin banyak terjadi, kebanyakan anak merasa terlantar. Bukan karena orang tua sudah tiada, akan tetapi karena kasih dari orang tua yang tiada.
Banyaknya kemunduran di mental setiap anak, keduanya saling salah menyalahkan. Kilas balik berita.

"Alda makan jangan melamun." Suara papa menyadarkanku dari analisis pagi yang mulai melantur. Memang sudah menjadi kebiasaanku menganalisis kehidupan sosial dan menghubungkannya kembali kepadaku. Aku menghela nafas kemudian duduk disamping papa.

"Papa anter Alda ke sekolah ya?" Aku memasang wajah memelas kepada papa. Entah kenapa ingin sekali aku diantar papa. Hal selanjutnya membuatku tersenyum begitu lebar karena papa menganggukkan kepalanya.

Aku menoleh kepada mama, mama tersenyum kemudian mengangguk. Tiba-tiba aku teringat ucapan papa dan mama di malam itu. Aku melihat mama dan papa yang sedang khidmat memakan sarapannya.

Apa ini juga bagian dari rencana mereka? Betapa menyedihkannya diriku. Mereka akan akrab ketika ada aku, bagaimana kalau tidak? Rencana mereka tidak membuatku bahagia sekalipun.

Aku menunduk, menyelesaikan makanku dengan perasaan gelisah. Ketika selesai, aku menegakkan kepalaku. Aku melihat papa yang sudah menungguku dan mama yang membersihkan mejanya.

"Udah? Ayo!" Aku mengangguk dan berjalan kearah mama untuk berpamitan. Aku hanya memandang mama sebentar lalu segera mencium punggung tangannya. Aku juga segera pergi ketika mama akan mengelus puncak kepalaku seperti biasa. Aku bisa merasakan jika mama heran terhadap sikapku pagi ini.

Aku berjalan mendahului papa untuk masuk kedalam mobil. Aku menatap jendela ketika papa melajukan mobilnya. Kami, ayah dan anak selama perjalanan tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku tertawa miris dalam hati.

Aku melihat keadaan di luar yang tampak lengang karena masih pagi belum sampai terjadi kemacetan seperti biasanya. Aku bersandar pada kaca mobil. Melihat pohon-pohon hijau, melihat aktivitas pedagang yang sudah mulai membuka lapak ataupun manusia-manusia yang berlalu lalang di trotoar.

Ketika sampai dilampu merah yang menandakan kendaraan harus berhenti, aku masih setia menoleh ke jendela sebelah kiri. Lalu aku terkejut melihat sepeda motor sport hitam berhenti tepat di samping mobil yang kutumpangi. Aku memerhatikan pengendara yang memakai helm full face dan jaket hoodie hitam.

Aku tampak mengenali siapa pengendara itu, apalagi aku juga tahu kalau dia pasti siswa SMAN 02 Gemilang dilihat dari celana hitam khas hari kamis.

Pengendara itu membuka kaca helm dan hanya menampakkan mata serta hidung mancungnya. Lalu dia menoleh kearah kanan, tepat sekali kepada mataku.

Aku menahan nafas karena mengenali seseorang itu walau hanya dari matanya. Aku mengalihkan pandanganku darinya cepat-cepat. Lalu kulihat dia melajukan motornya mendahului ketika lampu disana sudah berubah warna menjadi hijau.

Aku masih merasakan bahwa yang disana berdetak terlalu keras. Aku memejamkan mata dan menyenderkan kepala ke kursi mobil. Lelah.

Huft.

********

Aku membuka mata ketika mobil papa berhenti. Aku menoleh dan tersenyum tipis kepada papa. Aku mengulurkan tangan hendak berpamitan.

"Alda nggak mau peluk papa?" Ucapan papa membuatku terdiam untuk beberapa saat. Lalu langkah selanjutnya adalah ketika aku meraih papa dan papa yang balas meraihku. Ingin sekali aku bertanya dan menangis, tapi aku tahu ini bukan saatnya.

"Alda sayang papa."

"Kamu udah besar masih aja manja." Papa terkekeh sambil membelai rambutku. Aku ikut terkekeh. Aku memang manja bukan?

"Biar uang jajannya lancar."

Papa tertawa, aku masih betah memeluk papa sampai papa sendiri yang melepaskan pelukan kami. "Alda."

Aku mendongak menatap papa. Ah, aku pendek juga.

"Papa juga sayang Alda! Papa mau Alda jadi anak yang pintar dan nggak mudah menyerah. Jangan lupa tanggung jawab Alda. Papa nggak mau anak papa ini jadi anak yang cengeng. Papa ini semakin tua, nggak bisa jagain Alda selamanya."

Ucap papa itu membuatku termenung. Ucapan papa mampu membuatku berpikir keras. Papa memang terlihat seperti menasehatiku tetapi disisi lain juga ada makna yang tersirat.

"Papa bilang Alda nggak boleh cengeng, tapi papa bilang gitu sama aja suruh Alda cengeng. Sekarang Alda beneran mau nangis." Aku mencebik seperti ingin menangis, kenyataannya memang aku ingin menangis.

"Papa nge tes."

Aku tertawa, "Papa minta maaf juga atas tindakan papa selama ini yang terlihat mengabaikan kamu. Papa punya alasan."

"Alda sering kangen papa kalau papa nggak pulang-pulang. Papa sering-sering dirumah ya!" Aku berujar lirih sambil menunduk.

