The Last Blue

By Arasther

272K 23.7K 4.9K

Bagaimana jika identitas keluargamu ditentukan dari warna mata? Seperti... Pemilik mata hijau, YinYang di dun... More

Tempat Apa Ini?
Ada Seseorang
Bad Mood
Pesan
Orang Aneh dan Penguntit
Bukan Seseorang
Malam Pertama di Rumah Baru
Janji
Biru Kuadrat
Mata dan Identitas
Sejarah yang Hilang
Roh Jahat
Rumah Cermin Balfas
Malaikat Hitam Gallchother
Tanda
Lubang di Pohon
Saudara Perempuan
Dress Biru
Pesta Abu-abu
Teka-teki
Tiga Bangsawan
Hantu Sekolah
Wujud Asli atau Palsu
Hari yang Panjang
Tukang Bohong
Teror Toilet Sekolah
Wilayah Para Ular
Sejujurnya
Tak Ada yang Abadi
Keluarga Svartelli
Selamanya Ganjil

Potongan yang Diawetkan

6.7K 651 152
By Arasther

-Blu-

APA?! Golongan biru!?

Betapa kagetnya aku. Mataku membelalak menatap Shai dan potongan-potongan tubuh pucat di atasku. Tanpa kusadari mulutku menganga dari tadi membayangkan mutilasi dan pembunuhan sadis. Bayangan itu berputar di otakku bagai film jagal* yang mengerikan. Aku ingin sekali kabur sekarang juga, tapi kakiku begitu kaku dan tidak sinkron* dengan otakku.

Dadaku sesak. Napasku ikut kaku tersendat, didesak oleh situasi membingungkan saat ini. Apa yang akan terjadi seterusnya? Haruskah aku kabur? Aku melirik ke arah pintu. Pintunya terbuka kan? Aku harus bagaimana?

GREP!

Aku melirik cepat ke tangannya. Ia menggenggam lenganku. Kini bukan hanya kakiku yang kaku, tanganku juga ikut kaku tak bisa digerakkan. Tempo detak jantungku semakin cepat dibuatnya. Ia kini seperti predator yang sedang mencengkram mangsa. Dan sepertinya aku terpilih menjadi salah satunya. Dadaku semakin sesak, terasa sempit mau meledak. Apa yang dia inginkan?

"Jangan pergi," ucapnya menatapku dengan serius. Aku membalas dengan memelototinya tanpa mengedip sama sekali. Tatapan macam apa itu? Apa dia sedang mencoba menghipnotisku? Ia lalu menggenggam lenganku dengan kedua tangannya kuat-kuat. Seperti memborgol tahanan supaya tak kabur.

"Hhah.. Dengar, biarkan aku melanjutkan ucapanku," Ia menghela napas panjang serta menghindari tatapanku. "Kau menyeramkan. Jangan pelototi aku seperti itu," ucapnya pelan.

Menyeramkan? Justru aku yang sedang ketakutan saat ini!

Ia kembali menatapku, lalu sedikit melonggarkan genggamannya di tanganku. "Blu, ini memang potongan tubuh golongan biru. Tapi, yang sudah mati. Percayalah!" ia mengguncang badanku, menatapku penuh harapan.

Aku hanya diam. Masih terlalu takut dan belum bisa membuka mulut. "Kau.. percaya padaku, kan?" ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tak mau menatapnya yang seperti itu, sehingga aku melihat ke arah lain.

"A-Aku.. aku.." ucapku tergagap. Aku tak bisa bicara!

Shai terus menatapku dan tak melepaskan pandangannya sama sekali. "Blu, sumpah.. kami tidak membunuh!" suaranya gemetar seperti akan menangis. "Percayalah!"

Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku terlalu bingung untuk mengutarakan isi kepalaku. Setiap kali ingin bicara, mulutku selalu tertutup. Terbuka sedikit, tertutup lagi. Terbuka lalu tertutup lagi. Sungguh.. Aku percaya padamu Shai! Apa susahnya mulut ini untuk bilang-

"Aku percaya padamu!!"

A-Apa aku baru saja mengatakannya?

Shai menatapku seakan tak percaya. Ini untuk yang pertama kalinya dalam hidupku aku memercayai orang lain selain orangtuaku. Padahal ia sangat mencurigakan, memutilasi golongan biru, dan mengawetkannya. Tapi, entah mengapa aku percaya dengannya. Itu terjadi begitu saja.

Shai menutup seluruh wajahnya. Aku tahu dia sedang menahan tangis. Suasana hening mengitari kami, hingga beberapa kali isakkannya terdengar di sela keheningan. Kami pun terdiam cukup lama.

