Tuan Kim dan Sang Pelacur

By VanadiumZoe

82.5K 12.1K 4.2K

Kim Seok Jin mendapat kiriman hadiah dari rekan bisnisnya di Macau, Seraphina, seorang Pelacur paling cantik... More

UNGKAPAN-KATA
PROLOG
LIE
1
2
3
CERULEAN
1
2
3
4
5
6
7
8
WINTER SCENT
1
2
3
4
5
6
7
8
10
11
BLOSSOM TEARS
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
FOREVER RAIN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
PEACH
1
2
3
4
5
UNGKAPAN-RASA

9

1K 194 82
By VanadiumZoe

👑 🦊 👑

🍁🍁🍁

Seokjin memasuki rumahnya dan langsung disambut pelukan hangat dari putrinya. Dia menerima banyak kecupan di pipi, sebelum Reeya memeluk bahunya kelewat erat. Reeya bahkan tidak mau melepas meski Seokjin sudah memintanya dua kali, lalu saat dia melihat Jiyeon turun dari tangga lantai dua menggunakan kruk, barulah Seokjin menggendong Reeya dan berjalan ke ruang bermain, melewati Jiyeon begitu saja.

Dia merasa tidak punya waktu untuk menanyakan keadaan kaki Jiyeon yang masih diperban, atau barang kali bertanya tentang kondisi Jiyeon paska kecelakaan minggu lalu. Dia tidak peduli, terlalu lelah menyakiti dirinya sendiri. Sekarang bagi Seokjin Reeya paling penting, tidak yang lain.

"Terjadi sesuatu yang Ayah tidak tahu?" tanya Seokjin, mendudukkan Reeya di pangkuan, di ruang bermain bernuansa merah jambu yang manis.

"Reeya mau cerita sama, Ayah, tapi ini rahasia."

"Oh, tentu, Ayah bisa dipercaya." Seokjin mengedipkan mata, menahan tawa melihat raut wajah serius Reeya yang selalu mengemaskan di matanya.

"Apa benar, sekarang Ayah dan ibu tinggal di rumah yang berbeda?"

Seokjin tertegun sebentar, dia sudah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan Reeya ini jauh-jauh hari.

"Ya, Ayah akan tinggal di Hannam."

"Bersama Sera Eonni?"

"Hhmm...." Seokjin mengangguk singkat, memandangi Reeya yang tampak berpikir keras.

"Apa ibu membuat kesalahan sampai Ayah, tidak mau tinggal sama-sama lagi di sini?"

"Tidak, tapi Ayah yang membuat kesalahan."

"Ibu bilang Reeya tidak boleh dekat-dekat dengan Sera Eonni, karena dia penyihir jahat."

"Reeya, percaya?"

"Tidak, penyihir 'kan cuma fiksi. Ayah bilang Reeya tidak boleh membenci seseorang, hanya karena orang lain membencinya. Reeya sayang ibu, tapi Sera eonni juga lucu."

Reeya tertawa sampai giginya yang kecil-kecil terlihat, lalu memeluk bahu Seokjin dan bersandar di sana.

"Reeya sayang banget sama Ayah. Ibu bilang Reeya hanya bisa ketemu Ayah di hari Kamis, Jumat, Sabtu. Terus kalau Reeya kangen di hari Senin, bagaimana?"

Seokjin merasakan rangkulan Reeya di bahunya mengerat, dia mengusap puncak kepala Reeya bersama beribu-ribu rasa sayang dan cinta yang dia punya, sembari berkata.

"Reeya boleh ketemu Ayah kapan pun Reeya mau, tidak ada batas waktu. Reeya jangan khawatir, oke?"

Reeya melonggar rangkulan. "Beneran?" katanya, manik mata Reeya yang seterang kenari tampak berbinar-binar.

Seokjin mengangguk cepat, lalu menciumi pipi putrinya yang tembem dan merah jambu, gemas bukan main.

Seokjin sudah menduga kalau Reeya tidak akan protes terlalu banyak jika dia dan Jiyeon hidup terpisah, selama tiga bulan terakhir dia memang sudah tidak satu rumah dengan Jiyeon. Reeya sudah terbiasa sejak kecil ditinggal Seokjin bekerja, berpikir kalau ayahnya sibuk, juga sang ibu yang memang tidak pernah melakukan kegiataan bersamanya.

