Luna yang sedang memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya ke Mario terbangun ketika cowok itu dengan seenaknya beranjak tanpa berbicara terlebih dahulu, membuatnya jatuh meskipun untungnya berada di atas tempat tidur.
"Ada apaan sih Mar?" heran Luna yang mencoba kembali duduk.
Mario menggaruk bagian belakang telinganya. "Gue kok berasa denger suaranya Revano ya?"
"Masa dia ada di sini?" Luna menyusul Mario yang keluar kamar.
Tetapi ternyata benar, Revano yang baru saja sampai di lantai dua setelah menapaki tangga tersenyum ketika matanya menangkap sosok Mario yang dibalut kaus putih polos dan celana hitam pendek.
"Van? Lo ngapain ke sini?"
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo."
"Lewat chat kan bisa."
"Mau langsung, sebelum gue besok pergi ke suatu tempat." Luna yang merasa akan menjadi kambing conge ataupun obat nyamuk bergegas turun ke dapur.
"Lo mau pindah?" tanya Mario tak percaya.
"Bukan, besok gue mau ijin. Ada pemotretan yang butuh tempat bagus, dan tempat itu jauh dari sini."
"Oh."
"Dan gue mau ... yah ... pamit sama lo, dan gue juga bawa sesuatu sih."
Mario kemudian menarik Revano ke arah balkon, daripada pegal berdiri di dekat tangga.
"Apaan?"
"Ini." Revano mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan mengacungkan sebuah gelang kayu berukiran sederhana yang bagus.
"Buat gue?" Mario menerima benda itu dan segera memakainya.
"Iya, gue harap lo suka."
"Suka." Mario nyengir dan melihat tangannya yang kurus dari berbagai sisi.
"Syukur kalo lo suka."
"Emang pemotretan di mana? Sampe nggak sekolah segala."
"Ke pantai."
"Oh."
"Luna tadi di sini?" tanya Revano yang sudah penasaran kemudian.
"Iya."
"Sering dia di sini malem-malem?"
"Sering, nginep juga sering. Kadang di sini, kadang di rumahnya Gisel yang sepi."
"Kalian deket banget ya?"
Mata Mario segera berbinar-binar ketika membicarakan soal persahabatannya dengan Gisel dan Luna. "Kita udah sahabatan dari kecil, jadi deket. Nggak ada rahasia lagi di antara kita."
"Oh ya? Termasuk orang yang kalian taksir?"
"Yoi."
"Sekarang mereka mau nginep lagi di sini?" Mario mengangguk.
"Tapi kok gue baru liat si Luna? Si Gisel ke-"
"Woy kampret! Ngapain lo di sini?!" Mario dan Revano kompak menoleh dan menatap Gisel yang berkacak pinggang dalam balutan setelan tidur bergambar beruang coklat.
Baru saja dibicarakan, orangnya sudah datang.
Panjang umur.
"Datang-datang nyolot, kenapa lo sensi banget sama gue sih?"
Gisel berdecak. "Udah cukup di sekolah gue liat tampang lo yang nyebelin kuadrat kubik aksen, sekarang liat lo lagi? Di rumah Mario dan lagi ngobrol sama dia! Kesehatan mata gue bisa terganggu ngeliat aktivitas pasangan bobrok kayak lo berdua."
Mario mendengus. "Van, lo kayaknya harus pulang deh. Semoga besok kegiatan lo lancar dan thanks soal gelangnya."
Revano mengangguk walaupun tidak rela. "Yaudah, gue pulang ya. Good night, sweatheart."
Gisel menunjukkan ekspresi jijik dan segera mendorong Revano ketika cowok itu melewatinya.
Mario memandang gelangnya, lalu bangkit dan berlalu menuju dapur, meninggalkan Gisel yang sempat tertegun.
"Luna mana Mar?"
"Nggak tau."
Langkahnya menuruni tangga yang cepat membuat Gisel kewalahan, tetapi akhirnya ia bisa menyusul Mario ketika cowok itu sudah sampai di dapur dan menghampiri Luna yang sedang mengobrol dengan Lili.
"Pacarnya si Mario sekarang ganteng anjir," ungkap Lili kepada Luna yang hanya bisa tersenyum tipis.
"Kapan ya gue bisa dapet yang modelnya begitu?"
Luna menusuk buah mangga dengan garpu. "Nyari yang pasti-pasti aja kak, mending buat kakak itu yang biasa tapi normal."
