Semu [Completed]

Bởi sajakgadis

55.8K 3.8K 150

"Ck. Kenapa sih setiap ketemu, selalu dalam kondisi memprihatinkan?" Suara itu, cukup membuatku mendongak mem... Xem Thêm

Prolog
01
02
03
04
05
06
07
08
10
11
12
13
14.
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
Epilog
Extra part

09

1.3K 95 1
Bởi sajakgadis


Mengapa tidak merenungi
kesalahan diri sendiri?
Jangan mudah terperangkap dalam kesesatan dunia!

♡♡♡

Aku menatap sedih terhadap penampilanku kali ini. Ingin rasanya aku berteriak pada kaca ruang wakasek yang tak berdosa itu karena telah menampakkan penampakan seburuk-buruknya.

Aku menggeram dalam hati memelas pada Anya dan Ica yang kini menatapku penuh rasa bersalah.
Bukan main memang hukuman yang kudapatkan seumur aku bersekolah.

Aku mendengus keras menatap Bu Hanti yang tertawa geli melihatku karena ulah jari-jari lentiknya yang tak lelah berkreasi bahkan wajah siswa pun tak luput dari perhatiannya.

Aku menatap datar murid-murid lain yang berbisik maupun menertawakan keadaanku dan kami.
"Yang sabar ya Al dan makasih mau belain kita." Ica mengatakannya dengan perasaan tidak enak. Tidak tega melihat raut seperti itu, aku malah terkekeh agar mereka tidak merasa bersalah kembali.

"Santai aja kali. Masa-masa SMA itu harus dinikmati." Aku mengedikkan bahu.

"Daripada kalian mengobrol seperti itu, lebih baik kalian segera melaksanakan hukuman dari saya. Sekarang!" Kudengar suara Bu Hanti kembali membahana di indra pendengaranku.

Kami hanya mengangguk sopan lantas segera pergi melaksanakan tugas. Aku menulikan pendengaran dan penglihatan saat berjalan ke halaman sekolah.

Bagaimana tidak, hidung berwarna merah mawar lalu di bentuk bulat kini menghiasi wajahku karena Bu Hanti memoleskan lipstik disana. Juga dengan ahlinya Bu Hanti menguncir tinggi rambutku disamping kanan dan kiri.

Begitu pula Anya dan Ica yang hanya di coreng wajahnya dengan bedak bayi dengan ketebalan luar biasa. Aku heran, apakah di sekolah lain juga seperti ini bila guru memberi hukuman?

Aku memulai hukumanku memunguti dedaunan yang jatuh dihalaman sekolah dengan satu tangan, sementara tangan satunya digunakan untuk menjewer telinga sendiri begitu juga yang dilakukan Anya dan Ica.

"Dasar guru sadis!" Gerutuku sambil menatap sinis Bu Hanti yang tengah berbincang pada guru lain.

"Tau tuh, nyebelin banget. Kurang kerjaan banget mentang-mentang wakasek." Sahut Ica menyetujui pernyataanku.

Aku menoleh pada Anya yang diam saja, biasanya dia yang akan heboh sendiri atau merengek tidak jelas. Namun tidak sesuai ekspetasi yang kupikirkan, raut berbinar dan bahagia terukir jelas diwajahnya. Anya bahagia karena dihukum?

Aku menatap Ica yang kini sama menatap bingungnya padaku. Aku meneguk saliva pelan, seakan bersiap akan sesuatu yang mengerikan.
"Anya lo-?"

"Nggak bisa dipercaya!" Aku terjungkal kebelakang karena terkejut oleh Anya yang tiba-tiba menoleh kebelakang dengan cepat.

"Seumur hidup gue hidup, baru kali ini gue ngerasa hidup." Menganalisis pikiran Anya itu jauh lebih sulit daripada menganalisis masalah perekonomian mikro maupun makro yang kini sedang giat-giatnya melakukan praktik lapangan.

Anya menjawab dengan senyum lebar namun matanya terlihat menerawang. Baiklah, aku sedikit berlebihan tapi aku lebih takut melihat sikap Anya yang seperti ini malah lebih baik aku melihat tingkah idiotnya setiap hari.

Ica maju selangkah mendekati Anya lalu

Plaakkk

Oh, aku yakin itu pasti sakit.

Seolah mendapat jiwanya kembali, Anya melongo menatap Ica yang baru saja menamparnya lalu sedetik kemudian menjambak Anya keras-keras.

"Lo bego banget! Sakit bekicot!" Anya menyumpah serapahi Ica dengan perumpamaannya. Masih dengan mengusap pipinya sendiri, Anya kembali tersenyum malu-malu seolah insiden yang terjadi hanyalah bualan kecoa yang tidak bermakna.

