"Bareng dong."
"Mati aja lo," hardik Luna sambil melotot kesal, ia memukul lengan Mario.
"Mario please, nyadar gender. Lo itu cowok, masa mau ganti baju bareng kita?" sungut Gisel dengan tangan yang mengambil seragam olahraga di tasnya.
"Bercanda, gue ganti baju di kelas juga bisa."
Mario membuka seragam atasnya, dan menurunkan celananya. Memperlihatkan kaus putih tanpa lengan dan celana pendek berwarna abu-abu.
Melihat itu Luna segera mencibir. "Badan kayak triplek aja sok seksi lu, nggak ada ototnya begini."
Mario berdecih, ia agak membungkuk karena memakai celana olahraganya. "Bodo amat."
Luna memicingkan mata, pura-pura menjadi seorang komentator mengenai penampilan seseorang. "Kan gue udah bilang gemukin dikit itu badan, biar makin bohay. Revano kan nanti makin sayang sama lo."
"Heh!" Gisel menjitak kepala Luna cukup keras, "omongan lo tuh ih mit amit. Gue harap si Revano balik dari pemotretan itu langsung jadi normal."
"Nanti gue jomblo lagi dong," balas Mario.
"Ya bagus, soalnya gue ada rencana buat jodohin lo ke cewek beneran."
"Gisel, gue nggak mau."
"Lo harus setuju pokoknya, ayo Na kita ganti baju."
Mario berdecak sebal. "Dasar."
Luna dan Gisel pun keluar dari kelas menuju toilet sekolah, tetap berbincang-bincang membahas berbagai topik yang mereka anggap menarik.
"Setelah jalan kemarin lo masih ada kontak sama Raja?" tanya Gisel yang sukses membuat Luna mengernyitkan dahi. "Masih, kenapa?"
"Nggak, bagus sih kalo gitu."
"Hm."
"Tapi si Agnes masih ngehubungin lo nggak?"
Luna mengangguk. "Masih, karena kesel ya udah gue block sekalian."
"Bagus Luna, bagus!" Gisel mengacungkan jempolnya.
Mereka berdua kemudian berbelok memasuki toilet perempuan, masuk ke dalam bilik berbeda dan mulai mengganti pakaian. Beberapa saat lamanya keduanya hanya diam karena fokus berganti pakaian.
Karena penasaran akan suatu hal, Luna mengetuk bilik di sampingnya yang merupakan tempat di mana Gisel mengganti pakaiannya. "Sel."
"Oi."
"Yang mau lo comblangin sama Mario siapa?"
"Tau Tiara?"
"Tiara yang mana Sel?
Luna keluar lebih dulu dari biliknya, ia menunggu Gisel yang baru keluar beberapa detik kemudian.
"Itu yang badannya kecil-kecil tapi jago lari, yang rambutnya item banget kayak bintang iklan shampoo."
"Oh. Emang dia suka sama Mario?"
"Dia udah demen sama Mario dari dulu, katanya Mario imut-imut menggemaskan. Kalo menurut gue sih iya, tapi Mario imut-imut pengen ditabok."
"Emang Mario mau?"
"Ya gue paksa lah. Lo kan juga awalnya lempeng sama si Raja, tapi kemarin malah jalan kan? Itu kemajuan besar Na, semoga lo kembali ke jalan yang benar. Amin."
Gisel tampak mengusap wajahnya untuk menambah kekhidmatannya berdoa, Luna hanya bisa geleng-geleng kepala dibuatnya.
"Entah Sel, gue nggak tau hidup gue selanjutnya bakalan kayak gimana." Luna berujar sembari membenarkan anak rambutnya di depan cermin di toilet.
"Semoga makin baik aja deh, dan semoga kita sama-sama terus. Tapi gue nggak yakin gue bakal sama kalian selamanya."
Luna berdecak. "Jangan ngomong gitu, gue nggak suka."
"Iya kan? Sekarang aja rasanya lemes banget."
"Kalo gitu nggak usah olahraga Gisel, diem aja di kelas atau ke UKS sana. Biar gue bilang ke Pak Mus."
"Nggak usah, kalo nanti tetep lemes gue diem di pinggir lapangan aja."
Luna mendesah pelan, Gisel memang tipikal cewek keras kepala yang keinginannya susah ditolak.
