Katakan aku bodoh!
Aku akan menerimanya
Katakan aku menyedihkan!
Aku akan menerimanya
Namun bila kalian berkata aku salah, aku tidak akan menerimanya karena pada kenyataannya tidak ada kata salah dalam caraku mencintainya.
Semuanya berlalu begitu cepat... Secepat angin laut yang berhembus menyapu layar para perahu nelayan, secepat hujan yang membasahi bumi dan secepat malam yang menghapus jejak siang.
Aku tahu disini hanya akulah yang berjuang untuk meraih harapan itu, harapan dimana aku dapat meraih cintanya.
***
Nino merebahkan tubuh Aluna dengan lembut di atas tempat tidur.
"Benarkah kau mengijinkan ku untuk menyentuhmu?"
Aluna mengangguk. Dia membelai pipi Nino, "Aku mencintaimu...."
Dalam kegelapan malam yang dihiasi oleh cahaya sang Bulan dan Bintang, Aluna dan Nino melakukan ibadah itu bersama. Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan dan ketenangan.
Aluna tahu, bahkan sangat tahu kalau tak ada sedikitpun cinta yang Nino berikan untuknya karena Nino tidak membalas pernyataan cintannya, namun Aluna tidak akan mempermasalahkannya. Dia telah memberikan mahkotanya pada Nino dan dia merasa kalau kini dia telah menjadi seorang istri yang sesungguhnya meskipun tanpa cinta dari suaminya.
Aku selalu berharap, Allah masih bersedia memberikan sedikit pahala-Nya atas ibadahku dan Kak Nino malam ini. Meskipun Kak Nino melakukannya tanpa Cinta.
Ya Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Hamba mohon tumbuhkan rasa cinta di hati suamiku untukku.
Tepat pukul 00.01 suara kembang Api terdengar semakin intens. Saling bersahutan. Memecahkan keheningan malam. Menghiasi langit malam dengan berbagai warna.
Nino mengecup kening Aluna, "Maafkan aku... Aku telah mengambil sesuatu yang sangat berharga bagimu."
Aluna merebahkan kepalanya di dada Nino, "Tidak usah minta maaf. Apa yang telah Kak Nino ambil adalah milik Kak Nino."
"Tapi Aluna...".
Aluna mengecup bibir Nino hingga Nino tidak mampu melanjutkan ucapannya, "Aku ngantuk Kak. Bolehkah aku tidur?"
Nino mengangguk. Dia membelai lembut pucuk kepala Aluna.
Aluna menikmati belaian lembut tangan Nino di kepalanya dan dia berharap dapat terus merasakan kelembutan itu. Namun harapannya pupus saat tiba-tiba Nino menghentikan belaiannya.
"Aku akan kembali ke kamarku. Tidurlah," ucap Nino melepaskan tangan Aluna yang memeluk tubuhnya.
Sakit... Tentu hati Aluna merasa sakit.
Kenapa Nino tidak ingin tidur dengannya setelah dia memberikan segalanya pada Nino?
Meski hatinya kini tengah dilanda rasa sakit yang tak tertahankan Aluna berusaha untuk tetap mengukir senyum di wajahnya, "Kenapa Kak Nino tidak tidur disini saja?"
"A..aku.. aku merasa tidak nyaman."
Deg.... Aluna tersenyum kelu. Tidak nyaman? Salahkan yang dia dengar barusan. Sungguh demi apapun dia harap apa yang barusan dia dengar adalah sebuah kekeliruan.
"Maafkan aku Aluna," ucap Nino sebelum pergi meninggalkan Aluna yang masih bergelung di balik selimut yang tebal.
Aluna menggigit bibir bagian bawahnya. Berusaha untuk menahan rasa sakit yang kini menghantam hatinya. Perlahan dia beranjak dari atas tempat tidur. Dia menatap pantulan dirinya di cermin.
Berantakan... Dirinya terlihat begitu berantakan. Dia sungguh terlihat tidak menarik.
"Apakah barusan aku terlihat seperti pelacur di matanya?" Aluna berucap lirih pada pantulan dirinya di cermin, "Apakah aku terlihat bagaikan pelacur di matanya hingga dia merasa tidak nyaman berada di dekatku? Dia merasa tidak nyaman di dekatku... Suamiku tidak merasa nyaman berada di dekatku... Apa yang harus aku lakukan?"
Tubuh Aluna luruh di atas lantai yang dingin. Tangan kanannya memukuli dadanya yang terasa begitu sesak.
"Ya Allah kenapa aku merasa jijik pada diriku sendiri? Aku jijik pada diriku sendiri... Rendahkah apa yang telah aku lakukan? Aku mencintainya... Aku sungguh mencintainya dan aku kini merasa takut kalau cintaku padanya akan mengalahkan rasa cintaku pada-Mu."
Aluna tersungkur. Tak mampu lagi menahan tangisnya.
