Promises

ScottStephenie द्वारा

383 191 0

Karena aku bermain bukan untuk sebuah kemenangan. Aku bermain untukmu. Aku mencurahkan seluruh isi hatiku mel... अधिक

1. Gran [ 3rd POV ]
2. That bad news [ Ana's POV ]
3. Unexpected
4. Lala
5. "Lo keren!" [ Ana's POV]
7. Tidak terduga [ Ana's POV ]
8. Luka Nicole [ Ana's POV]
9. Lampu Hijau [ Ana's POV]
10. Amarah [ Nicole's POV]
11. Luka itu [ Ana's POV]
12. That Bad Side [ Ana's POV]
13. Tekad [ 3rd POV]
14. That Storm[ 3rd POV]
15. Sisi Terbuka[ 3rd POV]
16. The Nightmare in the middle of the Night ( Flashback)[ 3rd POV]
17. Those Threes[ 3rd POV]
18. Waltz[ 3rd POV]
19. Nicole's Crime [ 3rd POV]
20. Arrested and Lost Everything[ Ana's POV]
21. Vanilla[ 3rd POV]
22. Pengakuan[ 3rd POV]
23. The Red, Red Rose[ 3rd POV]
24. The Angel[ 3rd POV]
25. The Ballerina[ 3rd POV]

6. Terbongkar [ Ana's POV ]

18 9 0
ScottStephenie द्वारा

" Lo Reza Prananda, kan?" tanyaku yang masih merasa sulit untuk mempercayai bahwa orang yang kutaksir berada beberapa sentimeter di hadapanku. Sungguh sulit dipercaya. Reza mengangguk kalem, lalu menoleh ke arah mobil Lamborghini Gallardoku, Davis. Dia menoleh kembali ke arahku dan menyunggingkan senyuman tipis.

Astaga! Aku menunduk, merasa meleleh melihat senyuman tipis itu. Senyuman yang baru kali ini kulihat. Jantungku semakin berdebar kencang.

" Lo ternyata kenal gue. Kalo gue enggak salah, lo yang namanya Ana Vettel, kan?" pertanyaannya membuatku mendongak. Dalam hati aku merasa miris.

Udahlah Na. Reza itu enggak pantes buat lo. Dia aja enggak tau nama lo yang sebenarnya. Apalagi, kenal lo, suara batinku membuat hatiku semakin teriris. Aku mengangguk pelan.

" Bener apa kata yang lainnya. Lo enggak bisa ditandingi," ucapnya lalu terkekeh pelan. Aku meneguk salivaku saat melihatnya terkekeh. Sungguh pemandangan yang tidak lazim, saat melihat Reza terkekeh dan melemparkan senyuman tipis padaku. Soalnya, sepanjang sepengetahuanku Reza itu orangnya dingin, tenang, dan kalem. Yah, meskipun pernah ada desas- desus kalau dia punya hobi buruk. Tapi saat itu, aku tidak menyangka kalau hobi buruknya itu sama sepertiku. Balapan liar.

" Ah! Gue biasa aja, kok," ucapku jujur. Ya jelaslah aku biasa saja. Lagian dibandingkan Sebastian Vettel, aku ini tidak ada apa- apanya. Reza malah melemparkan senyuman simpul.

" Omong- omong, gue minta maaf, ya. Kaca spion mobil lo jadi rusak," ucapannya membuatku terbelalak. Apa jangan- jangan...

" Iya. Gue tuh rival lo. Jeff abang gue. Dia ketua tim balapan kami," lanjut Reza seolah bisa membaca pikiranku. Aku meneguk salivaku. Lagi. Reza itu ternyata rivalku. Aku menatap ke arah mobil Ferrari hitam mengilat yang ada di belakang mobilku. Mobilnya Reza. Pantas saja, aku merasa mobil itu familier. Mobil itu sering dibawa Reza ke sekolah.

" Eh, gue minta maaf, Za. Mobil lo juga jadi rusak, karena gue tabrak," sesalku. Gimana tidak menyesal, kalau ternyata aku merusak barang orang yang telah lama kutaksir? Bagaimana kalau nanti, Reza malah membenciku? Duh! Sial, deh.