"Sumpah gue merinding!" Ujarku sambil menatap bodoh pada Anya yang kini kembali memunguti daunan kering sambil sesekali melirik lantai dua barisan kelas IPA.

Karena penasaran, aku mengikuti arah lirikan Anya. Seketika wajahku memanas melihat dia yang memberikan jaket padaku yang bahkan saat ini masih kukenakan berdiri bersebelahan dengan Joshua. Astaga, bahkan dia melihat kearahku?

Secepat dia melihat secepat itu pula dia mengalihkan pandangannya dengan berbincang akrab pada seorang cewek, mungkin teman sekelasnya atau?
Ah, aku selalu memikirkan hal yang tidak perlu untuk dipikirkan.

Panas diwajahku seketika berubah suram karena melihat Joshua yang memang tidak jauh dari sana. Apa mereka sekelas? Daripada menatap setan tengil itu aku memilih melanjutkan hukumanku.

Apa Anya menyukai Joshua? Kayaknya, yang dipandang diam-diam si setan itu deh.

Aku menghela nafas melihat Anya yang masih tersenyum malu-malu pada dedaunan kering yang dipungutinya atau pada pangeran bertabiat setan?
Lagian, kenapa aku harus repot-repot memikirkannya?

"Sstt, itu orangnya ada dilantai dua kelas IPA." Aku menyikut Ica pelan. Ica pun segera melihat kearah mana yang kutunjuk.

"Ada tiga, yang mana?"

"Yang-"

"OIYYY ALDA-UKAR" Aku meringis pelan mendengar teriakan itu. Merutuki seseorang yang belakangan ini selalu memanggilku seperti itu. Alda-ukar atau kata yang seharusnya adalah Dokar diganti menjadi kata yang sangat menyebalkan untuk didengar.

"Aldaukar dihukum nih? Ck, kasian banget." Affan mendecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Menatapku seolah aku ini murid yang tidak pantas menjadi suri tauladan.

Aku memutar bola mata malas masih memunguti daun. Berharap orang yang mengoceh ria, segera pergi karena kuabaikan. Tapi nyatanya tidak, karena orang itu malah mendekat dan menginjak daun yang akan kupungut.

Aku menghela nafas kasar, berdiri dan menatap tajam pada Affan yang sekarang tersenyum bodoh dihadapanku.

"Nakal juga lo." Ujarnya mengejekku.

"Urusan gue!."

"Lumayan lah, biasanya cuman UDD."

"Lo mending pergi. Nggak guna disini!" Ujarku sinis kearah Affan.

Walaupun kami sudah duduk sebangku, selama ini kami juga belum bisa menjadi teman baik. Sekalinya aku mencoba mengalah, Affan akan terus membuatku kesal. Seperti saat aku memberinya minum saat dia tersedak atau saat aku memberinya contekan, bukannya berterimakasih akan tetapi yang dilakukannya adalah mencoret-coret bukuku dengan tulisan yang sangat tidak senonoh atau sengaja menyemprotkan air minum ke tasku.

Tidak tahu diuntung!

Aku mengalihkan pandanganku darinya lalu meminta bantuan pada Anya yang menatap kesal pada Affan dan Ica yang memandang santai sambil tersenyum bodoh kearahku.

"Eh Jemblem busuk! Mending pergi dari sini deh, ganggu aja!!" Anya berujar ketus pada Affan tak lupa pelototan ganasnya.

"Alah bacot! Gue kan ngomong sama Aldaukar, kenapa lo yang nyaut?" Balas Affan tak kalah ketusnya.

Kalau terus begini, aku yang semakin sial, belum lagi kalau tiba-tiba Bu Hanti kembali dan semakin menambah hukumannya.

"Btw, namanya Alda bukan Aldaukar, dan Alda itu mesti dijauhin dari kotoran kayak lo!" Anya bersidekap menaikkan dagu dan menatap sengit Affan.

"Kalau gue kotoran lo apa? Jambannya?"

Astaga, kalau mereka tidak berhenti mungkin akan terjadi bencana misalnya. Perdebatan mereka berdua menjadi sorotan beberapa siswa, mungkin kejadian seperti ini lebih menarik daripada pelajaran sekalipun.

Mereka terus beradu mulut tanpa hentinya. Tidak ada salah satu dari mereka yang akan mengalah. Kalau dalam ilmu sosiologi mediasi sangat diperlukan disini.