Dia terlalu mencinta Nino dan kini di saat Nino kembali menjatuhkannya dia seakan kehilangan pijakan.
Menangis.. Ya, kini dia hanya mampu menangis. Dia berharap tangisan dapat meringankan rasa sakit yang kini melanda hatinya. Namun sayang... Sebanyak apapun air mata yang mengalir membasahi wajahnya rasa sakit itu masih terus bercokol di hatinya.
Perlahan Aluna beranjak dari permukaan lantai yang dingin. Sesekali isak tangis dan sedu-sedan masih lolos dari bibirnya yang tipis. Dia melangkahkan tubuhnya menuju kamar mandi. Dia akan merendam seluruh tubuhnya dengan air dingin. Suatu tindakan yang gila, namun Aluna tetap akan melakukannya. Dia harap air dingin yang merendam seluruh tubuhnya mampu menghilangkan rasa sakit yang masih bercokol di hatinya.
Aluna menenggelamkan seluruh tubuhnya. Tanpa dapat dia cegah tiba-tiba kejadian dua hari yang lalu kembali berputar di kepalanya.
"Ingat Aluna, Nino menikahimu karena merasa kasihan padamu. Kau seorang gadis yang tak memiliki ibu dan ayah. Kakakmu malah lebih memilih suami yang meninggalkannya daripada memilih untuk tetap bersamamu. Keberadaanmu hanya beban untuk orang-orang yang ada disekitarmu termasuk adikku. Dia terlalu baik hingga mau menikahimu... Adikku tidak mungkin dapat meninggalkanmu bukan karena dia mencintaimu... Tapi dia tidak bisa meninggalkanmu karena merasa kasihan padamu. Orang-orang disekitarmu tidak ada yang menginginkanmu. Semuanya memperlakukanmu dengan baik semata-mata karena merasa kasihan melihat dirimu yang malang. Bila Nino meninggalkanmu tidak akan ada lagi yang akan mau menampung," itulah perkataan Naura, Kakak Nino yang dua hari lalu Aluna temui setelah dia mengikuti ujian Aufnahmeprüfung untuk Studienkolleg-nya di Friedrich Alexander Universitat Erlangen Nurnberg (FAU).
Tak ada yang menginginkannya....
Dia hanya akan menjadi beban bagi orang-orang yang berada di dekatnya...
Lantas apa yang kini harus dia lakukan? Apakah dia harus meninggalkan Nino? Tidak dia tidak bisa melakukannya? Dia telah berjanji untuk tetap berada di samping Nino hingga Nino sendiri yang akan memintanya untuk pergi. Tapi kini dia tahu kalau Nino merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Bila dia tetap berada di dekat Nino bukankah itu hanya akan membuat hidup Nino tidak akan bahagia. Dia ingin Nino hidup bahagia... Sungguh dia ingin Nino bahagia.
***
"Kau gila!" Maki Daniel pada Nino, "Kau meninggalkan Aluna setelah kau menidurinya. Kau harus ingat Aluna itu istrimu bukan pelacur! Kenapa kau memperlakukannya seperti itu? Dimana akal sehatmu Nino?"
Nino hanya diam. Dia memejamkan matanya. Sepertinya keputusannya menceritakan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Aluna pada Daniel adalah pilihan yang salah. Tak seharusnya dia menceritakan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Aluna pada Daniel. Daniel hanya membuat pikirannya semakin keruh.
"Kau lari dari pesta Richard karena hendak menghindari godaan Regina tapi kenapa kau malah melarikan diri pada pelukkan Aluna?"
"Karena dia istriku."
Daniel tertawa mengejek, "Itu kau tahu. Aluna istrimu bukan pelacur tapi kenapa kau memperlakukannya seperti engkau memperlakukan seorang pelacur? Katakan padaku kenapa kau melakukan itu?"
"Aku merasa bersalah padanya. Aku menikahinya karena aku ingin menjaganya.... Dialah yang dulu pernah menyelamatkanku dalam keterpurukan tapi sekarang aku malah mengambil keuntungan darinya. Tak seharusnya aku melakukan itu padanya."
Daniel menghela napas panjang, "Terkadang aku bingung dengan cara berpikirmu. Kau mampu memegang teguh prinsipmu untuk tidak mengucapkan selamat Natal pada keluargamu karena agama yang kau percayai melarangnya dan kau pun rela meninggalkan dunia musik yang kau cintai karena katanya Tuhanmu tak menyukainya. Lantas apakah Tuhanmu tidak menyuruhmu untuk memperlakukan istrimu dengan baik? Bukannya Tuhan pasti menyuruh seorang suami memperlakukan istrinya dengan baik. Mau kau mencintainya ataupun tidak karena disaat kau telah mengikatnya dalam pernikahan itu berarti Tuhan telah mempercayakan istrimu padamu."
Tubuh Nino membeku. Perkataan yang Daniel ucapankan berhasil membuatnya seakan berada di titik paling rendah.