Meski begitu, Seokjin tetap merasa sangat bersalah kepada putrinya, Reeya masih terlalu kecil untuk mengerti segala skandal yang terjadi pada rumah tangganya dengan Jiyeon. Dia memang terlalu sibuk bekerja, jarang punya waktu bersama kecuali akhir pekan, itu pun bila tidak sedang berada di luar negeri.

"Ayah, Reeya boleh 'kan temenan sama Sera eonni?"

"Boleh—"

"Yey!" sela Reeya. "Reeya mau main sepeda lagi, mau berkebun juga. Eonni bilang, nanti Reeya mau diajarin cara bikin bambu mint."

"Bambu mint?—" tanya Seokjin, tapi terjeda oleh panggilan masuk dari supir pribadinya.

"Tuan Kim, sepertinya saya tidak bisa mengambil mobil nona Sera di tempat les. Saya masih di Gwangju, rapatnya belum selesai, saya tidak mungkin meninggalkan Karina di sini."

Hari ini Seokjin meminta supir pribadinya mengantar Karina ke Gwangju, untuk mengantikan posisinya di rapat produksi. Dia melirik jam tangan, sekarang sudah pukul enam sore kurang dua menit.

"Oke, biar Jimin yang mengurusnya."

Sambungan itu selesai, Seokjin pamitan kepada putrinya dan menyakinkan sekali lagi kalau Reeya bisa bertemu dengannya diluar dari hari yang ditentukan pengadilan. Sidang putusan cerai masih tersisa dua hari lagi, tapi hubungannya dengan Jiyeon sudah sedingin gunung es.

"Tidak sedang menghasut Reeya agar menyukai pelacur itu, 'kan?" kata Jiyeon dari depan pintu. Tangan kanannya bertumpu pada kruk, kakinya belum bisa dipakai jalan secara normal paska kecelakaan.

"Kau takut Reeya lebih memilih Sera ketimbang ibu kandungnya?" Seringai tipis terulas di sudut bibir Seokjin, manik matanya yang runcing menukik tajam pada Jiyeon.

"Bukan 'kah, kau tidak pernah menginginkan kelahiran Reeya, Jiyeon?"

Raut wajah Jiyeon pucat dalam hitungan detik, pasalnya tidak ada yang tahu saat dia ingin mengugurkan kandungan setelah tahu bayi yang dia kandung berjenis kelamin perempuan. Dia menutup rapat niat busuknya itu dari siapa pun, kecuali Jung Hoseok.

"Kau tidak berpikir, kalau aku tidak tahu apa-apa, 'kan?" kata Seokjin. "Aku memaafkanmu karena aku sangat mencintaimu. Tapi jika kau menyakiti Reeya sekali lagi, maka aku sendiri yang akan membalasmu, sampai kau menyesal pernah mengenalku, Jung Jiyeon."

Jiyeon memaku saat Seokjin berlalu pergi, kata-kata calon mantan suaminya itu menancap di ulu hati. Seokjin tahu semua yang dia lakukan, tetapi masih memberinya sejuta rasa yang sama dan tidak berkurang sejak bertahun-tahun silam.

Kini, haruskah dia merasa berbesar hati karena telah mendapatkan seluruh cinta Seokjin? Tetapi faktanya, tanggal 15 Maret mereka akan bercerai, mengakhiri semua sandiwara perkawinan tujuh tahun keduanya. Ruang kosong mendadak muncul di sudut hati terdalam Jiyeon, menyadari bila dia tidak berhenti maka Seokjin akan terlepas darinya, selamanya.

Tertatih-tatih Jiyeon melangkah memasuki rumah, bersama kenangan yang tiba-tiba menghujani kepalanya. Kemudian, bayang-bayang kehidupannya bersama Seokjin pupus, sebelum menghilang tanpa sisa.

🍁🍁🍁

"Luar biasa, Kim Seokjin membuatmu semakin cantik, seolah-olah kau punya martabat yang baik."