" Enggak apa- apa kali, Na. Lagian dalam balapan, tabrakan atau serempetan itu hal biasa. Mobil lecet juga udah biasa," ucapnya kalem dan tersenyum maklum. Haduh! Meleleh hatiku melihat senyumannya.

" Eh, mana uangnya? Kasih dong ke Ana, " todong Dimas pada Jeff yang sudah merasa malu. Rasain tuh! Makanya jadi orang jangan suka ngeremehin orang lain. Kena karma, kan?

Jeff mengeluarkan uang berwarna merah dalam 10 gepok. Aku tertegun melihat jumlah uang tersebut. Itu berarti jumlah uangnya Rp 10.000.000, 00. Jeff berjalan ke arahku dengan wajah malu. Anggota yang se- tim denganku berteriak senang. Sementara anggota tim Jeff yang lainnya, memandang lesu.

" Kok bayarannya banyak banget, sih? Biasanya kan taruhannya paling tinggi sejuta, doang," ucapku yang masih tidak habis pikir. Gila! Uang sebanyak sepuluh juta itu bisa buat jalan- jalan.

Jeff memandangku dengan malu dan tersenyum tulus. Dia menepuk pelan pundakku dan menyodorkan uang tersebut ke arahku.

" Gue yang buat taruhannya jadi sepuluh kali lipat dari batas maksimal. Karena gue pikir, Ana Vettel itu enggak sehebat yang orang lain bicarain," ucapnya dengan nada menyesal. Tidak ada lagi, nada remeh atau angkuh pada suaranya.

" Tapi, gue tuh balapan karena hobi dan buat taruhan dalam jumlah yang kecil, Jeff. Kalo lo ngasih sebanyak ini, mah, sama aja lo bayar gue buat kerja jadi pembalap," ucapku yang merasa sangat tidak enakan. Bagaimanapun, kami kan masih anak sekolahan. Taruhan dalam jumlah besar itu, keterlaluan namanya.

" Gue bukan tipikal pengingkar janji, Na. Gue udah sepakatin buat ngasih taruhan dalam jumlah yang besar. Otomatis, gue harus nepatin janji sesuai kesepakatan," ucapnya dengan nada kalah. Dia melemparkan tatapan marah kepada Reza, yang balas menatap dengan dingin.

" Gue enggak enakan, nih. Yakin lo mau ngasih gue segini?" tanyaku yang masih sungkan menerima uang tersebut. Jeff mengangguk dengan tenang. Aku menerima uang tersebut dengan sedikit enggan. Setelah menyodorkan uang tersebut, Jeff pergi menuju mobil Ferrarinya yang berwarna merah. Mobil itu melaju meninggalkan arena balapan.

" Ana Vettel," panggilan Reza membuatku menoleh ke arahnya. Aku menatap mata chestnutnya dengan pandangan bertanya.

" Ya?"

" Gue bisa minta nomor telepon atau ID line lo, enggak?" pertanyaan Reza membuatku tertegun. Apakah aku sedang bermimpi? Seorang Reza, yang dikenal sebagai The Most Wanted Boy di SMA Pancasila meminta nomor teleponku? Aku akan menceritakan hal ini pada Nicole nanti.

Aku mengangguk lalu menyebutkan ID Line dan nomor teleponku pada Reza. Tidak masalah jika Reza tidak mengenalku sebagai Christia Anastella. Tidak masalah jika dia tidak tahu bahwa aku satu sekolah dengannya dan pernah satu bimbingan belajar dengannya sewaktu SMP. Tapi yang jelas... Aku berhasil mendapatkan senyuman Reza dan berbicara dengannya.

Setelah berbincang sebentar, Reza pamit kepadaku dan teman- teman se- timku yang lainnya. Sebelum Reza benar- benar pergi dengan mobilnya, dia melemparkan senyuman tipis ke arahku. Aku balas tersenyum dengan sedikit malu.

Aku terus memandang ke arah mobil Reza yang akhirnya bergerak menjauh dari arena balapan. Tanpa kusengaja, otakku mengingat kembali aroma tubuh Reza. Aroma parfum maskulin, kayu manis, dan mint yang memabukkan. Wajahku memanas saat mengingat senyuman Reza.