"Udah dong! Masak-" Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku,

"DIAM!" dengan kerasnya mereka berucap bersamaan. Belum selesai aku melancarkan aksiku untuk melerai mereka, mereka sudah menggagalkan rencanaku.

"Ya udah. Ayo ca, biarin Tom and Jarry ini nyecret kalau perlu baku hantam sekalian!" Aku mengajak Ica pergi dari sana. Ica menurut dan berjalan disampingku.

Saat berjalan aku merasakan seseorang menyentuh pergelangan tanganku. Lalu membalikkanku dengan mudah. Aku terkejut menemukan mata hazel yang tengah menatapku dalam. Affan.
Belum sempat aku berkedip, aku merasakan ibu jarinya mengusap hidungku pelan, membersihkan lipstik yang ada disana.

"Jambu alasss,  itu pangeran gue kenapa deketin badut baru sih???!!!"

"Aduh, madu mana madu.  Madu TJ!!!!"

"Manis banget si Affan"

"Tuh cewek pake semar mesem ya?  Atau jaran goyang? "

Aku mendengarkan pekikan beberapa orang disana, tapi pandanganku tak ingin menoleh pada siapapun lagi selain orang yang masih mengusap hidungku. Rasanya tidak sopan memang, tetapi tubuhku bagai dikendalikan aku tidak dapat bergerak sedikit pun.

"Gini lebih baik." Ujarnya santai.

"KALIAN BERDUA! KENAPA MALAH PACARAN? PERGI KE LAPANGAN BASKET SEKARANG!" Aku terjungkal mundur kebelakang karena Bu Hanti yang tiba-tiba berteriak kencang,  aku melihat matanya melotot tajam dengan urat-urat yang menonjol di dahinya.

Aku menatap lesu pada Bu Hanti, ingin membantah tetapi yang ada hukumannya akan semakin bertambah. Belum lagi aku yang akan mendapat kualat karena membuat Bu Hanti marah seperti itu, walaupun aku tak melakukan kesalahan apapun.

Gara-gara ogeb stres!

Aku melewati Affan tanpa memandangnya sedikitpun, bukan karena malu tetapi kesal lebih tepatnya. Andai dia tidak sok menjadi pahlawan kesiangan atau andai saja aku yang sedikit memberontak.

Huh, sudahlah. Mengandai-andai untuk saat ini tak akan memberikan pengaruh apapun. Tetapi bukannya manusia memang suka berandai-andai?

"Tunggu Bu! Apa Bu Hanti tidak mau menghukum saya juga?" Aku membelalakkan mataku mendengar Affan yang berkata demikian dengan menaik turunkan alisnya menggoda Bu Hanti.

Aku mengabaikan mereka memilih berjalan duluan ke lapangan, aku juga mengabaikan panggilan Anya dan Ica.
Terlalu rumit perasaan yang sekarang kualami. Antara malu dan kesal, memang cowok itu sejenis jentik-jentik yang harus kubasmi sesegera mungkin.

********

Dihukum dengannya adalah bagian dari kekelaman hidupku, dimana aku harus bersabar berdiri dengannya selama 45 menit kedepan dengan peluh yang terus menetes diwajahku.

Apalagi diberi kultum pula oleh Bu Hanti dan Pak Wisnu tanpa henti, menerangkan pentingnya mematuhi tata tertib sekolah dan menghindari semaksimal mungkin mengenai melanggar peraturan, apalagi dengan alasan aku terbilang murid yang belum ada enam bulan bersekolah disini.

"Sst sst, enak nggak dihukum sama cogannya sekolah?" Ucap Affan berbisik disamping telinga kananku, setelah melihat Bu Hanti pergi kekursi dekat pohon untuk lebih mudahnya mengawasi kami. Padahal niatnya berteduh. Cih,

Aku mendesah lelah, rasanya gatal sekali mulut ini untuk berteriak sekencang mungkin. Memberi sumpah serapah pada cowok yang sekarang ikut hormat menghadap bendera yang berkibar dengan gagahnya. Bukannya pergi saja ke kelas, tetapi malah menggoda dan meminta pada Bu Hanti untuk ikut serta diberi hukuman karna telah menghilangkan noda lipstik pada hidungku. Belum lagi mulutnya yang terus mengoceh tanpa henti. Dia siluman burung gagak apa?

"Berisik lo! Diem aja sih."

"Gimana rasanya jadi anak nakal?" Seolah tak peduli dengan perkataanku sebelumnya, Affan malah menanyakan hal seperti itu.

"Kaya lo?" Aku bertanya kembali padanya, dan itu hal yang baru saja kusesali, bukannya mengabaikan aku malah memancingnya.