"Terima.. kasih.." sahutnya dari balik tangannya. "Golongan kita sudah berjanji hiks.. untuk tidak membunuh satu sama lain," ucapnya masih terisak. Ucapan itu seakan menjadi penghapus dari coretan-coretan asal di kepalaku. Pikiran-pikiran dan bayangan buruk dalam kepalaku terhapus begitu saja. Memang tidak pantas aku menilai langsung tanpa tahu ceritanya. Tapi, siapa yang tak kaget jika tahu keluargamu dijadikan bahan untuk membuat cermin?

"Hik.. Jadi.. bagaimana?" tanyanya masih dengan wajah ditutup. Aku hanya menatapnya dengan bingung.

"Cerminnya," ucapnya lalu memperlihatkan muka. "Blu, jika memang kau tidak apa-apa, jawablah aku!" ucapnya dengan nada yang agak tinggi. Aku tidak apa-apa, jawabku dalam hati.

Ia bergeser sedikit dari pijakannya ke arah pintu dengan matanya tak lepas dari mataku yang terasa sedikit perih. Aku belum kedip dari tadi.

"Kau sungguh membuatku takut," ucapnya melangkah lebih jauh. "M-Maaf, a-aku akan panggil ayahku-

GREP!

"UWAH!! LEPAS!! LEPASKAN AKU!" teriaknya menarik-narik tangannya mencoba melepaskannya dari genggamanku.

"Diam!" tukasku dingin.

Ia menurut lalu menutup mulut dan berhenti bergerak. Sekarang matanya tampak seperti seekor mangsa yang sangat ketakutan akan terkaman predator.

Aku memelototinya. "Apa!?" bentakku masih sedikit terbawa emosi pemutilasian. Sekarang dia yang tak bisa bicara.

"Dengar," aku menggenggam erat lengannya. "Aku sudah percaya padamu dan bila nyatanya kau bohong padaku," aku menunjuk potongan-potongan tubuh di atasku. Mataku terasa panas saat ini.

"Aku tidak SUDI memaafkanmu."

Aku melepaskan tangannya dengan kasar. Tangisannya semakin menjadi-jadi. Aku hanya memperhatikannya dengan wajah datar dan cekikikan sendiri dalam hati. Oh, ya ampun, kau tampak tolol.

Itu sungguh menggelikan, aku tidak sanggup lagi untuk pura-pura stay cool. "Hihi! Hentikan, Shai! Aku percaya padamu!" aku memeluknya erat dan menenangkannya. Hihihi! Aku memang jagonya akting ala drama queen.

Shai makin tersedu-sedu dan air matanya terus bercucuran. "Duh, berapa kali harus kubilang aku percaya padamu?" aku menepuk-nepuk punggungnya agar ia tenang.

"Hiks.. Kau adalah orang paling menyeramkan yang pernah kulihat!" bentaknya dalam isak.

"Maaf, aku terbawa suasana," sahutku masih menepuk punggungnya. "Mataku tadi perih sekali tahu," candaku.

"Hu-uh, kalau perih untuk apa kau memelototi aku terus!? Aku takut!" ucapnya masih dengan nada tinggi.

Kami berhenti berpelukan. Aku mengulurkan tanganku sebagai tanda maaf. "Teman kepercayaanku," ucapku.

Ia menatapku cukup lama, pupil dalam mata ungunya melebar begitu juga dengan bibirnya. Tersenyum lebar seperti yang biasa ia lakukan. "Temanku yang bisa diandalkan," balasnya lalu menjabat tanganku. Kami berdua tertawa puas setelah itu.

Yah, mungkin. Sepertinya itu hanya aku. Teman kepercayaanku yang satu ini belum juga berhenti tertawa. Ia bahkan terlihat lebih tolol dari sebelumnya. Entah apa yang ia tertawakan aku tak mengerti.

"Berhentilah atau kau akan gila!" aku menutup mulutnya yang super lebar itu.

"Hmmp! Ammpfttw fft mmmt mmpt!" ucapnya. Aku melepaskan tanganku. "Apa?!"

"Hey! Bagaimana cerminnya?" gerutunya.

"Oh! Jadi dong!" aku mengangguk penuh semangat.

Ia melirik rambutku dan menaikturunkan kedua alisnya, "Berikan itu padaku," suruhnya.

Aku menatapnya bingung dengan wajah 'pakai-ini?' Lalu 'yang-benar-saja' sambil mengernyitkan dahi. "Rambutku?" tanyaku memastikan yang ia maksud. "Kau mau aku botak?"