Lili mengerucutkan bibirnya. "Iya sih. Gue heran deh, kalo yang ganteng suka yang ganteng lagi, terus perempuan normal kayak gue dapet apaan?"
Mario meneguk air putih dengan cepat dan segera duduk di sebelah Luna, air mukanya keruh.
"Kenapa lo?" tanya Luna.
"I'm ok."
Luna berdecak. "Kayak cewek lo ah ditanya jawabannya malah begitu."
Gisel duduk dan ikut menusuk mangga manis yang berada di atas meja.
"Pacarnya Mario udah pulang?" celetuk Lili, kepalanya kini menoleh ke arah Gisel.
"Udah."
"Luna, aaaa." Luna menoleh Mario yang kini membuka mulutnya, tentunya dengan tujuan ingin disuapi.
"Manja banget lo ah," ucap Luna, tetapi tetap menurut dengan memasukkan apa yang diminta.
"Kenapa sama muka lo? Kok cemberut?" Lili bertanya sembari mengeluarkan ponsel dari saku piyamanya.
Mario menopang dagunya. "Bete."
"Kenapa lagi lo?" Luna memukul Mario dengan sedikit keras, membuatnya mengaduh dan cemberut tidak senang. "Luna ih! Nyadar dikit kek tenaga lo itu kayak buyutnya kuda nil."
"Makanya jawab lo kenapa kandang sapi."
Mario mendengus. Alih-alih menjawab, ia malah mengajukan pertanyaan. "Gue emang bobrok banget ya?"
Gisel yang tengah mengunyah mangga menoleh.
Luna mengernyit tidak mengerti. "Maksud lo?"
"Emangnya gue jadi manusia bobrok banget ya?"
Lili mencebik. "Iya Mar."
"Oh, oke." Mario menggigit mangga terkahirnya lalu berdiri dan menjauh menaiki tangga, dengan wajah murung ia pergi ke kamarnya.
Luna menggeleng. "Dia kenapa sih?"
Gisel yang menyadari bahwa ia yang menyebabkan Mario menjadi seperti itu bangkit dan menyusulnya, seharusnya ia ingat bahwa sahabatnya itu termasuk cowok yang sensitif.
"Mar, Mario." Gisel mengetuk pintu kamar Mario yang seingatnya tadi terbuka.
Karena tidak mendengar jawaban apapun, Gisel masuk dan mendapati Mario yang meringkuk di atas tempat tidur dengan selimut yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Mar?" Gisel duduk di sisi tempat tidur.
"Hm."
"Lo kesinggung gara-gara omongan gue tadi ya?" Tidak terdengar jawaban.
Gisel mendesah, jika Mario diam itu berarti iya.
"Maafin gue ya, gue nggak bermaksud buat bikin lo tersinggung. Toh ucapan gue juga buat kebaikan lo berdua, kalian seharusnya inget waktu buat interaksi tatap muka kayak tadi."
"Ya Mar ya? Maafin gue ya?"
"Hm."
Gisel mengangguk tanpa sadar. Mario memang seperti itu, akan bereaksi seperlunya jika seseorang meminta maaf padanya. Tetapi besok akan bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apapun.
***
Kevan menatap layar ponselnya dengan ragu, mencoba mengambil keputusan apakah ia harus mengirim pesan atau tidak kepada kontak seseorang yang baru saja ia dapat dari temannya yang lain.
Kevan mendesah, kakinya yang panjang ia luruskan.
Kirim, tidak, kirim, tidak, kirim, tidak.
Kevan duduk di atas tempat tidurnya kemudian, menatap lurus ke depan dan mencoba mengatur napasnya seolah akan berolahraga seperti yang ia rutin lakukan.
Karena merasa panas, Kevan berjalan ke balkon dan duduk di sana. Mencoba mendinginkannya kepalanya, berharap mendapatkan solusi terbaik.
Kirim, tidak, kirim, tidak, kirim, tidak.
Kevan meninju udara kosong karena gemas, begitu bingung kah ia hanya karena dilema ingin mengirim pesan kepada seseorang?
Setelah mengumpulkan keberanian dan sadar diri bahwa ia laki-laki dan memang sudah seharusnya mengawali percakapan dalan pesan, Kevan menyentuh layar pada kotak yang dapat mengirimkan pesan dengan mata tertutup.
To : Gisela Dewi
Hi :)
Sent.
***
A
/n : Kevan nih
Kevan ganteng nggak? Haha
Ok, see you:)