Allah menyuruh seorang suami memperlakukan istrinya dengan sangat baik... Tapi yang dia lakukan pada Aluna malah sebaliknya.
Dia bisa meninggalkan semuanya karena Allah tapi kenapa dia tak mampu menjaga amanah yang telah Allah titipkan padanya?
Daniel menepuk bahu Nino, "Perlakukanlah Aluna dengan baik. Sekarang kau memang belum dapat mencintainya namun percayalah seiring berjalannya waktu kau pasti akan dapat mencintainya."
Nino menundukkan kepalanya, "Aku tidak akan dapat mencintainya."
Daniel menghela napas kasar, "Kenapa? Apa karena dia adik dari seseorang yang kau cintai namun sayangnya orang yang kau cinta itu tak mencintaimu? Kalau itu alasannya kau akan menjadi laki-laki paling bodoh sedunia. Lepaskan cinta yang tak terbalas dan cobalah untuk mencintai wanita yang sudah jelas mencintaimu!"
Nino beranjak dari duduknya, "Hal itu mudah untuk diucapkan namun akan sulit untuk direalisasikan."
"Kalau benar kau tidak mencintai Aluna. Lantas apa alasan kau menidurinya? Apa alasannya sama seperti kau menikahinya yaitu karena kau kasihan padanya dan kau hendak balas budi padanya karena secara tak langsung Aluna lah yang membuatmu meninggalkan agamamu yang dulu?"
Nino tak mampu memberikan jawaban apapun.
"Atau kau menidurinya semata-mata karena kau hanya ingin melampiaskan kebutuhanmu sebagai seorang lelaki yang normal?"
Nino mengepalkan tangannya, "Aku sungguh menyesal telah menceritakan semuanya padamu," ucap Nino sebelum pergi meninggalkan Daniel.
"Keluar dari persembunyianmu, Aluna," ucap Daniel ke pada Aluna yang ternyata sedari tadi mencuri dengar dari balik tembok dekat tangga darurat.
Aluna membersit pipinya yang lagi-lagi telah basah oleh air mata sebelum keluar dari persembunyian.
"Hai Daniel," ucap Aluna menyapa Daniel.
"Ini sudah malam. Kenapa kau ada diluar apartemen?"
Aluna menundukkan kepalanya, "Aku tidak menemukan Kak Nino di kamarnya oleh karena itu aku keluar apartemen untuk mencarinya. Kak Nino lupa membawa mantelnya."
Daniel melirik ke arah mantel yang ada didekapan Aluna.
"Kau masih dapat berlaku baik padanya setelah apa yang dia lakukan padamu? Aku sarankan lebih baik kau pergi jauh darinya itu akan lebih baik untuk hatimu."
Aluna mendekap erat mantel Nino. Perlahan kepalanya menggeleng, "Aku tidak akan pergi meninggalkannya... Aku hanya akan pergi bila dia yang memintaku untuk pergi."
"Kenapa demikian? Itu tidak adil untukmu!"
Aluna tersenyum, "Karena aku mencintainya.... Sungguh mencintainya," ucap Aluna sebelum berlalu pergi dari hadapan Daniel.
Langit malam sudah kembali terlihat sunyi. Hanya sesekali cahaya kembang api melesat ke angkasa. Jalanan pun sudah terlihat sepi namun hal itu tidak mengurungkan niat Aluna untuk mencari keberadaan Nino.
Senyuman menghiasi wajah Aluna saat dia melihat Nino yang tengah duduk di kursi taman Grunewald. Mata Nino fokus menatap sungai havel yang berhiaskan cahaya lampu taman yang redup.
Perlahan dia mendekap erat bahu Nino, "Kenapa Kak Nino tidak menggunakan mantel saat keluar dari apartemen? Udara sedang sangat dingin. Aku tidak ingin Kak Nino sakit."
Nino bukan main terkejutnya. Dia langsung melepaskan tangan Aluna yang mendekap bahunya, "Kenapa kau ada disini?"
"Aku hanya ingin memberikan mantel ini pada Kak Nino," dengan penuh kehati-hatian Aluna memakaikan mantel yang dia bawa ke tubuh Nino, "Sekarang Kak Nino sudah menggunakan mantel. Aku pulang yah. Oh iya Kak Nino jangan ke maleman pulangnya. Sebelum waktu subuh datang Kak Nino sudah harus pulang!" Dengan tangan yang sedikit gemetar Aluna menyentuh pipi Nino, "Maaf kalau keberadaanku membuat Kak Nino merasa tidak nyaman... Aku sungguh minta maaf. Tapi aku tidak akan bisa pergi dari samping Kak Nino sebab aku telah berjanji kalau aku akan terus berada di samping Kak Nino sampai Kak Nino sendiri yang memintaku untuk pergi.... Aku hanya ingin Kak Nino bahagia... Hanya itu."
💙💙💙
Bogor, 14 Rabi'II 1439H
Repost : 29 Dhu'l-Qi'dah 1439H