"Iya, enak kan? Bisa hidup bebas tanpa aturan." Affan menerawang, menatap bendera-lebih tepatnya- menatap langit disana. "Banyak orang sering ngremehin gue, gue gak ngurusin bacot mereka emang, soalnya gue punya kehidupan yang nggak dimiliki mereka, sensasi yang nggak pernah mereka rasain. Dan gue masih suka diposisi kayak gitu."

Aku menatap bingung padanya, apa maksudnya berkata demikian? Tapi aku juga tak berusaha menutupi raut penasaran dalam wajahku, agar Affan mengerti tanpa aku harus meminta.

"Gue berandal dalem sekolah maupun luar sekolah-" Aku memotong ucapan Affan karena mengerti akan sesuatu, "Lo banyak dihujat orang karena lo berandal gitu?"

"Nggak sepenuhnya, cuman kebanyakan manusia cuma modal liat tampang tanpa mau liat kualitas seseorang." Affan nampak berpikir sebentar dengan menyisir rambutnya kebelakang.

"Ibaratnya ada orang yang ngumbar kolor temennya yang sobeknya cuman seukuran daun kelor tapi, eh nggak mau ngaca sendiri kalau kolornya sendiri robek selebar daun teratai."

"Dulu, ada orang yang selalu bilang ke gue, air tuba dibalas air susu." Akhirnya aku ikut bersuara, aku tersenyum lembut saat ingatan dulu perlahan muncul kembali.

"Air susu dibalas Air tuba, kali benernya." Aku mengangguk setuju lalu tersenyum samar.

"Artinya apa?"

"Kebaikan dibalas kejahatan." Aku mengangguk membenarkan jawaban Affan.

"Kalau Air tuba dibalas Air susu?" Tanyaku kemudian menerawang kedalam mata hazel Affan.

"Kejahatan dibalas kebaikan?" Affan balik bertanya dengan wajah sepolos bayi yang nyatanya berhasil membuatku terkekeh.

"Itu yang dia maksud, cuma orang yang nggak bisa ngontrol dirinya sendiri sampai-sampai selalu kalah dengan pikirannya sehingga selalu berkeinginan membalas kebaikan seseorang dengan kejahatan. Mereka yang menghina lo itu adalah manusia paling baik. Rela menyerahkan pahala mereka secara cuma-cuma, dan menanggung dosa-dosanya lo!" Aku berhenti sejenak dari mendalami mata hazelnya. Tersenyum lembut kearah bendera sang saka.

"Dia bilang, kalau ada yang jahat balas aja sama Air susu, siapa tau bisa jadi baik juga. Menurutnya, Tuhan yang bisa nilai baik buruknya seseorang, bukan manusia. Kebaikan itu pasti dimiliki oleh semua manusia walau sekecil biji semangka."

"Jadi?" Affan menunggu dengan raut menungguku untuk melanjutkan, seperti merasa tertarik.

"Gue percaya, seberandal apapun lo. Lo itu masih punya moral, punya kebaikan." Aku menghela nafas, malu untuk melanjutkan, "lo itu gila, rasanya gue sial mulu deket sama lo, tapi gue percaya lo itu baik, kalau lo jahat, berarti lo lagi tersesat dan lo harus cari jalan kembali."

Aku tidak memandang Affan, menghindari bersitatap dengannya dengan melihat Bu Hanti yang tersenyum sambil mengacungkan jempol padaku, membuatku mengernyit tidak mengerti.

"Gue harus berterimakasih sama dia yang lo maksud." Ucap Affan menyadarkanku dari kebingungan mencerna maksud Bu Hanti.

"Kenapa?"

"Karena udah bilang ke lo dan lo nyampein lagi ke gue. Gue sering banget dengerin ceramah kayak gitu, tapi kalau yang menyampaikan orang yang beda, rasanya lebih berarti dan berguna."

"Maksud lo?" Aku berujar ketus padanya. Tidak akan mempan kalau-kalau Affan akan merayuku. Percaya diri sekali!

"Ya beda, biasanya yang nyeramahin gue itu kan manusia."

"Jadi gue bukan manusia gitu?" Aku memandang wajah tampan itu tanpa ekspresi.

"Kan lo Aldaukar, lupa ya?" Jawabnya santai melanjutkan hukuman sesekali bersiul dan bersenandung tidak jelas.

Merasa percuma menasehatinya.

Melihat rupanya itu ingin sekali kuratakan dengan blender lalu menyodorkan ke arah orang gila yang mungkin saja tidak akan mau sekalipun dibayar.