" Itu tadi Reza, kan?" suara Nicole membuatku tersadar dari lamunan dan menolehkan pandangan ke arahnya yang menatapku dengan setengah tidak percaya dan setengah jahil. Aku mendengus sebal melihatnya, lalu mengangguk.

" Jadi kalian mau kemana? Gue traktir nih," ucapku mengalihkan pembicaraan ke yang lainnya. Yang lain langsung mengerubuniku sambil berteriak- teriak menyebutkan tempat yang mereka inginkan.

" Tempat biasa aja, Na. Café tongkrongan kita yang biasa aja. Sisa uangnya buat perbaikan kaca spion mobil lo. Jadi uang itu gak perlu lo kasih ke kas tim kita," sahut Dimas disusul teriakan setuju oleh yang lainnya. Aku mengangguk setuju dan masuk ke dalam mobil. Nicole juga ikut masuk ke dalam mobil. Dia memeluk tas ranselku dengan wajah cemberut. Aku menghela nafas dengan gusar.

" Lo makan aja cokelat sama snack yang lainnya, Nic. Entar gue ceritain deh sama lo, apa aja yang gue dan Reza bicarain," ucapku berusaha membuat Nicole tidak cemberut. Aku melajukan mobil ke café tongkrongan yang biasa aku, Nicole, dan teman- teman se- tim kunjungi. Café itu letaknya agak jauh dari arena balapan.

Nicole sama sekali tidak berkata apapun, tapi aku bisa mendengar kalau dia membuka tas ranselku dan membuka bungkusan makanan ringan. Aku fokus menyetir di jalanan yang mulai sepi. Lagian sudah hampir tengah malam.

Aku mengendarai mobil dengan tenang sampai akhirnya ada mobil yang memalangku dari depan, hingga membuatku mengerem mendadak. Sial. Aku sedang tidak ingin kegembiraanku diganggu oleh pihak manapun saat ini.

Emosiku sedang tidak stabil, jadi aku bergegas turun dari mobil dan terkejut saat menyadari bahwa aku sangat mengenal mobil itu. Tak lama kemudian, dua orang cowok bertubuh jangkung keluar dari mobil itu. Aku meneguk salivaku. Rambutku tertiup angin malam, sementara tubuhku sedikit menggigil.

" Apa- apaan ini, Na?" suara Calvin yang biasanya disertai dengan nada usil dan hangat kini berubah dingin. Pandangannya menajam ke arahku. Sementara itu, Jordan yang ada di sampingnya menatapku dengan datar dan dingin. Seperti biasa.

" G- gue bisa jelasin, bang," ucapku takut- takut. Aku sengaja menggunakan panggilan Abang ke Calvin untuk saat ini. Panggilan itu biasanya bisa meredakan amarahnya. Dan aku yakin pasti kalau Calvin sedang sangat marah saat ini.

" Lo kira gue bego? Lo udah bohongin Mama dan Papa dengan penggunaan GPS. Hebat ya lo, Christia," sinis Calvin padaku dengan nada suara yang sangat dingin. Ini gawat! Kalau Calvin sudah memanggilku Christia, itu artinya dia benar- benar sangat marah saat ini.

" B- bukan kayak gitu, bang. Dengerin gue dulu, " bantahku pelan dengan takut. Aku sendiri pernah melihat Calvin marah besar. Dan itu merupakan hal yang mengerikan. Calvin akan berubah menjadi sosok yang tidak dikenal sifatnya.

" Lo kenapa harus bohong?" pertanyaan Calvin membuatku bungkam. Dia berjalan mendekat ke arahku. Sementara itu, kakiku sudah gemetaran melihat raut wajah Calvin.

" Lo kira gue bakal percaya sama tipu muslihat lo itu? Memang Mama dan Papa percaya gitu aja. Tapi, gue tau Na," ucap Calvin pelan namun penuh intimidasi.

" Gue tau kalo lo enggak akan pernah bisa berubah. Lo suka bohong," lanjutnya dengan tajam. Aku merasa ketakutan saat Calvin menatapku dengan sangat tajam dan dingin. Kata- katanya juga menusuk.

" Gue hanya mau balapan doang, bang. Gue enggak kenapa-napa," lirihku pelan, mencoba memberi penjelasan.