Sapaan dari pria di ujung koridor meremangkan bulu-bulu di tangan Sera, mendekatinya lamat-lamat dalam langkah saling silang dan air muka sangar.

Insting menyelamatkan diri berdentang di kepala Sera, dia sedikit menyesal karena sering mengabaikan Soobin yang mau melatihnya Aikido. Kemampuan beladirinya jauh di bawa rata-rata, dia juga tidak membawa alarm tanda bahaya. Dihitung dari postur badan dan jumlah masa otot, jelas, Sera kalah telak.

"Masih ingat aku, Seraphina?"

Sera mundur selangkah, memandangi pria asing yang terasa familiar, mengingatkan dia pada....

"Kau—!"

Satu pukulan Sera hanya berhasil membuat pria itu mendesis, lalu lengannya menghantam Sera dan membuatnya jatuh bersama daya dorongan itu. Pergelangan kaki Sera yang masih sakit menyulitkannya memberi tendangan, pukulan-pukulan balasan Sera serasa angin lalu, lalu dia dihempaskan sampai menabrak kursi tunggu di lorong itu.

Sera meringis memegangi lengan dan kakinya, lalu pria itu kembali menyerang. Dia ditindih dengan pitingan di kaki, berusaha menyentuh Sera yang terus memberi perlawanan.

"Tidak usah sok jual mahal Seraphina, kau itu pelacur—berengsek!"

Makian dan tamparan keras mendarat di kepala, setelah Sera meludahi pria itu, dia menarik baju Sera sampai kancingnya terlepas dan mulai melecehkannya. Sera mendorong pria itu sekuat yang dia bisa, menaikkan lutut, memberi tendangan kuat di perut.

Pria itu berguling dengan erangan berat sambil memegangi perut, kesempatan itu diambil Sera untuk berlari ke pintu. Tetapi lagi-lagi sial bagi Sera karena pria itu sudah mencengkram bahu, dia diputar, lalu didorong sampai tersungkur di lantai. Napas Sera berdengap, karena punggungnya menabrak lantai.

Pria itu menghampiri Sera lagi, lalu tubuh Sera dikunci di antara lutut.

"Apa saja yang sudah kau beritahukan pada Seokjin?!"

"Bukan urusanmu! Kau dan Jungkook akan dapat masalah, kalau Seokjin tahu yang kau lakukan padaku."

"Hah! Memangnya dia peduli, dasar Perek!"

Kemudian saat tangan pria itu siap menelanjangi Sera, seseorang tiba-tiba membuka pintu lebih lebar, mendorong kuat hingga meninggalkan bunyi dentuman keras di belakang.

"Keparat!"

Pria itu menoleh dan sosok Seokjin yang baru datang langsung menyerang, menghantamkan tinju di rahang. Pria itu terkejut dan tidak siap, terjungkal, jatuh ke lantai. Sera mengerjap lebih sering, melihat Seokjin menghajar pria itu tanpa jeda.

"Berani sekali kau menyentuhnya!"

Seokjin kembali menyerang lebih cepat dan kuat dari sebelumnya, pemuda yang lebih muda darinya itu mungkin lebih gesit tapi Seokjin menang teknis. Seokjin menangkis pukulan, lalu pura-pura ingin menyerang wajah tapi lututnya terangkat dan menghantam perut membuat pria itu jatuh menghantam lantai. Lalu pukulan bertubi-tubi dari Seokjin, membuat orang itu berdengap, merasa hidungnya hancur, darah mengucur dari mulut dan kedua lubang hidung

Sambil menarik napas Seokjin berdiri tegak, kilatan marah masih terlihat dari balik manik hitam pekatnya yang tampak begitu gelap.

"Hei, Tu-tuan Kim, kenapa kau membelanya? Dia itu cuma pelacur—"

Kalimat pria itu tertahan oleh ujung sepatu Seokjin yang menekan rahang kuat-kuat sampai darah segar menyembur dari sela gigi-gigi berderik, orang itu menciut di bawah tatapan membunuh Seokjin yang menyala-nyala.

"Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya, Yang Jung Won. Kupastikan setelah ini kau hanya bisa melihat matahari dari balik jeruji besi di sepanjang sisa hidupmu. Kecuali ayahmu datang dan berlutut di hadapanku, mengakui perbuatanmu di depan semua orang. Kau mengerti?!"

Bertepatan dengan itu Jimin muncul dari pintu dan segera mengurus Jungwon yang sekarat. Sementara Seokjin melepas jas yang dia pakai, mendekati Sera yang pelan-pelan berdiri dari posisi duduk di lantai. Seokjin menutupi dada Sera yang terbuka, karena kancing baju Sera sudah lepas sebagian.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Seokjin dengan nada paling lembut yang pernah Sera dengar.

Sera yang masih termangu dalam ketidak percayaan, melihat Seokjin membelanya selayak calon istri sungguhan hanya mengangguk singkat. Dia diam saja saat Seokjin membawanya ke dalam pelukan yang terasa sangat aman. Seolah-olah tidak akan ada orang yang bisa menyakiti dirinya selama Seokjin bersamanya, mengantarkan kehangatan yang menelusup diam-diam ke dalam hatinya yang sudah lama mati.

Seokjin merangkul bahu saat membawa Sera ke mobil, sesampainya di rumah Sera dipeluk di ranjang tidur di sepanjang sisa sore itu dengan kalimat sesal yang diutarakan Seokjin dengan kesungguhan dan ketulusan. Seokjin merasa dia datang terlambat sehingga Sera nyaris dilecehkan pria lain, padahal Sera sudah bilang berkali-kali dia baik-baik saja dan Seokjin sudah datang tepat waktu.

"Seharusnya aku yang merasa bersalah karena sudah melanggar kontrak kerja, aku tidak bisa menjaga martabatmu dan membiarkan orang itu—"

Kalimat Sera berjeda saat Seokjin mengeratkan pelukan, menenggelamkan tubuh kecilnya di antara kedua lengan. Seokjin memerhatikan memar keunguan di tangan dan kaki Sera, lalu menyentuhnya hati-hati.

"Ini—sakit sekali?"

Pertanyaan Seokjin otomatis membuat Sera menoleh dan mengikuti arah pandang Seokjin, dia terkekeh kecil sembari mengangkat tanganya yang keunguan dan agak bengkak.

"Ah, ini, tidak apa-apa aku sudah terbiasa dipukuli—maksudku ini hanya memar kecil, tidak usah dipikirkan." Pandangan Seokjin belum teralihkan, Sera menambahkan jawabannya lagi. "Kakiku terpeleset di sesi latihan. Aku terlalu payah saat memperagakan putaran fouettes, tapi tenang saja nanti aku pasti bisa melakukannya."

"Istirahatlah," bisik Seokjin.

"Eh, fitting bajunya?" Sera berusaha melepaskan diri dari pelukan Seokjin, sebelum dia ngantuk dan ketiduran. Percayalah, dekapan Seokjin itu kelewat hangat dan nyaman.

"Hhmm...?"

"Aku penasaran gaunnya seperti apa, masih bisa tidak kalau kita melihatnya sekarang?"

Seokjin tidak mengatakan apa-apa, memandang lurus-lurus, membuat Sera menelan saliva susah payah karena tahu arti dari tatapan dingin itu.

"Baiklah, aku tidur," ujar Sera dengan enggan, cemberut, tapi kemudian senyum ceria sudah terpampang di wajahnya yang cerah saat Seokjin berkata dengan nada lembut...

"Oke, kita lihat gaunmu sekarang."

🍁🍁🍁

Gerimis tipis menemani perjalanan mereka menuju penjahit dari rumah mode Elie Saab di Gangnam-gu, Sera asik memandangi titik-titik hujan yang membasi kaca mobil. Sehingga dia tidak sadar Seokjin memerhatikannya, pria itu berpikir ulang tentang kejadian penyerangan terhadap Sera. Di pemberhentian lampu merah, Seokjin bertanya.

"Sera, kau tahu, kenapa Jungwon datang menemuimu?"

Pertanyaan Seokjin otomatis membuat Sera menoleh, dia mengernyit, sebelum menggeleng pelan.