"Ya udah ayo."
***
Mario mengipas-ngipas wajahnya dan wajah Gisel dengan kipas bergambar wajah Doraemon, merasa kepanasan setelah melakukan olahraga lari. Memang hanya bolak-balik lapangan basket, tetapi tetap saja itu melelahkan. Sedangkan Luna yang memang sudah biasa terlihat tenang walaupun masih mencoba mengatur napasnya. Mereka kini sedang istirahat sejenak.
"Lebih keras Mario, lo mah ngipas wajah sendiri doang," protes Gisel sambil merebut kipas miliknya dari tangan Mario, cowok itu mendengus dan menyandarkan kepalanya di pundak Gisel.
"Sel, mending lo nggak usah lanjut deh. Udah pucet banget kayak gitu," ucap Luna sembari berkacak pinggang.
"Di sini aja lah, gue udah ngomong ke Pak Mus kalo gue rada enggak enak badan."
"Yaudah."
"Revano kapan pulang ya?" celetuk Mario tiba-tiba.
"Kapan-kapan Mar," balas Luna asal.
"Gue doain di sana kepincut cewek cantik terus jadi normal, semoga." Gisel berujar dengan semangat tinggi.
"Bodo amat Sel, bodo amat."
"Eh Mar, nanti pulang sekolah lo ketemu sama Tiara di kantin ya? Itung-itung pertemuan pertama gitu."
"Males."
"Ih."
"Jangan maksa gue Sel, mending lo fokus aja ke hubungan Luna sama Raja, atau lo sama Kevan."
"Pokoknya lo kudu ketemu Tiara, titik nggak pake koma apalagi tanda petik atau garis miring."
"Hubungan gue sama Raja? Emang ada apaan? Please lah cuma jalan sekali nggak mungkin serius."
"Belum Na, belum," koreksi Gisel sambil menggeleng pelan.
"Terserah."
"Urus dulu kisah lo Sel, ada kemajuan sama si Kevan nggak?"
Gisel tersenyum bangga. "Ada dong! Nanti pulang sekolah kita bakalan mampir ke toko buku."
"Wiiiiih beneran?"
"Iya lah."
Kini Mario dan Luna saling bertatapan, lalu mengedipkan mata masing-masing. Sebuah rencana serupa terbentuk di kepala mereka.
Tak lama Pak Mus kembali melanjutkan pelajaran olahraganya, semua siswa kelas Mario kembali masuk ke lapangan. Menyisakan Gisel yang hanya duduk di pinggir lapangan, cewek itu tampak lemas saat Luna dan Mario meninggalkannya. Ia mencoba terlihat baik-baik saja dari tadi, padahal sejak beberapa saat yang lalu Gisel merasa seakan ingin pingsan.
Gisel menunduk ketika tiba-tiba setetes darah jatuh ke pakaian olahraganya, ia segera mengambil sapu tangan di saku celana dan menempelkan benda itu ke lubang hidung. Mencoba menahan darahnya agar tidak keluar lebih banyak lagi.
Mario yang memang paling malas dengan pelajaran olahraga dan selalu mencuri-curi pandang ke arah lain memicingkan matanya ketika melihat Gisel bertindak aneh, ia segera mengangkat tangannya.
"Pak, saya ijin bawa Gisel ke UKS nggak? Kayaknya dia mimisan."
Pak Mus menoleh dan memerhatikan Gisel, ia mendekati cewek itu dan menepuk-nepuk pundaknya lalu mengangguk setuju.
"Boleh. Gisel, kamu ke UKS ya. Nggak usah ikut pelajaran saya dulu."
Sebenarnya bukan kali ini saja Gisel tidak mengikuti pelayannya, tubuhnya yang gampang sakit menjadi penyebabnya.
Mario kemudian memapah Gisel ke UKS, tetapi karena tidak sabaran ia kemudian menggendongnya agar lebih cepat sampai. Apalagi melihat mimisan gisel yang belum berhenti.
Setelah sampai di UKS dengan wajah panik, Mario membiarkan Gisel ditangani oleh para anggota PMR dan guru pembimbing yang ada di sana.
Mario duduk di sudut ruangan dan mendesah pelan, memejamkan mata dengan ketakutan yang amat sangat. Berharap Gisel baik-baik saja dan segera sembuh.
***