" Terus kalau misalkan lo tabrakan dan kenapa- napa?" lagi- lagi pertanyaan Calvin membuatku bungkam. Dia menghela nafas dengan gusar, berusaha untuk menahan amarahnya.

" Seandainya gue ngasih tau kalo gue balapan ke Mama dan Papa, mereka enggak bakal izinin, Cal. Davis bakal dijual, kalo gue ketahuan balapan. Gue enggak mau kehilangan apa yang gue sayangi, Cal," ucapku berusaha menahan tangis. Tanganku terkepal di samping tubuhku. Aku menunduk, karena sebenarnya aku merasa malu atas tindakanku. " Gue enggak mau lagi kehilangan apa yang gue sayangi dan gue sukai, Cal. Udah cukup gue pernah kehilangan. Dan itu semua karena Mama juga Papa," lanjutku dengan suara pelan dan berusaha menekan emosiku. Calvin tidak memberikan respon apapun kepadaku.

" Kalo lo sayang sama mobil lo, kenapa mobil lo sampai lecet begitu?" sahut Jordan dengan nada dingin dan raut wajah datar. Aku melemparkan pandangan sinis ke arahnya.

" Kalo mobil enggak lecet, berarti enggak ada pengorbanan gue sebagai seorang pembalap," ucapku dengan nada ketus.

" Jaga bicara lo, Christia. Jordan lebih tua dari lo," kecam Calvin dan kali ini dia menunjukkan pandangan amarah padaku. Aku tidak terima kalau Calvin marah padaku. Kenapa aku merasa kalau semua orang menyalahkanku jika aku balapan liar? Apa yang salah dengan itu?

" Terus kalo dia lebih tua, kenapa? Bodo amat," ketusku dengan sangat tidak sopan. Aku berlari menuju mobilku dan meninggalkan Calvin juga Jordan.

" Lo baik- baik aja, Ta?" tanya Nicole dengan nada khawatir. Setetes air mata menjatuhi pipiku. Aku tahu kalau tindakan itu tidak benar. Tapi aku punya alasan atas semua tindakanku yang salah itu.

" Gue lagi enggak baik- baik aja, Nic," ucapku singkat dan tidak munafik. Aku tidak seperti cewek kebanyakan yang ketika menangis masih bisa mengatakan enggak apa- apa.

" Cerita sama gue, Ta," tuntut Nicole dengan memegang lenganku. Dia memaksaku untuk bercerita, sementara emosiku sedang tidak stabil.

" GUE LAGI ENGGAK BAIK- BAIK AJA, NICOLE! NGERTI ENGGAK SIH LO?" bentakku pada Nicole membuatnya terdiam. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Aku tidak peduli Nicole takut atau tidak. Aku sangat emosi saat ini. Lagi- lagi, mobil Calvin menghalangi Davisku dari depan. Aku berusaha untuk tidak menangis. Karena menangis adalah hal yang bodoh dan tidak akan melenyapkan sakit yang ada di hatiku.

Aku keluar dari mobil dengan emosi. Calvin sudah berdiri di depan mobilnya dengan tatapan dingin dan tidak bersahabat.

" Mau lo tuh apaan sih?" bentakku pada Calvin. Baru kali ini aku membentak Calvin. Saat aku tersadar, aku menyesal. Calvin menarikku ke dalam mobilnya. Sedangkan dia masuk ke Davis. Aku didudukkan di samping Jordan yang memegang kemudi. Tatapannya selalu dingin dengan raut wajah yang datar. Dia mengendarai mobil Calvin dengan mengikuti mobilku yang dikendarai oleh Calvin.

" Turunin gue," ketusku dengan gusar. Jordan tidak memberikan respon apapun. Dia hanya diam saja dan melirikku dengan tajam.

" Enggak usah bawel," tukasnya tajam tanpa mengalihkan pandangannya yang ke jalanan. Aku tidak tahu, kenapa aku merasa takut. Aku sangat takut saat Calvin marah padaku. Tapi, aku merasa Jordan lebih menakutkan dari Calvin. Jadi akan lebih baik kalau aku tidak membantah.

Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya kami tiba di depan rumah Nicole. Aku menelan ludah. Jordan membuka pintu mobil untukku. Tanpa mengucapkan apapun, aku turun dari mobil.