"Kau yakin tidak ada urusan yang belum terselesaikan di antara kalian?"

"Aku tidak kenal dia, selain dia sebagai sepupunya Jungkook, mungkin—" gumam Sera, agak ragu. "Dia takut aku sudah mengatakan sesuatu tentang Jungkook padamu."

"Tentang?"

"Ah, lupakan saja, tidak penting juga." Sera buru-buru memandangi jendela, mengabaikan Seokjin yang masih mengamatinya.

Lampu merah untuk pejalan kaki sudah menyala, mobil mewah itu kembali melaju dalam kecepatan sedang. Sesampainya di butik mereka disambut oleh penjahit dengan ramah tamah yang dirasa Sera terlalu basi, kentara sekali menahan jijik saat melihatnya.

Siapa yang peduli—pikir Sera. Dia senang Seokjin mengandeng tangannya, selagi mereka berjalan menyeberangi ruang untuk melihat gaun yang akan Sera pakai di pernikahan nanti.

"Gaunmu sudah selesai, ini dia—" kata penjahit itu, seraya menarik tirai dari salah satu ruang fitting.

Seketika Sera terpana, tidak menduga kalau Seokjin akan memesan gaun pengantin seindah itu, padahal pernikahan mereka hanyalah kontrak kerja. Seokjin memesan salah satu koleksi dari Bridal Spring Elie Saab tahun ini.

Tanpa sadar Sera berjalan lebih dekat, menyentuhkan jari-jarinya yang mendadak beku ke gaun pengantinnya. Gaun tulle dengan garis leher off-shoulder, bersulam penuh dengan garis tumpang tindih benang sutra dan payet, menghiasi dari atas sampai bawah, dan ikat pita kecil di pinggang.

"Kau bisa langsung mencobanya."

Sera tersentak, tahu-tahu Seokjin berdiri di sampingnya.

"Boleh dicoba?"

Seokjin mengusap puncak kepala Sera, saat manik mata Sera yang bening bak mutiara hitam mengerjap dua kali.

"Tentu saja, aku memesan gaun ini untukmu."

Pipi Sera mendadak hangat, saat tirai ditutup dan dua orang staf membantunya memakai gaun. Dia memandangi dirinya sendiri dari balik kaca setinggi badan, saat para staf masih sibuk menarik reslesting di belakang punggungnya.

"Nona, apa ada bagian yang dirasa kurang nyaman?" tanya salah satu staf, sopan dan tertata.

"Sudah pas. Ah, gaun ini indah sekali," jawab Sera, tidak mengalihkan pandang dari bayang diri di cermin.

"Benar, salah satu yang paling indah dari koleksi Elie Saab tahun ini. Dijamin, kau semakin cantik di pernikahanmu nanti."

"Terima kasih."

"Saya akan memanggil calon suamimu untuk melihat gaunnya," kata staf itu lagi, lalu berlalu pergi.

Sera masih berdiri depan kaca, jemarinya menelusuri sulaman sutra di gaunnya. Dia tidak pernah menyangka akan ada hari dimana dia memakai gaun pengantin, lalu berjalan menuju altar bersama pria yang akan menikahinya. Sejak hidupnya mati di rumah pelacuran itu, Sera tidak pernah lagi membayangkan hal-hal semacam pernikahan apa lagi punya keturunan.

Seraphina sudah melakukan operasi tubektomi sejak usianya masih 17 tahun, dia tidak bisa melahirkan keturunan dari rahimnya sendiri.

"Suka gaunnya?"

Suara Seokjin yang terdengar kelewat berat terdengar di belakang, belum sempat Sera berbalik Seokjin sudah berdiri di sebelahnya.

"Tuan Kim, gaun ini indah sekali." Ada kabut tipis di manik Sera yang kini memandangi Seokjin dengan senyum lebar, luapan bahagia itu sulit sekali ditepis, meski dia tahu pernikahannya hanya opera sabun.

Sera tidak mau memikirkan hal lain selain gaun cantik yang melekat pas di tubuhnya, yang mendatangkan euphoria, menyembur dari gaun itu, menelusup sampai jauh ke dasar hati dan pikiran. Pengalaman menajubkan ini mungkin tidak akan datang dua kali, jadi Sera akan menikmati momen memukau ini di tiap detiknya meski hanya seorang diri.