Shai menyentil jidatku cukup kuat. "Tidak, bodoh! Beri aku 3 helai. Stok rambut kami habis, lihat!" ia menunjuk toples-toples di atas rak itu. Memang tidak ada yang berisi rambut dan beberapa ada yang kosong.

"Aw! Itu sakit! aku memegang jidatku yang berharga. "Auw!" pekikku lagi saat ia menarik paksa beberapa helai rambutku.

"Hey! Kenapa kau yang ambil?" gerutuku sambil menggaruk kepalaku yang terasa sedikit perih dan gatal.

"Kau pasti lama memilih helai mana yang harus dicabut, jadi langsung kupilihkan," katanya lalu pergi ke tengah ruangan dan meletakkan rambut-rambutku di meja kecil di samping cauldron*.

"Huh, iblis kecil," gumamku.

"Apa katamu?" ia menengok dengan cepat.

"Itu bliss* kecil?" aku asal menunjuk botol kaca kecil berisi cairan warna-warni.

Shai mengambil botol itu dari rak kayu lalu menaruhnya juga di samping cauldron. "Sok tahu, ini nih ramuan ajaib untuk tahapan penyelesaian cermin. Diteteskan saat ramuan dalam cauldron sudah sempurna."

"Aku kan cuma tanya," selaku. "Kau ini menyebalkan sekali!"

"Kau juga."

"Duh, tidak selesai-selesai ya bertengkarnya." Lavina tiba-tiba datang membawa cermin hantu berukuran kecil. "Aku menunggu debat kalian selesai di lorong cermin dari tadi, dan itu saaangat melelahkan! Lebih baik aku di rumah main sama Twen," timpalnya.

"Ya ampun, kenapa tidak pulang saja dari tadi?" tanyaku pada Lavina.

"Hmm.. iya, ya," ia memegang dagunya. "Ya sudah, aku pulang dulu. Ini Kak Shai, cerminnya aku kembalikan," ucapnya lalu menyerahkan cermin yang dipegangnya ke Shai.

"Aku pulang dulu semuanya, dadah!" ia melambaikan tangan ke kami. Aku yakin Shai tidak dengar, sebab ia hanya bisa mendengar Lavina lewat cermin hantu.

Shai sibuk mondar-mandir mencari bahan. Kepalanya selalu mendongak untuk menelusuri isi-isi toples. Ia lalu mengambil satu toples berisi lempengan kuku, mengambil isinya satu, dan meletakkannya di samping cauldron.

Aku sudah tak sabar ingin melihatnya membuat ramuan. "Apa bahan-bahannya sudah lengkap?" tanyaku.

"Belum, aku butuh potongan jempol," jawabnya sambil memanjat tangga kayu untuk mengambil toples berisi jempol tangan di rak paling atas.

"Ew, menjijikkan," desisku sampai merinding. "Apa kau mengambil semuanya dengan tangan kosong? Tanpa alat pengambil?"

"Tentu," ia mengambil satu jempol dari dalam toples dengan jarinya. "Nih!" ia mendekatkan jempol pucat itu ke wajahku.

"Idiiih!! Jorok!!" aku menghindar cepat. "Sudahlah, Shai, cepat buat cerminnya!" geramku tak sabaran.

"Iih, sabar, aku ke ruang ayahku dulu ambil pengaduk," katanya sembari keluar.

Di depanku kini ada banyak bahan pembuat cermin. Aneh tapi nyata. Kenapa bisa cermin ajaib dibuat dari benda-benda ini? Maksudku, ini ada 3 helai rambut, 1 telinga, selembar kecil kulit, 1 kuku, 1 jempol tangan, satu lipan, satu kepala ular, ewh, dan benda apa ini? Aku memperhatikan satu benda oval pucat berukuran kecil di meja itu.

"Itu jantung burung," sahut Shai tiba-tiba dari pintu.

"Oh," aku mengangguk kecil. "Shai, apa selain mayat golongan biru, tidak bisa pakai mayat lain?" tanyaku penasaran.

"Kami pernah mencobanya, tapi tak bisa. Hanya mayat golongan biru yang bisa mengubah cermin jadi ajaib," ungkap Shai.

Ia melanjutkan, "Jadi, untuk menjaga perdamaian antara mata biru dan ungu, golongan kita membuat perjanjian. Bahwa golongan ungu hanya boleh memakai anggota tubuh golongan biru yang sudah mati. Dilarang membunuh golongan biru hanya untuk mendapatkan bahan cermin. Begitu juga sebaliknya, golongan biru tidak boleh membunuh golongan ungu karena alasan benci. Kesepakatan tetap kesepakatan," jelasnya.

"Hmm.. begitu..," aku mengangguk paham. "Kalau ada yang melanggar bagaimana?" tanyaku.