********

Aku menatap heran pada Anya yang menekuk bibir bawahnya padaku lalu aku mengalihkan pandanganku pada Ica yang sedang santai membaca buku juga teman satu kelas yang menatapku penasaran.

"Al gue minta maaf." Kembali aku mendengarkan rengekan Anya yang sudah berkali-kali minta maaf.

"Gue kan udah bilang iya. Biasa aja kali. Lebay lo."

"Yelah, bangke lo. Gue khawatir juga lo bilang lebay." Aku mendengus melihat Anya yang sekarang kembali merajuk. Bersidekap dada dan menyebikkan bibirnya tanda dia sedang kesal.

"Alah, belum setahun juga sekolah udah berani main bolos aja!" Seru suara cewek dibelakangku. Aku berbalik, menatap Sheril yang baru saja menyeringai padaku.

Aku hanya melihatnya datar tanpa berniat membalas ucapannya. Kini aku terfokus pada Ica yang masih saja membaca novel sastranya, sama sepertiku bila sudah membaca pasti akan terus larut didalamnya. Seakan duniamu bahkan dirimu sendiri akan tersedot didalamnya jika sudah merasakan hanyut dalam sensasi cerita.

"Ehm ca, tugas kelompok Seni Budaya gimana?" Ica mengangkat wajahnya dari buku lalu menatapku sebentar.

Baru saja Ica akan menjawab, mulut medusa Sheril kembali menyahut,
"Wah wah. Tikungan tajam sekarang dimana-mana ya? Awas bahaya!" Ucapnya dengan suara keras dibuat-buat. Aku masih diam tanpa menoleh. Menatap Ica untuk mengabaikan dan melanjutkan.

"Kelompok lusa nggak papa. Dirumah gue aja. Free wifi." Ica menyengir lebar, aku langsung saja mengiyakan. Lalu aku menoleh pada Anya yang menatap kaku padaku.

"Ica." Panggil Sheril tiba-tiba sembari tersenyum manis.

"Hati-hati didepan ada tikungan." Kalau aku tidak salah, bicaranya kepada Ica tetapi matanya menatap padaku. Apa maksudnya? Lagian cewek itu bodoh atau apa? Didepan sekolah ke utara itu perempatan jalan kalau ke selatan saja malah jalan lurus lalu sebelah mananya ada tikungan didepan.

Dasar bodoh atau aku saja yang salah mengartikan ucapannya?

Aku tetap mengabaikan Sheril sebisaku, karena aku bukan lagi remaja bodoh yang harus marah tiap kali ada seseorang mengutarakan kalimat tidak penting yang sifatnya menghina.

Kalau aku boleh bicara, itu adalah hal yang sia-sia, membuang tenaga, semakin mendapat masalah dan lagi-lagi menghadapi yang lebih daripada itu. Akan lebih baik jika hanya mendiamkan atau memberi senyum secerah matahari yang mungkin saja bisa menyilaukan agar mereka yang suka menghina menyimpan dalam-dalam hinaannya karena tidak ada tanggapan apapun. Bukankah itu lebih memalukan?

"Biarin aja Al Ca! Cari referensi aja kuy!" Aku mengangguk menyetujui usulan Anya yang mengajak pada hal yang lebih bermanfaat.

"Iyain aja tuh bacit nya si Sheril, yah walaupun emang harus hati-hati beneran sama tikungan tajam didepan, kalau kecelakaan kan sakit." Ica mengedikkan bahu. Lalu membuka buku dan handphone nya untuk searching. Namun Anya malah diam membeku dengan pandangan kosong seakan ucapan Ica merenggut jiwanya sekaligus.

"Ayo! Ngapain jadi patung?" Ica terkekeh dengan menarikku dan Anya untuk duduk. Melanjutkan kegiatan kami, memanfaatkan waktu.

Tikungan tajam?

________________________________

Terimakasih sudah membaca cerita ini,  semoga suka yaaaa, 😍
Oh ya,  dukungan dari kalian lho yang akan membuat aku terus semangat untuk melanjutkan dan membuat cerita-cerita baru
Jangan lupa vote dan comment nya ya😊

Follow ig aku juga ya. Hehe

Ig : novitas33

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

519K 6.3K 22
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
Remang Bởi cici

Teen Fiction

1.5M 30.2K 23
Untuk perempuan secantik dan sebaik Ina, mana mungkin aku tahan untuk tidak menceritakannya kepada semua orang? Dalam bentuk tulisan yang kucoba rang...
6.5M 278K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
982 64 26
Sebuah kisah yang rumit. Antara aku, kamu dan luka kita. ________________ Dipubliksaikan pada tanggal : 27 Februari 2021