Tidak akan ada pria yang mencintai dan menikahi seorang pelacur, Seraphina paham betul tentang itu dan cukup tahu diri dengan tidak meminta lebih—apa pun itu, dari sosok pria yang kini mencium keningnya. Merangkul bahu dan menyandarkannya di dada, selagi dia memandangi dirinya dari kaca.

"Kapan kita menikah?" tanya Sera.

"Tanggal 19—"

"Astaga, akhir pekan ini?" sela Sera, sembari melepaskan diri dari rangkulan Seokjin.

"Kenapa, mau ganti tanggalnya?" Jemari Seokjin bergerak pelan menelusuri helaian rambut Sera yang menutupi pipi, lalu diselipkan ke belakang telinga.

"Memang bisa diganti?"

Seokjin mengangguk singkat.

"Tidak perlu, atur saja sesukamu." Sera tertawa lagi, sampai menyipitkan mata beningnya.

Seokjin tersenyum tipis saat Sera menggoyang-goyangkan lengannya, gadis itu masih meluapkan kebahagiaan yang dirasa Seokjin berbeda dari hari-hari sebelumnya.

Ya, Seokjin melihat Sera selalu senang dan bergembira, seperti tidak punya beban hidup. Tetapi yang malam ini dia lihat berbeda. Kebahagiaan Sera terasa lebih bebas dan lepas, wajah Sera berseri merah muda. Seokjin baru menyadari manik hitam Sera begitu bening dan bersih, dengan struktur wajah mungil yang halus. Pada saat itu, Seokjin melihat betapa cantiknya dia.

"Tuan Kim, kalau nanti tugasku sudah selesai, apa gaun ini boleh kubawa?"

Seokjin bergeming selama sedetik sebelum mengangguk singkat, dia berlalu tanpa kata saat dua staf datang dan menawarkan bantuan pada Sera untuk melepaskan gaunnya.

"Calon suamimu romantis sekali—" kata salah satu staf sembari menarik resleting.

"Juga tampan," kata staf satunya.

"Dan juga kaya raya, itu yang paling penting," tukas Sera, lalu ketiganya tertawa terbahak-bahak.

"Dia terlihat sangat mencintaimu, kau benar-benar beruntung, Nona."

Sera tersenyum senang, tidak merasa terganggu sama sekali dengan kalimat kiasan itu.

"Semoga pernikahan kalian lancar dan selamat berbahagia." Kedua staf itu menunduk sopan pada Sera, lalu berlalu sambil membawa gaun untuk di packing.

Sera membalas sapaan perpisahan itu dengan gembira, merapikan rambutnya sebentar sebelum keluar dari ruang ganti. Di depannya Seokjin tengah menerima ucapan selamat, si penjahit juga menjelaskan bahwa gaun akan dikirim besok ke kediaman Seokjin di Hannam.

"Sera—"

Panggilan Seokjin mengalihkan atensi Sera pada ponselnya yang bergetar. Sambil berjalan mendekati Seokjin yang mengulurkan tangan kepadanya, Sera membaca pesan singkat dari seserang yang membuatnya mendengus keras.


Kita perlu bicara—Jung Ji Yeon.


Apa lagi yang dia inginkan—batin Sera, sebelum menyambut uluran tangan Seokjin dengan senyum cerah, membawanya pulang ke rumah.

[]

👑 🐻 👑

🍁🍁🍁


Continue Reading

You'll Also Like

15.6K 1.5K 25
Kisah MinYoongi seorang Idol terkenal yang harus terjebak di kehidupan pernikahan kontraknya dengan Rheya seorang gadis yang bekerja di agensi tempat...
723K 67.4K 42
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
YES, DADDY! By

Fanfiction

298K 1.7K 9
Tentang Ola dan Daddy Leon. Tentang hubungan mereka yang di luar batas wajar
24.6K 1.4K 38
Apakah ini yang dinamakan first love? Baru ketemu sekali tapi sudah kepikiran berhari-hari She is always running in my mind - Min Yoongi E N D...