"Maka orang itu langsung mati," balas Shai dengan cepat. "Selama ini belum ada yang berani melanggar."

"Ya ampun! Ngeri sekali!"

"Maka itu jangan coba-coba melanggar," tukas Shai.

"Oh, iya, aku akan mulai buat cerminnya," Shai mengambil suatu gentong berisi air ungu. Lalu, air itu ia tuang ke dalam cauldron.

Air ungu itu meluap-luap dan mengeluarkan gelembung-gelembung kecil seperti sedang direbus. Itu aneh, padahal api di bawah cauldron tidak dinyalakan. Aku memerhatikan dengan saksama. Shai lalu memasukkan tiga helai rambutku sekaligus. Itu membuat air ungu di dalam cauldron berubah menjadi biru dan mengeluarkan percikan-percikan cahaya.

"Wow!" aku terkesima dengan cahaya yang dipantulkan dari percikan itu.

Shai kemudian memasukkan potongan telinga dan jempol tangan sekaligus. Air dalam cauldron berubah menjadi abu-abu dan mengeluarkan asap.

"Hmp!" aku menutup hidungku karena asapnya bau. Yah, air birunya hilang!

Lalu, lempengan kuku dan selembar kulit dimasukkan bersama, membuat asap yang menggumpal itu hilang seketika dan berubah menjadi debu-debu berkilauan. Aku tak bisa menjelaskannya. Tapi, debu-debu itu begitu cantik dan gemerlap. Berkelip-kelip di depan mataku bak bintang di angkasa. Indah sekali pemandangan yang terpampang di depanku.

Setelah itu, Shai memasukkan lipan, kepala ular, dan jantung burung sekaligus ke dalam cauldron. Dan tiba-tiba air di dalamnya berubah menjadi bening. Seperti air biasa.

"Lho kok jadi bening?" tanyaku.

"Kalau sudah jadi bening, itu tandanya ramuannya sudah sempurna. Tinggal diteteskan ramuan ajaib ini," ia mengambil botol kecil yang awalnya kukira botol ramuan bliss.

TES!

"Nah, selesai," ucap Shai.

"Kapan aku bisa mengambilnya?" tanyaku.

"Hmm, mungkin besok atau lusa, nanti aku bawa ke sekolah, ya!"

"Baiklah, terima kasih, Shailenatario Balfas," aku bangkit lalu membungkuk sembilan puluh derajat.

"Sama-sama, Bravey Luciann," ia membungkuk lalu mengayunkan tangannya seperti mengisyaratkan 'dengan-senang-hati'.

"Baiklah, kalau begitu aku pamit pulang."

"Iya, hati-hati di jalan, jangan lupa bawa serta cermin penunjuk arah itu."

"Siap!"

Aku pun keluar dan melambaikan tangan pada Shai. Senyumku masih awet selama beberapa detik. Hingga aku teringat dengan perempuan bernama La Debris yang kutemui pagi tadi. Oh, apa perempuan aneh itu masih di pohon beringin ya? Duh, aku jadi takut.

◇◇◇◆◆◆◇◇◇◆◆◆◇◇◇

*jagal : membunuh manusia secara kejam (dipotong-potong seperti daging).
*sinkron : sejalan.
*cauldron : kuali besar yang biasa digunakan penyihir untuk mencampur ramuan.
*bliss : ramuan kebahagiaan.

Tuh yang mau coba buat cermin masa lalu (buat mengenang maza lalu #eaa), bahan2nya tertera di cerita ya!

*bercanda koq* xD/plakk

Absen yuk, kalian dari kota mana aja nih? Ada yg sama kyk author? Bandarlampung?

Siapa tau jangan-jangan kita satu sekolah xD/jduakk

Jangan lupa!
★VOTE & COMMENT★ ya!

With a slice of thumb
×Arasther×

Continue Reading

You'll Also Like

816K 128K 62
Sebagai seseorang dengan kekuatan supernatural, Ametys tentunya sudah terbiasa dengan beberapa hal mistis yang terjadi. Namun, tidak disangkanya jika...
44.5K 257 8
PERINGATAN KERAS, CERITA HANYA UNTUK ORANG DEWASA 21 TH KEATAS.
42.3K 5.2K 37
[ Rose versi lokal version ] Menceritakan tentang penghuni komplek kocak yang menjadi kumpulan karang taruna ditinggal di komplek Ratulangi. Sepert...
1M 56.8K 106
SEDANG TAHAP REVISI seorang namja cantik dan manis yg kehidupannya sangat menyedihkan karna di jual oleh ayah nya sendiri semata mata hanya demi mend...