Calvin dan Nicole yang mendahului untuk masuk ke rumah Nicole. Setelah masuk ke dalam rumah Nicole, Calvin memimpin jalan ke kamar Nicole. Nicole terlihat ketakutan dan merasa bersalah. Aku sendiri berlagak tidak bersalah, padahal hatiku sudah ketakutan setengah mati.

Calvin meminta Nicole untuk membukakan pintu kamarnya, dan Nicole pun menuruti apa yang diperintahkan oleh Calvin. Aku yang melihat hal tersebut, tidak bisa mengatakan apa- apa.

" Ambil handphone lo!" pinta Calvin dengan suara dingin. Jelas- jelas dia sedang memerintahku. Aku tidak mengatakan apa- apa ataupun membantah. Aku jongkok ke bawah kasur Nicole dan mengambil handphoneku yang telah kusembunyikan disitu.

" Ambil nomor handphone lo yang satu lagi," pinta Calvin lagi dan aku menurutinya. Aku sudah tertangkap basah dan tidak bisa mengatakan apa- apa. Aku kalah. Dan aku tidak pernah suka kalah, karena aku akan malu. Dan sekarang aku merasa malu.

" Gue bakal minta Mama buat jual mobil lo," ucap Calvin dengan tajam membuatku terbelalak. Aku menatapnya dengan marah.

" Enggak! Lo enggak boleh minta Mama buat jual mobil gue!" amarahku memuncak dan tanpa sadar tanganku terkepal. Jordan membawa Nicole keluar dari kamar Nicole. Jadi, tinggallah aku dan Calvin di dalam kamar Nicole.

" Kenapa enggak? Gue enggak nyangka kalo efek balapan bisa separah ini sama lo," balas Calvin dengan tak kalah sengit. Aku tidak mengerti dengan maksud ucapan Calvin. Apa sih maksud dia?

" Maksud lo apaan? Enggak usah berbelit- belit, deh! Lo sama aja dengan Mama dan Papa. Taunya cuman ngerebut kebahagiaan orang lain," ucapku pedas, dan aku melihat kalau tangan Calvin melayang di udara. Aku memejamkan mata. Ini akan menjadi kali pertama Calvin menamparku, tapi nyatanya... aku tidak merasakan apapun. Aku membuka mataku dan mendapati tangan Calvin melayang beberapa sentimeter di depan pipiku. Tangan Jordan menahannya.

" Dia adek lo. Tahan emosi," ucap Jordan dengan nada suara yang sangat tenang. Aku menatapnya dengan tidak percaya.

Calvin sempat melemparkan tatapan sinis ke arah Jordan, tapi kemudian dia memandang ke arahku. Tatapan dinginnya berubah menjadi tatapan kecewa. Calvin merogoh sesuatu dalam saku celananya dan begitu ia menunjukkan apa yang ada di dalam sakunya, aku melotot. Keringat dingin membasahi pelipisku dan kakiku mulai gemetaran.

" Kenapa lo harus pake ini, Na?" tanya Calvin dengan nada suara kecewa. Aku menunduk. Tidak berani menatap mata kedua orang cowok yang lebih tua di hadapanku.

" Ini setraline, Cal. Lo nemu ini dimana?" kali ini suara Jordan yang bertanya dengan nada serius dan tajam.

" Kamar Ana," jawaban Calvin membuatku semakin menunduk. Kali ini aku sudah terbongkar. Suasana hening yang mencekam berada di atmosfer sekitar kamar Nicole.

" Gue pake itu biar pikiran gue bisa tenang," jawabku pelan. Masih tidak berani mendongak, karena malu.

" Jo, gue tunggu lo buat beresin Nicole. Entar lo bawa mobil gue ke apartemen gue, ya," ucap Calvin dengan nada suara datar, lalu tanganku digenggam olehnya. Dia membawaku keluar dari kamar Nicole.

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

little ace 🐮🐺 द्वारा

किशोर उपन्यास

880K 65.8K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
ELARA (TERBIT) Called me Kana द्वारा

रहस्य / थ्रिलर

6.3M 484K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
Monster Tyrant [END] Nursida122004 द्वारा

किशोर उपन्यास

1.4M 127K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...