"Papa nggak kerja dong? Kalau kamu mau jajan gimana?" Papa terkekeh dan mengacak rambutku.

"Ya kerja, tapi jangan kayak bang Toyyib juga." Aku cemberut bersidekap dan papa hanya tertawa lagi.

"Yaudah sana turun. Liat udah mulai rame tuh sekolahnya!" Aku mengedarkan pandangan kesekeliling lalu mengangguk pada papa. Aku meraih tangan papa dan menciumnya.

Aku turun dari mobil dan melambai sejenak pada papa lalu berbalik ketika mobil papa sudah melaju kembali.

Ya Tuhan jadikan ini suatu awal yang baik untuk kami. Aku percaya padamu dan berusaha mengerti hikmah suatu takdir atas rencanamu.

*******

Aku terus berjalan sampai dikoridor aku berjengkit mundur karena kaget melihat seseorang disana. Dia memasukkan kedua tangannya didalam saku.

Kesialan apalagi yang akan aku dapatkan kali ini? Aku berusaha mengenyahkan dia dari pikiranku. Aku merasa tenang dan gelisah disaat bersamaan karena tidak melihatnya. Entah, aku juga heran kepada diriku sendiri yang merasa gelisah ketika tidak melihatnya. Kenapa harus gelisah? Tapi sekarang, dia ada didepanku melihatku dengan mata teduh yang menenangkan itu. Aku juga masih gelisah.

Aku menyadari beberapa pasang mata mulai melihat kami. Aku mendengar bisikan-bisikan penggosip yang mencaci karena aku dapat dekat dengan pujaan mereka yang tidak tersentuh itu.

Cih, tidak tersentuh apanya?

Aku hanya menatapnya datar sedikit mendongak karena aku yang hanya sebatas dadanya. kemudian beringsut segera pergi. Namun, lagi dan lagi jari-jariku dicekal olehnya. Aku berbalik tapi, ternyata dia tidak menatapku. Bagaimana bisa pas ya? Bodoh sekali!

Dia menarikku kedepannya. "Lepasin!" Aku menatapnya tajam. Dia hanya tersenyum manis sampai aku mendengar suara-suara pekikan.

"Lo terganggu sama adanya gue?" Aku menaikkan sebelah alis. Lalu menyeringai samar.

"Iya, gue sangat terganggu." Dia melepaskan cekalannya dijari tanganku. Syukurlah kalau tidak, kepalaku akan pecah karena selalu dilemparkan kepada masa lalu.

"Tapi, biasanya lo selalu keliatan bahagia kalau ketemu gue. Dan sekarang... beda." Aldi mengucapkan kata-kata yang membuatku mengernyit, namun matanya kosong, terlihat menerawang.

Ha? Maksudnya?

"Maksud lo? Gue seneng gitu tiap liat lo?" Aku menaikkan sebelah alis dan Aldi hanya menatapku.  

"Kayak nya lo salah mengartikan tatapan susah gue ketika liat lo, lo kira gue seneng?" Aku tertawa mengejek kepadanya tidak peduli ucapan cacian yang semakin sinis menggema di telingaku.

"Sebenernya gue mau bilang, gue iri sama yang nganter lo kesini." Setelah mengatakannya, Aldi langsung berbalik dan meninggalkanku dengan aku yang masih bingung dengan maksudnya.

Aku semakin menautkan alisku, bingung terhadap setiap ucapan yang ditujukan padaku. Apa maksudnya Aldi iri terhadap mobil ayah? Tidak mungkinkan iri kepada ayah? Pasti mobilnya.

Tapi, itukan hanya mobil avanza hitam biasa, bukan mobil sport seperti motornya. Apa yang harus di irikan?

Oh ya, aku merutuki diriku sendiri, boleh saja aku terlihat ketus ataupun jahat dimatanya, tetapi aku tidak akan berbohong jika jantungku mengatakan sebaliknya. Huh, denyutnya menyenangkan. Tetapi orang yang membuat berdenyut begitu menyebalkan.

________________________

Terimakasih sudah membaca cerita ini,  semoga suka yaaaa, 😍
Oh ya,  dukungan dari kalian lho yang akan membuat aku terus semangat untuk melanjutkan dan membuat cerita-cerita baru
Jangan lupa vote dan comment kawan-kawan! 😊

Menerima kritik dan saran apapun, walaupun isinya cacian😂 ups, just kidd

Follow ig aku juga ya. Hehe

Ig : novitas33

Continue Reading

You'll Also Like

362K 42.4K 122
❛❛Ketika realita tak seindah ekspektasi ya begini jadinya, kayak 2A1.❜❜ Pandangan yang amat baik ternyata tak sejalan dengan kenyataan yang ada. Oran...
982 64 26
Sebuah kisah yang rumit. Antara aku, kamu dan luka kita. ________________ Dipubliksaikan pada tanggal : 27 Februari 2021
72K 4.4K 93
[ S E L E S A I ] ⚠Tersedia juga di Dreame⚠ Judul awal: Badboy and Coolboy • Echa tidak pernah menyangka, bahwa pertemuannya dengan Jiwa dan Raga...
57.9K 7.3K 57
[Follow dulu sebelum baca] "Karena jika itu kamu, meskipun sakit, aku rela." Gagal move on. Kalimat yang cocok menggambarkan Diana saat ini. Bayang...